Jingga
dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 11karya : Esti Kinasih
BEGITU guru jam pelajaran terakhir meninggalkan ruangan, Tari langsung berdiri.
“Buruan, Fi,” desaknya tak sabar dan langsung keluar dengan langkah setengah berlari. Fio memasukkan buku-buku dan alat-alat tulisnya ke dalam tas dan segera menyusul Tari. Raut muka keduanya tegang. Mereka sudah menduga Ata akan melakukan tindakan nekat ini. Tapi tidak dalam waktu secepat ini.
Begitu sampai di koridor utama, tanpa sadar sarnbil terus berjalan dengan langkah-langkah
Sepuluh meter setelah melewati gerbang sekolah, Tari dan Fio menghentikan langkah lalu menoleh ke semua arah, mencan-cari. Tak lama ponsel Tari berdering. Cepat-cepat cewek itu mengeluarkannya
“Halo? ... Iya ... Lo di mana? ... Ooh ... Oke deh. Kami ke situ.” Tari menutup telepon. Terlihat lega. “Gue kirain dia bener-bener nunggu di depan sekolah. Yuk,” digamitnya satu tangan Fio.
“Nunggu di mana dia?” tanya Fio.
“Di jalan masuk kompleks.”
Kedua cewek itu bergegas meninggalkan tempat mereka berdiri, menuju sebuah jalan kecil yang merupakan jalan masuk belakang sebuah kompleks perumahan. Satu-satunya percabangan jalan yang dimiliki ruas jalan yang melalui depan sekolah. Mereka belum berbelok terlalu jauh ketika mendadak Ata muncul dari balik kerindangan rumpun bugenvil yang tumbuh di pinggir jalan.
“Hai,” sapanya. Cowok itu tersenyum, bukan hanya dengan bibir tapi juga kedua matanya.
Tari dan Fio tertegun. Mematung, tak bisa dicegah. Di depan mereka berdiri sosok yang begitu sama dan serupa dengan Ari. Sesaat sikap waspada muncul sebagai bentuk refleks, sebelum sorot hangat kedua mata itu dan senyum yang tetap tercetak menyadarkan keduanya bahwa sosok itu bukan Ari.
“Akhirnya. . .“ Ata tertawa pelan saat kewaspadaan itu mengendur dan akhimya hilang. “Udah yakin sekarang kalo gue bukan Ari?”
Untuk pertama kalinya senyum mengembang di bibir Tari dan Fio.
“Maaf...” Tari tertawa malu. “Tadi refleks. Abis mirip banget.”
“Gue tau,” jawab Ata halus. Kemudian cowok itu tersadar. Dia menoleh cepat ke arah mulut jalan. “Kita nggak bisa lama-lama di sini. Bentar gue ambil kendaraan dulu. Nggak enak juga kelamaan nitip di garasi rumah orang.”
Ata meninggalkan kedua cewek itu, berjalan menuju salah satu rumah dan menghilang ke dalam halamannya yang tertutup pagar tinggi. Tak berapa lama Tari dan Fio tertegun. Di depan mereka berhenti sebuah mobil yang bisa dikategorikan mewah. Everest!
Kesan pertama yang mereka tangkap pada pertemuan kedua dengan Ata ini adalah, sama kayak Ari tu cowok juga tajir banget. Ata turun dan belakang kemudi.
“Kok jadi bengong? Kalian pikir gue bakalan bawa motor ya, sama kayak Ari gitu?” Dia tersenyum kecil. “Kalo soal kendaraan, kami beda selera. Yuk.” Dibukanya pintu kiri depan untuk Tari dan pintu tengah untuk Fio.
Meskipun bertahun-tahun terpisah, kembar ternyata memang tidak sepenuhnya beda. Lepas dari jumlah rodanya, Ari dan Ata punya selera yang sama soal kendaraan. Berbadan besar dan berwama hitam legam.
Ragu-ragu Tari dan Fio. menghampiri kedua pintu yang terbuka itu. Ata tersenyum lagi, agak geli. Dihampirrnya kedua cewek itu kemudian ditariknya mereka ke arah Everest hitamnya tanpa terkesan memaksa.
“Kita nggak bisa lama-lama di sini,” dia mengingatkan dengan nada halus. “Ari nongol, urusannya bisa panjang. Bukannya takut, tapi jam empat gue harus udah ada di Bogor lagi. Jadi nggak bisa ngelayanin dia.”
Ucapan Ata itu seketika menyadarkan Tari dan Fio dan satu hal yang sempat terlupakan. Keduanya buru-buru naik. Ata menutup kedua pintu lalu melangkah cepat ke sisi lain mobil.
“Lo nggak pingin ketemu Kak Ari?” Tari menatap cowok di sebelahnya dan bertanya dengan nada hati-hati.
Tapi Ata tidak mendengar. Kedua matanya yang sedari tadi terus waspada melihat situasi di sekeliling, terutama ruas jalan yang merupakan bagian dan jalan yang melalui depan SMA Airlangga, kini menatap ruas jalan itu lurus-lurus.
“Aman nggak kalo kita lewat depan sekolah kalian?” tanyanya tanpa menoleh.
“Tadi sih kami nggak ngeliat Kak Ari sama sekali.” Tari menggeleng.
“Tapi tadi gue sempet ngeliat Kak Ari, Tar. Di koperasi. Tapi tau deh, ada Kak Ari juga apa nggak,” ucap Fio.
“Kalo gitu mending nggak usah gambling deh,” putus Ata. “Kita cari amannya aja.” Diraihnya tongkat persneling dan Everest hitam itu berbalik arab. “Sori, Tar, lo tanya apa tadi?” tanyanya setelah mereka sampai di jalan raya.
“Oh, itu. Lo nggak kepingin ketemu Kak Ari? Nggak pingin tau kayak apa dia sekarang?” ucap Tari dengan nada hati-hati.
“Maksudnya sekarang, hari ini?” Ata menoleh sekilas. “Dengan lo ada sama gue begini? Gue perlu cari, minimal kayu, buat proteksi.”
Tari ketawa pelan. Tawa prihatin.
“Iya sih,” dia terpaksa membenarkan.
“Secara fisik, udah pasti dia nggak beda sama gue. Karena dua kali ketemu, dua kali juga lo ngira gue Ari. Tapi kalo karakter, sifat, ini yang lagi gue cari tau. Kayaknya dia udah bukan lagi orang yang selalu bareng gue dari dalem perut Nyokap sampe umur delapan tahun. Kayaknya dia udah jadi orang yang beda. Seberapa beda, makanya sekarang gue jemput elo.”
Tari menoleh. Ditatapnya Ata dengan kedua alis berkerut.
Tapi Ata tidak mengeluarkan suara lagi. Kedua matanya terarah lurus ke jalan raya di depannya. Akhimya keheningan mendominasi.
Dan ternyata, baik Ari maupun Ata, keduanya sama-sama raja jalanan. Mobil yang dibawanya berbadan besar, tapi begitu keluar kompleks dan memasuki jalan raya, jarum spidometer langsung bergerak tajam. Menunjukkan bahwa keempat roda berputar dengan kecepatan tinggi. Meskipun begitu, Everest hitam itu meliuk di antara padatnya lalu lintas Jakarta dengan gerakan luwes.
Tak lama mobil berbelok, memasuki jalan kecil dan berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana. Terlalu sederhana, hingga ketika Everest hitam itu diparkir di halaman depannya yang sempit, hal itu jadi terlihat seperti sebuah kesalahan besar yang bisa mengubah tatanan dunia.
“Di sini makanannya enak. Menunya sih sederhana, kayak masakan rumah. Tapi enak,” ucap Ata sambil membuka pintu di sebelahnya lalu turun. Sesaat Tari dan Fio saling pandang, kemudian ikut turun.
Gila, anak Bogor tau di tempat nyempil gini ada tempat makan enak. Gue yang anak Jakarta aja nggak tau sarna sekali, ucap Tari dalam hati.
Dia tak yakin apa masakannya benar-benar enak, seperti yang dikatakan Ata tadi. Tapi kebanyakan menu yang tersaji memang seperti masakan yang biasa didapat di rumah-rumah. Oseng-oseng oncom, tumis kangkung, pindang iris cabe hijau, dan menu-menu sederhana lainnya. Sistem prasmanan, tanpa pelayan.
Dilihatnya Ata mengambil piring dengan semangat dan mulai mengamati deretan sayur dan lauk di meja. Tak lama piringnya sudah penuh dengan semunjung nasi, sayur lodeh labu, dan dua potong tempe mendoan.
“Nggak makan?” tanyanya ketika dilihatnya Tari dan Fio cuma berdiri diam.
“Masih kenyang. Tadi istirahat kedua kami baru makan nasi soto.” Tari menggeleng.
“Kalo gitu kalian harus nyobain es dawetnya. Sumpah, enak. Sebentar gue ambilin.” Ata menyerahkan piring nasin ya ke Tari sambil menunjuk meja kosong di sudut. “Kita duduk di sana aja.”
Cowok itu balik badan dan berjalan ke arah sudut ruangan yang berlawanan, menuju sebuah meja tempat barisan gelas diletakkan. Tak lama dia kembali dengan sebuah gelas di masing-masing tangan. Diletakkannya kedua gelas itu di depan Tari dan Fio. Kemudian dia menarik sebuah kursi tepat di depan Tari dan menggeser piring makannya ke hadapan.
“Gue makan dulu ya. Tadi nggak sempet makan.”
“Oh, iya. Makan aja dulu,” jawab Tari langsung.
Kedua cewek itu takjub mendapati cowok borjuis di depan mereka ternyata doyan makanan kaum proletar. Lahap malah.
“Lo cabut?” tanya Tari, setelah menunggu beberapa saat sampai Ata menyelesaikan makannya.
“Hmm...” Ata mengangguk kecil. Sendok di tangannya mengumpulkan butir-butir nasi terakhir di piring dengan gerakan cepat. “Lo nangis sampe kayak begitu di telepon, nggak mungkinlah gue bisa konsen belajar.”
Muka Tari sontak memerah.
“Maaf deh,” ucapnya pelan.
“Ini yang mau gue omongin, Tar. Tapi waktu gue mepet. Sekarang lo cerita garis besarnya aja dulu.”
Seketika kedua alis Tari menyatu. Ditatapnya Ata dengan bingung.
“Di telepon kan gue udah cerita semuanya?”
“Udah,” Ata mengangguk. Ditelannya makanan terakhir dalam mulutnya, diangkatnya wajah, lalu ditatapnya Tari sambil menggeser piring kosongnya ke tengah meja. “Gue mau memastikan seberapa parah yang udah dia bikin ke elo. Jadi gue tau, mesti gue apain tu anak nanti.”
Sepasang matanya melembut saat mengucapkan itu. Tari tertegun. Untuk kedua kalinya mukanya bersemu merah. Buru-buru dia menunduk, mengaduk-aduk es dawethya. Melihat itu Ata tersenyum tipis. Diraihnya salah satu gelas dari empat gelas kosong yang disediakan pemilik warung di tiap-tiap meja.
“Lo diapain dia hari ini?” tanyanya sambil menuang teh tawar dan teko plastik.
“Hari ini sih nggak diapa-apain. Cuma ditanya-tanyain
“Nggak tega dia, karena lo nongol dengan mata bengkak. Abis nangis. Berarti tu anak hatinya masih berfungsi. Cuma momen sama alasannya harus pas.”
“Kok tau?” Tari mengangkat kepala serta-merta. Kaget. Begitu juga Fio. Ata hanya mengembangkan senyum, tidak menjawab. Kemudian sikapnya berubah serius.
“Berarti hari ini aman. Kalo yang kemaren-kemaren
“Oh...” Tari menarik napas panjang lalu mengembuskannya
Kekang terurai, dan tak lama kemudian cewek itu sudah bercerita dengan nada berapi-api. Berkali-kali Ata terlihat susah-payah menahan tawa saat emosi membuat Tari mengeluarkan doa-doa jelek dan kutukan-kutukan
Lima belas menit kemudian cowok itu mengulurkan tangan kirinya dan menepuk-tepuk lengan kanan Tari dengan lembut, menghentikan rentetan kata yang keluar dan bibir cewek itu, yang lebih tepat dikatakan sebagai pengaduan penuh ledakan emosi daripada cerita.
“Oke, cukup. Gue udah dapet intinya.”
“Tapi gue ceritanya belom selesai,” Tari langsung protes.
“Sampe besok pagi juga belom tentu selesai.” Ata tersenyum geli. Kemudian dia berdeham. Kedua bola mata hitamnya bergerak untuk mengganti fokus. Untuk pertama kalinya, Ata menatap Fio. Lurus-lurus.
“Dan di mobil lo terus ngawasin gue. Kenapa?” Fio tergeragap. Mukanya sontak merah padam.
“Ng... nggak kok!” Fio memberikan reaksi spontan dengan gelengan kepala kuat-kuat dan gerakan kedua telapak tangan.
“Masih nggak yakin kalo yang di depan lo ini bukan Ari?” Ata mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. “Perlu gue telepon emak gue biar lo bener-bener yakin?”
“Nggak kok. Bukan gitu. Soalnya Kakak mukanya minip banget sama Kak Ari.”
“Di mana-mana yang namanya kembar tuh kebanyakan mukanya mirip, Fio. Sering kali mereka malah nyanis sama. Yang adik-kakak aja banyak yang mirip.”
“Eh, iya sih.” Fio meringis. Tatapan Ata kembali ke Tari.
“Sori banget, Tar. Gue kudu balik. Ada acara jam empat.”
“Iya, nggak apa-apa.” Tari menggelengkan kepala, tersenyum mengerti. Ketiganya bangkit berdiri.
“Bentar ya, gue bayar dulu,” ucap Ata lalu balik badan, menghampiri ibu pemilik warung makan. Tak lama dia kernbali. “Yuk.”
Ketiganya melangkah keluar. Ata membukakan pintu mobil untuk kedua cewek itu. Tak lama setelah tiba di jalan raya, cowok itu menghentikan mobilnya.
“Gue minta maaf lagi nih. Nggak bisa nganter kalian sampe rumah.”
“Iya, nggak pa-pa. Bus yang ke rumah kami kebetulan lewat jalan ini kok. Kami turun di sini aja. Yuk, Fi.” Tari membuka pintu di sebelahnya.
“Satu bus?” Ata langsung ikut turun.
“Nggak. Beda. Tapi dua-duanya lewat sini.”
“Wah, nggak deh!” Ata langsung geleng kepala. “Gue nggak bisa ngebiarin cewek naik bus sendirian. Pake taksi aja. Siapa yang mau duluan?”
“Kenapa? Gue sama Fio udah biasa kok naik bus sendirian.”
“Nggak, kalo abis ketemu gue!” tandas Ata. “Jadi, siapa yang mau duluan nih?”
“Satu taksi aja deh. Buang-buang uang aja kalo dua.”
“Gitu ya?” Ata menoleh. Ditatapnya kedua cewek itu bergantian lalu tersenyum geli. “Daripada buang-buang uang... Tapi kok gue nangkepnya Iebih karena kalian mau ngomongin gue ya?” Telak banget. Rona merah seketika menjalari wajah keduanya. Mengubah senyum geli Ata menjadi tawa tanpa suara.
“Nggak pa-pa. Santai aja. Wajar kok,” ucapnya kemudian dengan nada penuh pengertian.
Ketiganya lalu berdiri berjajar di tepi jalan, menunggu taksi kosong lewat.
“Lo kenapa sih nggak cari nomor HP yang gampang diinget?” Tari menoleh sedikit, menatap Ata yang berdini di sebelah kanannya. “Nomor cantik gitu. Kan banyak dijual. Kayak nomornya Kak Ari tuh. Keren banget.”
“Emang banyak yang protes sih. Katanya nomor ponsel gue ribet, susah diinget. Masalahnya, itu lucky numbers. Jadi sori banget, Tar, nggak bisa diganti.”
“Ooh, gituuu.” Tari mengangguk-angg
“Jadi nomor ponselnya Ari keren, ya? Tapi ada lambang setan lho di dalemnya.”
“Justru itu. Cocok deh. Pas banget!” Tan mengacungkan jempol kanannya. Seketika tawa Ata pecah. Kedua bahu cowok itu sampai berguncang.
“Kayaknya mau nggak mau gue harus nongol di sekolah sodara kembar gue lagi nih. Soalnya sebentar lagi bakalan ada yang nangis di telepon lagi.”
Tari balas melirik. Tampangnya cemberut, tapi dalam hati dia terpaksa membenarkan kalimat itu. Ata ketawa lagi. Diulurkannya tangan kirinya dan sesaat diusap-usapnya puncak kepala Tari. Kemudian tangan itu terulur ke depan, menghentikan sebuah taksi kosong yang muncul di kejauhan.
Cowok itu tidak sadar, tindakannya barusan menibuat Tari seketika mernatung. Hingga ketika taksi kosong itu berhenti di hadapan, Tari tetap berdiri diam di tempatnya. Dia baru tersadar setelah Fio menggamit lengannya lalu menaniknya ke arah taksi, karena Ata sudah membukakan salah satu pintu belakangnya. Begitu Tari sudah duduk di jok, Ata meletakkan selembar uang seratus ribu di pangkuannya lalu menutup pintu. Kemudian cowok itu mengetuk jendela, meminta Tari menurunkan kaca.
Ata membungkukkan tubuh dan meletakkan kedua lengannya di ambang jendela yang kini terbuka seluruhnya. Ditatapnya Tari tanpa bicara. Jenis tatapan yang tidak biasa hingga Tari balas menatap dengan bingung.
“Lupa, ada yang mau gue tanya...” sesaat Ata menghentikan kalimatnya. “Siapa yang udah bikin lo nangis semalem?”
Tari tersentak seketika.
“Mak... sud lo?” tanyanya terbata.
“Iya. Siapa yang udah bikin lo semalem nangis? Kayaknya abis-abisan gitu. Karena tadi pagi lo nongol di sekolah, mata lo bengkaknya masih parah.”
Tari terperangah. Kedua bibirnya sampai sempat ternganga.
“Kok... elo tau?” desisnya.
“Ari ngontak gue tadi pagi. Dia ngamuk di telepon. Nuduh gue yang udah bikin lo nangis.” Ata ketawa pelan. “Tu anak amnesianya parah juga. Emangnya siapa yang selama ini selalu bikin elo nangis kalo bukan dia?”
Kali ini Tari benar-benar menatap Ata dengan mulut ternganga.
“Jadi, Tar, lain kali kalo ada yang bikio elo nangis selain sodara kembar gue itu, mending lo cepet telepon gue deh. Jadi gue bisa ngarang cerita kalo kemudian kena tuduh kayak tadi pagi. Oke?” Ata mengangkat kedua alisnya. “Atau nggak.. .,“ cowok itu memasukkan sedikit kepalanya ke jendela taksi, “gimana kalo itu lo jadiin alasan kuat untuk lari ke gue? Biar gue juga jadi punya alasan untuk berdiri di depan lo dan berhadapan langsung dengan Ari. Karena lo crying for help ke gue, gitu. Jadi gue nggak akan keliatan kayak orang usil yang suka ikut campur urusan orang lain, meskipun dia jelas-jelas bukan orang lain. Gimana?”
Ata jelas-jelas tidak menginginkan jawaban, karena setelah mengatakan itu dia menarik keluar kepalanya.
“Telepon gue kalo udah sampe rumah ya. Trus kasih tau kalo uangnya kurang.” Tatapannya kemudian beraith ke sopir taksi. “Jalan, Pak.”
Bapak sopir taksi yang sedan tadi hanya diam menganggukkan kepala dan langsung menginjak pedal gas. Lewat kaca spion, Tari bisa melihat Ata tetap berdiri di tepi jalan sampai taksi yang ditumpanginya berbelok.
“Kayaknya urusannya bakalan ribet nih, Tar,” ucap Fio pelan.
“He-eh.” Tari mengangguk lemah lalu menghela napas panjang.
***
“Gue tau maksud Kak Ata, pengen ngedeketin Kak Ari,” gumam Fio.
“Pasti,” Tari menyetujui, juga dengan gumaman.
Keduanya menatap muram ke arah atap gedung sebuah instansi milik pemerintah yang terletak di belakang sekolah. Siang itu, pas jam istirahat kedua, mereka berdiri dengan tubuh menempel rapat di dinding pembatas koridor di depan gudang. Satu-satunya tempat yang aman untuk bicara.
“Menurut lo, gue perlu cerita soal Angga, nggak?” Tari menoleh dan menatap Fio.
“Mendingan centa sih.” Fio mengangguk. “Soalnya nggak mungkin selama ini lo cuma sendirian ngadepin Kak Ari. Pasti ada yang bantuin. Kalo lo nggak cerita, ntar Ata malah jadi mikir yang nggak-nggak, Tar. Lagian gue juga nggak ngeliat alasan kenapa lo harus nggak cerita.”
“Gitu, ya?” desah Tari lirih.
“Iya.” Fio mengangguk. Keduanya lalu terdiam lagi. Sama-sama menatap tanpa bicara ke barisan genting berwarna hijau tua itu.
“Ternyata lo cerdas juga ya, Fi.”
Sebuah suara memecah kebisuan. Kedua cewek itu terkejut dan seketika balik badan. Ari berdiri tidak jauh di depan mereka, entah sejak kapan. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Disambutnya keterkejutan Tari dan Fio dengan sebuah senyum tipis. Kedua matanya lalu menatap Tari.
“Bener yang tadi Fio bilang, mending lo cerita kalo ada yang namanya Angga. Jadi Ata tau, yang ada bukan cuma elo dan gue.”
Tari langsung cemberut.
“Apa gue aja yang cerita?” Ari menawarkan diri. Cowok itu rnaju selangkah. “Tapi jangan salahin gue kalo cerita itu nanti jatuhnya subjektif ya. Soalnya gini-gini gue juga suka ngegosip lho. Dan kadang-kadang gue juga suka melankolis. Biar gimana, dia sodara kembar gue. Kalo dia denger gue teraniaya, pasti dia nggak bakal terima.”
Teraniaya!? Mulut Tari dan Fio sontak ternganga.
“Jangan kejam begitu dong ekspresmya. Sebentar-sebent
Ekspresi muka Tari dan Fio, yang masih menatapnya dengan mulut ternganga, membuat Ari akhirnya tak sanggup menahan tawa gelinya. Tapi kemudian tawa itu menghilang, dan raut mukanya kembali seperti raut muka Ari yang selama ini dikenal Tari dan Fio dengan sangat baik. Sang penguasa sekolah!
“Lebih baik lo cerita. Biar Ata tau dengan jelas situasinya. Soalnya ini mulai senius. Tadi pagi dia nelepon gue, ngasih peringatan untuk nggak ngeganggu elo. Dan asal lo tau... Gue nggak suka! Apa-apaan dia? Nongol tiba-tiba dari antah-berantah dan langsung ikut campur urusan gue.”
Kalirnat panjang Ari itu mulai menyelinapkan rasa takut. Tari menggenggam satu tangan Fio erat-erat. Ari melirik sekilas ke sepuluh jari yang bertaut itu, lalu tersenyum mendengus. Tiba-tiba dia melangkah maju lalu menjatuhkan diri ke celah sempit di antara kedua cewek itu. Seketika genggaman tangan Tari dan Fio terlepas dan kedua cewek itu spontan melejit ke arah yang berlawanan.
Dengan gerakan cepat, Ari merentangkan tangan kirinya hingga telapak tangannya menyentuh dinding. Tari tersentak. Kaki kanannya yang baru saja akan membuat gerakan pertama untuk pergi secepatnya, seketika terhenti. Di depannya terentang penghalang yang tak mungkin didobrak meskipun itu cuma sebuah tangan. Kedua mata Ari menyorot dingin.
“Jadi, Angga yang udah bikin lo nangis waktu itu?” tanyanya tajarn. “Lo diapain?”
“Nggak diapa-apain. Emangnya dia kayak Kakak?”
“Ini gue nanya serius. Lo diapain?” Mulai terdengar nada berbahaya dalam suara Ari. Entah kenapa, setiap kali Ari menyebut nama Angga, seketika itu juga rasa takut Tari berkurang—di samping cewek itu memang sudah merasa terlalu sesak.
“Nggak diapa-apain. Guenya aja yang merasa diapa-apain,” sahut Tari sengit. Kemudian dia membungkukkan tubuh dan menerobos barikade lengan Ari. “Yuk, Fi,” ajaknya tanpa menoleh. Fio buru-buru mengejar Tari yang melangkah menjauh.
“Tari!” panggil Ari tajam. Tari balik badan dan ditentangnya kedua bola mata Ari.
“Gue yang ge-er. Mau apa lo sekarang?” tantangnya. Langsung dia balik badan lagi dan diteruskannya langkahnya yang sempat terhenti.
Ari mengikuti kepergian cewek itu dengan tatapan tajam dan kedua rahang yang perlahan mengeras.
***
“Lo tuh ya, udah tau Kak Ari orangnya kayak gitu, malah lo pancing mulu.” Sambil mengaduk-aduk nasi sotonya, Fio melirik Tari. Agak kesal.
“Nggak bisa nahan gue, Fi. Tiap kali ngeliat dia bawaannya pingin ngamuk mulu.” Juga sambil mengaduk-aduk nasi sotonya, Tari menghela napas.
“Ya ditahanlaaah.”
“Pinginnya sih begitu, tapi nggak bisa.”
Panjang umur!
Orang yang barn saja mereka bicarakan mendadak muncul dan langsung duduk di sebelah kanan Tari. Dia lalu mengulurkan tangan kirinya di sedikit ruang kosong di antara Tari dan Fio, menyentuh tepi meja kayu dengan telapak tangan. Tari seketika melekatkan tubuhnya rapat-rapat ke meja. Cewek itu merinding saat merasakan sentuhan lengan Ari di punggungnya. Sementara dengan tangan kanannya yang bebas, Ari melepaskan sendok dari genggaman Tari lalu menaruhnya di mangkuk. Kemudian digesemya mangkuk soto itu ke depannya dan langsung dilahapnya isinya. Baik sang empunya mangkuk, juga Fio dan seluruh isi kantin, menatap adegan itu dengan tampang bingung atau mulut ternganga.
Setelah empat suapan, Ari menggeser mangkuk soto itu kembali ke hadapan pemiliknya. Gantinya, dia meraih gelas teh tawar hangat Tari dan meneguk isinya sampai tinggal setengah. Setelah itu dia berdeçak puas. Ketika menoleh dan mendapati Tari tengah menatapnya dengan muka kaku, tu cowok belagak nggak paham.
“Ya udah. Dilanjut aja makannya. Kok bengong? Atau mau gue suapin?”
Kedua mata Tari kontan terbelalak. Juga mata semua pengunjung kantin yang bisa mendengar kalimat itu. Perlahan kedua mata Tari menyipit marah, sementara kedua bibirnya menguncup kaku. Diulurkannya tangan kirinya, hendak mengenyahkan tangan kiri Ari yang mengurungnya. Tapi kelima jari Ari ternyata lebih cepat bergerak. Tangan cowok itu masih di tempat semula, tapi sekarang dengan tangan Tari di dalam genggamannya.
Karena tangan yang dicekalnya terus meronta, berusaha keras untuk bisa lepas, Ari mengetatkan cekalannya. Pertarungan itu membuat sedikit celah di antara lengan Ari dan punggung Tari menutup. Sekarang lengan dan punggung itu melekat erat. Sudah tidak ada lagi cara untuk menciptakan jarak, karena Tari sudah menempelkan tubuhnya rapat-rapat ke tepi meja.
Akhirnya cewek itu berhenti berontak. Sementara pasrah. Adegan itu tak pelak menjadi tontonan seluruh penghuni kantin. Ari menahan senyumnya agar tidak mengembang lebar. Tapi kilat kemenangan itu terlihat sangat jelas di kedua matanya, karena cowok itu memang sengaja tidak ingin menyembunyikann
“Siapa yang udah bikin lo nangis waktu itu? Hmm?” bisiknya.
Tari tidak menjawab. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Dia benar-benar tidak berani mengangkat muka, karena dia sangat tahu, saat ini perhatian seisi kantin pasti sedang terarah padanya. Di sebelahnya, Fio hanya bisa menyaksikan tanpa mampu menolong.
Tak lama bel berbunyi. Diam-diam kedua cewek itu menarik napas lega. Siswa-siswa kelas sepuluh yang memenuhi kantin bangkit dari duduk mereka dengan enggan. Ini tontonan super menarik dan jelas mereka sangat ingin menyaksikan sampai selesai. Pingin tau ending-nya gimana.
Sayangnya bel yang bunyinya melengking itu adalah hukum yang tidak bisa dilawan. Tak lama kantin nyaris kosong. Tinggal tersisa para pedagang dan tentu saja, ketiga orang itu.
“Kalo nggak mau bilang, lo nggak akan gue kasih balik ke kelas,” ancam Ari. Nadanya kalem, tapi Tari tahu ancaman itu serius.
“Kak Ari,” ucap Fio dengan suara pelan dan hati-hati, “kami ada ulangan biologi sekarang.” Ari mengalihkan fokus tatapannya. Diberinya Fio sebentuk senyum.
“Dan ruang guru ke kelas lo perlu waktu. Abis itu, tu guru juga harus lebih dulu nyuruh seluruh isi kelas untuk ngosongin laci. Semua buku harus masuk tas. Setelah itu baru soal dibagiin. Jadi kira-kira perlu waktu sepuluh menit sebelom ulangan bisa bener-bener dimulai.”
Tari mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Diam-diam diangkatnya kaki kanannya. Kemudian dengan gerakan tiba-tiba, diinjaknya kaki kiri Ari kuat-kuat.
“AAAKKH!!!” Ari berteniak keras. Seketika cekalannya di pergelangan tangan Tari terlepas. Tari langsung menggunakan tangannya yang sudah berhasil bebas itu. Disikutnya rusuk Ari keras-keras. Cedera cedera deh. Bodo’ desisnya dalam hati.
Untuk kedua kalinya Ari berteriak keras karena siku Tari menghantam rusuknya telak-telak. Tubuhnya terhuyung. Tari tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kedua tangan, didorongnya tubuh Ari sampai cowok itu jatuh terjerembap ke lantai dengan punggung lebih dulu.
“Ayo, Fi. Cepetan!” serunya sambil cepat-cepat melangkahi bangku panjang yang sedari tadi didudukinya.
Fio, yang sejak Tari memberikan perlawanan menyaksikan dengan tampang terlongo-longo,
“Ayo, buruan balik ke kelas! Kok elo malah bengong sih!?” Tari yang sudah berlari sampai hampir mencapai ambang pintu terpaksa balik lagi. Ditepuknya satu bahu Fio keras-keras. Teman semejanya itu sontak tersadar dan buru-buru menyusul. Dengan cepat dilangkahinya bangku panjang yang sedari tadi didudukinya dan langsung berlari menuju pintu kantin. Ari melompat bangun. Disambarnya pinggang Tari.
“Ngajak main kasar lo ya? Oke, gue layanin!”
Tari menjerit. Dengan panik dia berusaha mengenyahkan tangan Ari yang melingkari pinggangnya. Fio langsung membantu. Direnggutnya tangan Ari lalu dengan paksa dilepaskannya dari pinggang Tari. Ketika usahanya menunjukkan tanda-tanda tidak akan berhasil, Fio langsung mengubah sasaran. Dilihatnya tangan Ari yang lain masih memegangi rusuknya yang tadi kena sikut Tari. Fio segera mencengkeram tangan itu, lalu sekuat tenaga menghantam rusuk Ari yang sakit itu. Seakan belum cukup, Fio lalu memutar tangan itu ke belakang. Tindakan yang dipraktikkannya
“AAKKH! ADUH!!!” Ari mengerang keras. Cowok itu terhuyung limbung. Lingkaran tangannya di pinggang Tari akhirnya terlepas. Meskipun begitu, terlihat jelas dia menikmati “perkelahian” itu. Karena, meskipun tindakan Fio tadi membuat tubuhnya nyaris sekali lagi membentur lantai, bibir cowok itu menyeringai lebar. Dengan sigap Ari menyambar tepi salah satu meja dan menjadikannya tumpuan untuk menstabilkan kembali keseimbangan tubuhnya.
“Ati-ati lo berdua. Sekarang gue serius!” serunya sambil menegakkan diri dan langsung melompat ke arah Tari dan Fio. Kedua cewek itu menjerit bersamaan dan seketika lintang-pukang melarikan diri.
Bel baru saja berbunyi, jadi kebanyakan para guru belum sampai di kelas tujuan masing-masing. Karena itu jeritan Tari dan Fio tadi, ditambah keduanya kemudian terbirit-birit melarikan diri, menciptakan gemuruh derap kaki di sepanjang koridor, jelas menarik perhatian.
Dalam sekejap, deretan jendela didesaki muka-muka antusias dan pintu-pintu disesaki jubelan penonton yang berdiri berimpitan rapat. Semua menatap dengan perhatian penuh, tapi tidak satu pun dari para penonton itu berniat menolong. Karena menurut mereka, itu sesuatu yang konyol. Cari mati dan nggak guna.
Kepada siapa pun yang berurusan dengan Ari, yang lain emang cuma bisa bilang, “Maaf deh. Itu derita elo.” Karena itulah para penonton itu hanya berdiri diam dan menikmati peristiwa itu. Tari dan Fio berlari dengan muka panik, sementara tidak jauh di belakang mereka Ari mengejar dengan muka dipenuhi senyum lebar.
Beruntung Bu Endang, guru biologi Tari, sudah datang. Beliau baru saja muncul di ujung tangga. Tari langsung menghambur menghampiri gurunya itu. Dilewatinya kelasnya sendiri, membuat teman-teman sekelasnya menatapnya bingung.
“IBUU! IBUUUUUU!!!” cewek itu menjerit, melengking keras. Bu Endang sampai terkejut. Apalagi setelah Tari, Fio menyusul, melesat menghampirinya lalu bersembunyi di belakang punggungnya.
“Ada apa sih jerit-jerit? Kalian kira kalian itu umur berapa!?” hardik Bu Endang.
“Bu, Kak Ari tuh, Bu!” Dengan napas terengah-engah Tari menunjuk Ari lurus-lurus. Ari langsung mengerem larinya.
“Siang, Bu,” sapa Ari dengan nada santun. Lengkap dengan senyum manis dan anggukan kepala.
“Bikin apa lagi kamu?” Bu Endang langsung melotot.
“Nggak bikin apa-apa, Bu,” Ari menjawab dengan tenang. Mukanya langsung memunculkan ekspresi seolah-olah dia juga bingung. “Kan udah bel. Saya buru-buru mau ke kelas. Karena kelas saya jauh, makanya saya lari. Mereka berdua aja yang paranoid, ngira mau saya apa-apain.”
“Kenapa kamu di sini? Ini daerah kelas sepuluh.”
“Soto ayamnya yang paling enak kan di sini. Ibu juga tau, kan?”
Alasan yang pas. Dibanding dua kantin yang lain—kantin kelas sebelas dan kantin kelas dua belas—soto ayam di kantin kelas sepuluh memang yang paling enak.
Bu Endang mendengus. Tahu itu cuma alasan. “Cepat ke kelas kamu sana!” perintahnya.
“Iya, Bu. Selamat siang.” Ari mengangguk, tersenyum.
Tanpa menoleh ke arah Tari, Ari berjalan menuju tangga lalu menuruninya. Tak lama cowok itu hilang dari pandangan. Seketika Tari menanik napas lega. Kemudian bergegas disusulnya Bu Endang, yang dibuntuti Fio, berjalan menuju kelas.
Menjelang sampai pintu kelas, ponsel Tari berbunyi. Ada SMS masuk. Sambil terus berjalan, dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja. Sekaligus akan digantinya ke posisi silent karena pelajaran sudah dimulai.
Tapi detik itu juga langkah Tari terhenti. Kedua matanya terbelalak menatap layar ponselnya. Nama Ari muncul di sana. Dan begitu SMS itu terbuka, Tari langsung membeku. Isinya singkat namun seperti sanggup menghentikan aliran darahnya saat itu juga.
Krn lo udh jual... GW BELI! Jangan dikira lo bisa lari!
Tari mengangkat kepala dengan cemas. Dia tak mengerti maksud isi SMS itu. Tapi apa pun maksudnya, ujungnya sudah pasti cuma satu macam. Bencana!
Tanpa sadar Tari menoleh ke arah tangga. Sontak dia terkesiap. Ari ada di sana!
Tegak di tempat tadi cowok itu berdiri, Ari tengah menatapnya. Dengan senyum lebar di bibimya. Ponselnya tergenggam di tangan kiri. Seperti terhipnotis, Tari balas menatapnya. Terus menatapnya. Tak mampu menoleh. Sampai Ari mengakhiri keterpanaan itu. Masih dengan senyum di bibir, cowok itu mengedipkan satu matanya. Dan dengan senyum itu juga, yang kemudian mengembang semakin lebar, cowok itu balik badan lalu rnenuruni tangga. Hilang dari pandangan. Baru Tari tersadar. Dihelanya napas dengan tarikan berat. Kemudian dia balik badan dan berjalan menuju kelas dengan lunglai.
***
Ternyata itu adalah awal teror. Pemandangan pada pagi hari saat Tari muncul dengan kedua mata sembap—Ari tidak bisa mengenyahkan bayangan itu dan kepalanya. Sampai detik ini, pagi itu terus membayangi dan membebani pikirannya. Karena itu, akan terus diganggunya Tari. Sampai kedua bibir cewek itu terbuka dan mengatakan penyebabnya....
TAMAT BAGIAN 1 LANJUT KE JINGGA DALAM ELIGI
mau lanjut ke JDE?