Minggu, 23 November 2014

YANG MENULIS INI GELEMBUNG RAHWANA #1

Perjumpaan pertama diriku dengan Sinta terjadi sebelum erupsi Merapi di Borobudur, Saat itu kamu bersikukuh bahwa yang menamaimu Sinta adalah petani, sedangkan bukti telah ku miliki bahwa yang menamaimu Sinta adalah Prabu Janaka...
Saat itu Kamu hanya diam dan memandang ke perbukitan Menoreh, padahal aku tidak berbohong namun kamu tetap diam, di sertai gerimis yang rintik diantara setupa yang berlumut biru aku ikut terpaku akan sikapmu,
Akupun bergegas ke puncak candi, senaik kamu dan rombonganmu menuju strata arpadatu, Tanpa sengaja aku berjumpa lagi denganmu, tiupan angin waktu itu menyibakan rambutmu yang hitam, aku biarkan kamu menutup sebagian wajahmu yang terkena sibakan rambutmu, kau tampak begitu manis di sertai rintik gerimis yang begitu tipis, rombonganmu pun semakin jauh meninggalkanmu aku tau kamu bertanya padaku hanya karena kamu ingin mereka kian jauh dari harsatmu, kan?,
Tiupan angin di puncak Arpadatu pun berhenti, hanya tersisa gerimis yang kian melebat baju dan rok satin mu basah kuyup, tak hanya rombonganmu candi dan seluruh isinya pun telah menghilang entah kemana, tiba-tiba kita tlah duduk berdua di kafe sambil menikmati kopi, di depan Ambarukmo plaza, Jogjakarta
***
     Hai sinta, apa kabar? Sudah dua tiga bulan kita tidak bertemu sejak kita ngopi di depan bunga2 melati yang wanginya tlah hilang karena saking banyaknya asap kendaraan yang lewat di depannya, kita tetap menikmati kopi yang sangat kental dengan pemandangan yang tak begitu indah,
eh gimana kabarnya Solo mungkin kamu terlalu sibuk Nostalgia di kota itu,    jadi nggak kamu pergi ke kebun teh Kemuning?, hemm tempat yang begitu sejuk dan hening, hanya terlihat para pemetik teh yang sedang sibuk memilih teh yang bagus, engkau duduk di pendopo2 yang di sediakan para pedagang jagung bakar sambil menikmati segelas teh panas, begitu kan ceritanya Sinta?,
  Tempat yang sangat menarik walau aku hanya mendengar ceritanya dari temanku,
  Di Jogja itu aku melihat kamu serbakesusu,mungkin kamu ingin segera pergi ke Solo atau pengin cepat2 berkunjung ke Kemuning?, memang tempat itu sangat menyedot perhatian.
  Eh, tapi kok, untungnya,, Untungnya itu lho dalam keadaan buru2 pun di Jogja kamu sudah cerita banyakhal, hampir seluruh isi dunia kamu ceritakan, seolah2 tak ada kecanggungan di antara kita,
  Di sofa itu, eh tidak, setahuku hanya bangku panjang di pinggir bunga2, Aku pun merasa nyaman padahal kita belum ada hubungan apa2 bahkan tak BBMan, Telfonan, maupun SMSan sebelumnya, Tahu2 ketemu , Tahu2 kita sudah relaks ngobrol panjang lebar denganmu,
  Aku bisa santai mengungkapkan segalanya kepadamu saat itu karena sorot matamu yang bisa kupercaya, Mungkin begitulah kalo harus kujelas-jelaskan alasannya, Ah, Sinta, aku tahu hidup dan manusia tak bisa dijelas-jelaskan.
  Hmmm,  Tapi, nggak apa2, ya, aku coba menjelas-jelaskan. Dari matamu aku melihat bahwa aku tidak ceroboh. Ceroboh, kok bisa-bisanya aku tuturkan banyak rahasia padahal kamu belum lama aku kenali.
  Kamu mendongak ketika aku berhenti bercerita padamu. Bibir rahangmu sedikit menganga. Kamu sibak rambutmu di kening. Pancaran matamu itu, Sinta, oh, Sinta.... pancaran matamu itu.... Tapi, lama2 aku ingin berkelana ke dalam matamu dengan meninggalkanmu seorang diri di antara bunga2 dan tempat yang sunyi. Kita pun berpisah.
***
  Sinta, sudah berapa kali aku mecoba menghubungimu? entah lah, aku pun tak peduli berapa kali aku menelfonmu, aku memastikan setiap tidurmu tersenyum dengan dongeng2 dariku, yang sebenarnya hanya akal2lanku saja. Aku pernah bercerita padamu bahwa Resi Wisrawa yang mengajarkan tentang paradoks.
  Ingatkah saat aku menceritakan "paradok itu Memasuki  kegelapan yang melindungi seluruh warna?"
  "Belum menang kalu belum beranu kalah. Belum besar kalau belum berani kecil...."
Jangan terlalu melihat sesuatu dengan Benar atau Salah saja, Benar dan salah sama saja.
  Benar dan salah tentu ada. "Tegakkan segitiga. Pada alas ada dua sudut. Sudut benar dan sudut salah. Seseorang akan salah ktka membunuh seseorang. Tarik sedikit demi sedikit alas segitiga ke atas. Ternyata, pembunuh itu benar krna klau seorang ini tdk di bunuh akan membunuh jutaan orang. Namun jka jutaan manusia tak di bunuhnya , makin bnyk penduduk berebut pangan. Peradaban takan lahir".
  Hening ...
  Hmmm... paradok... paradoks.. entahlah kamu dengar atau tidak dongengku yang itu...
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar