Jingga
dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 3 (1)karya : Esti Kinasih
Di dalam kamarnya yang sengaja dibiarkannya hening, tanpa alunan musik seperti biasanya, pentolan SMA Brawijaya itu, Angga, terduduk diam di depan meja belajarnya. Cowok itu menatap kamus di depannya, pada sebuah nama yang tertulis di lembar kosong pertama. TARI, X-9.
Banyak cewek di sekitar Ari. Sama seperti dulu. Ari yang dikenalnya selama tiga tahun di SMP. Namun, pada satu nama ini Angga mendapati ada yang beda dengan Ari. Sedikit. Samar. Namun bukan disembunyikan. Lebih karena Angga sendiri sepertinya juga tidak menyadari. Atau belum menyadari. Setelah dua tahun lebih akhirnya dia temukan juga sesuatu yang bisa direbutnya dari Ari. Sesuatu yang bisa digunakannya untuk ganti menyakiti cowok itu.
Ini memang dendam pribadi. Tidak ada hubungannya dengan permusuhan kedua sekolah mereka. Murni sakit di masa lalu. Murni karena ketidakberdayaa
Tapi kini… kedua rahang Angga mengeras. Kedua matanya yang sedari tadi menatap dinding kosong di depan meja belajarnya namun tidak terfokus di sana, perlahan menyipit. Akan dibantunya Ari untuk ikut merasakan rasa sakit itu. Juga rasa kehilangan yang menyertainya. Yang bahkan tidak tersembuhkan meskipun dua tahun lebih telah lewat.
Tiba-tiba alarm ponsel Angga berbunyi, menarik benaknya dari pengembaraan ke masa lalu. Jam sebelas tepat. Ditariknya napas panjang-panjang
Disandarkannya punggungnya ke sandaran kursi. Kedua matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Otaknya berputar. Tidak butuh waktu terlalu lama ketika satu ide muncul di kepala.
“Boleh juga.” Angga tersenyum tipis. Tinggal besok dilihat gimana hasilnya.
Angga meraih memo di depannya dan merobek lembar teratas. Setelah menulis satu kalimat pendek dan meletakannya di halaman pertama, ditutupnya kamus milik Tari itu. Setelah mengeset alarm tepat pada pukul lima pagi, cowok itu berdiri lalu mematikan lampu kamar.
***
Pulang sekolah Tari dan Fio berjalan menyusuri tepi lapangan basket menuju pintu gerbang, masih dengan pembicaraan seputar Ari. Info yang disampaikan Nyoman dua hari yang lalu rupanya membuat Ari tetap menjadi objek pembicaraan hangat sampai hari ini.
“Gue yakin dia tuh sebenernya baik, Fi.”
“Mungkin aja. Tapi kan nggak ada yang tau gimana dia sebenernya. Gue masih nggak percaya cerita Nyoman. Ajaib banget nggak ada yang tau di mana rumahnya.”
“Iya, ya…” Tari mengangguk. “Kenapa nggak ada yang nyoba ngikutin dia diem-diem gitu ya?”
“Gue rasa sih nggak ada yang berani. Atau nggak, menghargai hak dia untuk merahasiakan di mana dia tinggal.”
“Iya juga sih.” Tari mengangguk lagi.
Mendadak muka kedua cewek itu menegang. Pembicaraan tentang Ari juga langsung berhenti, karena sang objek pembicaraan berada tidak jauh di depan. Berdiri di trotoar di depan sekolah bersama teman-temannya.
“Sst, Ari!” bisik Fio.
“Udah tau!” balas Tari. “Jangan diliatin dong!”
“Siapa juga yang ngeliatin?”
Kedua cewek itu berjalan dengan tatapan lurus-lurus ke depan. Tapi Tari nggak mampu menahan diri untuk nggak melirik. Bahkan saat didapatinya cowok itu dengan sebatang rokok terselip di bibir, terang-terangan
Tiba-tiba Ari menoleh. Tari terkesiap. Tatapan mereka bertumbukan tak terhindarkan. Muka Tari langusng merah. Tapi Ari terlihat tak acuh. Sambil mengisap rokoknya dengan tarikan panjang, cowok itu menatap Tari dengan sinar datar. Hanya sesaat, kemudian perhatiannya kembali ke teman-temannya.
“Ya ampun!” seru Fio tiba-tiba, seketika berhenti melangkah. “Buku cetak matematik gue tadi kan dipinjem Nana, anak kelas sebelas. Belom dibalikin. Gawat! Besok ada matematik juga. Mana ada PR, lagi. Lo tunggu di sini bentar ya, Tar. Kali aja tu anak masih ada.”
“Telepon aja dulu. Ntar nggak taunya udah pulang, lagi. Dia kan pulangnya lewat pintu belakang.”
“Oh iya.” Fio segera mengeluarkan ponselnya lalu menekan sederet angka. “Masih ada. Dia nunggu di gerbang belakang,” katanya kemudian. “Bentar ya, Tar.” Fio langsung balik badan dan berlari kembali ke halaman sekolah.
Tari terpaksa menunggu. Cewek itu menatap jalan di depannya dengan gelisah, karena Ari hanya berjarak kira-kira sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Teman-temannya sudah pergi. Tinggal tersisa satu orang yang bediri tepat di depan Ari. Kedua cowok itu sedang terlibat pembicaraan serius.
Tiba-tiba sevuah motor berhenti di depan Tari. Begitu sang pengendara membuka kaca helmnya, kedua bola mata Tari kontan terbelalak. Cowok pentolan SMA Brawijaya itu!
“Hai,” cowok itu menyapa dan tersenyum. “Mau balikin kamus.” Diturunkannya risleting jaketnya. Kamus Bahasa Inggris-Indones
Tari langsung teringat lagi peristiwa pemukulan membabi buta yang dilakukannya. Diterimanya kamusnya dengan muka yang sekarang jadi merah.
“Eeeh… itu… waktu itu maaf ya? Maaf banget,” ucapnya terbata-bata.
“Nggak pa-pa.” Angga tersenyum lunak. “gue ngerti kok. Waktu itu lo pasti refleks, kan?”
“Iya.” Tari tersenyum malu.
Di tempatnya berdiri, Ari langsung menghentikan isapan rokoknya begitu dia mengenali wajah terbungkus helm itu. Kedua matanya langsung menajam. Angga pura-pura nggak melihat. Namun, lewat sudut mata dipantaunya setiap gerak-gerik Ari dengan waspada.
“Kepala lo nggak sampe benjol, kan? Apa tulang-tulang lo ada yang patah?” Tanya Tari dengan nada cemas. Cowok di depannya menggeleng.
“Nggak, cuma kata dokter, gue agak-agak kena gegar otak ringan,” jelasnya dengan muka serius.
“Iya!? Sumpah lo!?” Tari terpengarah. Seketika ekspresi penyesalan muncul di mukanya. Benar-benar terlihat jelas, membuat Angga jadi ketawa geli.
“Bercanda. Bercanda. Nggaklah. Cuma kamus Inggris doing. Sempet nyut-nyutan sih. Tapi cuma sebentar kok. Sekarang udah nggak pa-pa.”
“Gue serius nanyanya. Lo tuh ya, nakutin aja.” Tari menarik napas lega. Cowok di depannya menyeringai.
Menyaksikan keakraban itu, Ari jadi geram. Dibantingnya rokoknya ke trotoar jalan. “Kurang ajar tu anak. Gue udah sengaja diem biar nggak bonyok, malah nantang!” desisnya.
Ari mengahmpiri keduanya dengan langkah-langkah
“Gue balik ya, Tar.”
“Sori ya,” sekali lagi Tari meminta maaf.
“It’s okay. Nggak usah dipikirin.” Angga tersenyum sambil mengacungkan jempol kanannya, kemudian melesat pergi. Satu seringai lebar menghiasi bibirnya, menggantikan senyum yang tadi diberikannya untuk Tari.
“Ngapain dia?!” tiba-tiba saja Ari sudah berada tepat dibelakang Tari. Cewek itu menoleh kaget.
“Ngembaliin kamus,” jawab Tari spontan.
Tanpa merasa perlu minta izin, Ari mengambil kamus itu dari tangan Tari lalu membukanya. Selembar kertas kecil meluncur dari sana. Dengan cepat Ari menahannya dengan satu jari. Keningnya sedikit mengerut membaca tulisan yang tertera di sana.
Hai, Tari. Salam kenal ya. Gue Angga. Anggada.
Tari melirik takut-takut. Dia sendiri belum sempat memeriksa kamusnya, untuk mencari surat izin yang dituliskan mamanya untuk diserahkan pada Bu Pur. Jadi dia tidak tahu bahwa cowok tadi menyelipkan secarik kertas di dalamnya.
“Dia ngajak kenalan,” kata Ari pendek. Tapi tidak dia tunjukkan kertas itu kepada pemilik sahnya. “Jadi nama lo Tari?”
“Ng…. iya.” Tari mengangguk. Rasa takut yang perlahan merayap membuat dadanya berdebar. Ari mengangguk-angg
“Tau nama gue, kan?”
“Iya.” Tari mengangguk lagi.
“Bagus. Jadi gue nggak perlu memperkenalkan diri.”
Tari tetap yakin cowok yang berdiri di belakangnya sebenarnya baik, tapi tetap aja Ari adalah biang keroknya SMA Airlangga. Tari tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak merasa waswas.
“Nih.” Ari mengembalikan kamus yang dipegangnya pada Tari, tapi tidak lembar kertas itu. Dia melipatnya lalu memasukkannya ke saku kemeja. Cowok itu kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Tari yang menatapnya dengan mulut ternganga. Cewek itu sudah akan mengucapkan “Tu kertas kan buat gue?” , tapi urung.
Biarin aja deh. Daripada ntar urusannya malah jadi runyam. Tak lama Fio muncul.
“Payah tu si Nana. Dasar pikun. Masa dia lupa udah pinjem…,” kalimatnya nggak sempat selesai, karena Tari keburu menarik satu tangannya dan berbisik di telinganya dengan nada tegang.
“Yuk, pulang cepetan! Ada yang mau gue certain!”
Keduanya berjalan menyusuri trotoar dengan langkah cepat. Tari dengan muka tegang, Fio dengan tampang tegang.
***
Penyerangan itu terjadi saat pulang sekolah. Tanpa prasangka, siswa-siswa SMA Airlangga berjalan keluar dari gerbang sekolah mereka. Sampai tiba-tiba dari arah perempatan berhamburan anak-anak SMA Brawijaya, musuh bebuyutan mereka, yang berlari kea rah sekolah mereka dengan teriakan dan lemparan-lempar
Seketika suasana menjadi kacau. Siswa-siswa SMA Airlangga yang masih berada dekat gerbang sekolah seketika berhamburan kembali ke dalam area sekolah. Sementara yang sudah terlalu jauh dari gerbang, tidak mungkin kembali, berlarian dengan panic ke segala arah. Jerit dan teriakan terdengar di sana-sini. Yang pertama kali merespons serangan itu jelas anak-anak kelas dua belas, yang udah terbiasa terlibat tawuran, yang tidak peduli risiko apa pun yang menanti di depan. Sementara yang nggak pengin terlibat, pilih menunggu tawuran usai di dalam ruang-ruang kelas.
Ari yang saat itu berada tidak jauh dari gerbang sekolah segera mengoordinasi teman-temannya.
Mereka di-backup seksi perlengkapan tempur, yang segera mengeluaran bom-bom Molotov padat alias batu, dari tempat-tempat penyimpanan rahasia di dalam dan di sekitar area sekolah.
Kemudian Ari memerintahkan junior-juniorny
Ari memandang berkeliling. Area depan sekolah yang terdiri atas dua lapangan futsal, satu lapangan voli, dan satu lapangan basket itu sudah clear. Hanya berisi anak-anak yang akan menggantikan mereka yang kembali dalam keadaan luka-luka.
Sementara itu para guru hanya bisa menatap dari mulut koridor utama tanpa bisa berbuat apa-apa. Dalam situasi tawuran, beberapa anak didik mereka seperti Ari dan teman-temannya itu memang sama sekali tidak mempan bentakan, teriakan, pukulan penggaris besi, bahkan ancaman hukuman dari skala ringan sampai sangat berat.
Ari segera menggabungkan diri ke kancah pertempuran. Berlari menembus kekacauan dan hujan batu. Tiba- tiba langkahnya terhenti. Kedua matanya menyipit, menatap tajam ke kejauhan.
Tari dan Fio berdiri saling merapat dengan wajah pucat pasi. Keduanya terjebak di tempat yang sangat strategis. Trotoar jalan antara sekolah dan perempatan, tepat di pertengahan jarak. Rasa takut—terlebih-
Mereka berdiri rapat di balik satu-satunya pelindung, kalau bisa disebut begitu. Sebatang pohon peneduh jalan yang belum lama ditanam. Yang batangnya Cuma sedikit lebih besar dari butiran batu-batu yang beterbangan. Singkat kata, Tari dan Fio berdiri di tempat yang paling pewe. Ditimpuk batu dari arah mana pun dijamin kena.
Ari langsung mengenali Tari yang memang selalu penuh dengan nuansa oranye.
“Sial! Si oranye itu kena kutuk, kali ya? Lagi-lagi kejebak tawuran!” desisnya. Ari lalu menoleh ke arah teman-temannya.
Teman-temannya langsung mengerti. Dengan perlindungan teman-temannya,
Sementara itu dari arah berlawanan, juga dengan perlindungan beberapa temannya, Angga berlari cepat menuju titik yang sama.
Tiba-tiba cowok yang berada di sebelah kanan Ari roboh. Satu lemparan batu yang benar-benar jitu membuatnya terkapar di aspal jalanan dengan lengan kanan berdarah. Beberapa orang segera maju untuk melindunginya, juga melindungi Ari yang posisinya jadi sedikit terbuka. Sementara dua orang segera menarik cowok yang roboh itu sampai berdiri lalu memapahnya menuju sekolah.
Tapi, seberapa cepat pun usaha penyelamatan itu dilakukan, mereka tetap kehilangan waktu. Begitu Ari menoleh karena teriakan beberapa orang temannya, dilihatnya Angga sudah hampir mencapai tempat Tari dan Fio. Dua orang teman Angga dengan mengendarai motor, membayanginya di kiri-kanan.
“MAJU! MAJU!!!” teriak Ari keras.
Serentak seluruh anak-anak Airlangga yang berada di posisi depan berlari kencang ke arah lawan. Sementara yang berada di posisi tengah semakin gencar menghujani lawan dengan lemparan batu supaya teman-temannya bisa maju lebih cepat. Sayangnya mereka sudah kalah jarak.
Angga bersama kedua temannya yang mengendarai motor sudah sampai di depan Tari dan Fio. Melihat itu Ari dan teman-temannya berlari seperti kalap. Namun jarak yang masih terbentang cukup jauh, membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa saat kedua cewek itu diseret ke motor dan dipaksa naik. Jerit dan pemberontakan mereka sama sekali sia-sia. Kedua motor itu segera melesat pergi, dengan Tari dan Fio di boncengan masing-masing.
Di tengah hujan batu, di tengah teriakan, di antara teman-temannya yang siap melindungi, Angga berdiri menyongsong Ari. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. Senyum mengejek bercampur kemenangan tercetak di bibirnya, yang bahkan bisa dilihat Ari dari jarak yang cukup jauh. Membuat kemarahannya semakin menggelegak.
Angga yang bisa melihat kemarahan Ari memuncak, semakin menikmati kemenangannya. Dia berdiri tenang dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan senyum tercetak semakin lebar di bibirnya. Meskipun demikian, cowok itu tetap waspada. Menjelang Ari mencapai jarak yang dianggapnya batas siaga, Angga memerintahkan teman-temannya untuk mundur.
Serentak seluruh cowok-cowok SMA Brawijaya itu balik badan, berlari ke arah perempatan dan menghilang di sana. Ari dan teman-temannya tersentak dan semakin mempercepat lari mereka. Tapi saat sampai di perempatan jalan dan berbelok ke kanan, mereka hanya melihat sisa-sisa anak-anak Brawijaya masuk ke sebuah jalan kecil. Tak lama kemudian delapan unit mobil melesat keluar dari sana, dengan teriakan dan tawa kemenangan yang bisa didengar Ari dan teman-temannya.
Mereka terpaksa menghentikan pengejaran. Ari berdiri di tempat dengan kedua rahang terkatup rapat. Mati-matian menahan kemarahannya agar tidak semakin membludak. Kemudian dia balik badan.
“Oji, ambil motor gue!” serunya sambil melempar kunci. Oji menangkap kunci itu dan segera berlari ke sekolah. Anak-anak yang lain, yang rata-rata juga membawa kendaraan ke sekolah, langsung mengikuti. Tak lama terdengar deru nyaring di kejauhan. Tapi yang kembali Cuma Oji.
“Semua kendaraan ketahan, Ri,” lapor Oji sambil menyerahkan motor itu pada sang pemilik. Kemudian dia ulurkan jaket yang diambilkan Rido, salah seorang teman mereka, dari kelas.
“Udah tau,” jawab Ari pendek sambil mengenakan jaket hitamnya. Setiap kali terjadi tawuran, pihak sekolah memang selalu langsung menutup kedua akses ke sekolah. Alasan kenapa motor itu bisa lolos adalah karena motor itu milik Ari, plus ancaman ke mas-mas sekuriti yang berjaga di gerbang depan.
“Nanti kalo Ari ngamuk, Mas yang tanggung jawab ya?”
“Jadi gimana nih?” Oji menatap Ari, menunggu instruksi selanjutnnya.
“Biar gue sendiri yang ke Brawijaya.”
“Gila lo!” Oji melotot. “Jangan! Jangan! Tunggu bentar deh. Anak-anak lagi nyetop taksi.”
“Bego! Mana ada taksi yang mau ngangkut anak-anak yang mau tawuran? Usul siapa sih?”
“Hehe, gue.” Oji meringis malu.
“Ck! Duduk di sebelah gue nggak ada gunanya ya?” sesaat Ari menatap Oji dengan lirikan tajam. Kemudian cowok itu menggas motornya dan langsung melesat pergi.
“WOI, ARIIIII!!!!” teriak Oji, melengking keras. Jelas sia-sia.
Ari memacu motornya, membelah kepadatan lalu lintas Jakarta dengan kecepatan tinggi. Berbagai macam dugaan buruk berkelebat di kepalanya. Untuknya, tawuran itu mutlak urusan cowok. Dari dulu dia pantang melibatkan cewek. Sepertinya Angga juga mempunyai prinsip yang sama. Karena itu Ari heran melihat Angga sampai melakukan ini. Karena kejadian ini baru yang pertama kali ini.
Angga memang bukan nama baru buat Ari. Cowok itu satu SMP dengannya, tapi tidak pernah satu kelas. Ari mulai merasakan kebencian Angga kira-kira dua atau tiga bulan menjelang lulus-lulusan.
Sayangnya, kesibukan PM—pendalaman materi—dan seabrek kegiatan tambahan untuk menghadapi ujian akhir yang dipaksakan pihak sekolah membuat Ari tidak sempat lagi memikirkan keanehan Angga itu. Tahu-tahu mereka sudah merayakan acara lulus-lulusan kemudian berpencar ke sekolah lanjutan tujuan masing-masing. Masalah itu pun terlupakan.
Sampai pada suatu hari Ari menemukan Angga di antara anak-anak SMA Brawijaya yang menyerang sekolahnya. Masih dengan tatap kebencian yang sama. Dan sama seperti dirinya, masih berstatus junior yang tentu saja harus mematuhi setiap perintah para senior. Ketika Ari telah menjadi pentolan di sekolahnya, Angga ternyata juga berdiri diposisi yang sama. Sudah tidak mungkin lagi untuk bertanya baik-baik.
Karena itu sejak dulu Ari selalu merasa serangan-serang
Sementara itu di salah satu ruang kelas di SMA Brawijaya, Tari dan Fio duduk saling merapat. Satu tangan mereka saling menggenggam kuat. Tak lama pintu terbuka. Angga berjalan masuk dan langsung menghampiri keduanya.
“Hai,” sapanya ramah. Tidak ada sahutan. Angga menatap keduanya. Cowok itu kemudian berjalan ke pintu dan berseru keluar dari sana.
“Ben, ambilin air mineral gelas, dua!”
Tak lama seorang cowok muncul. Dia mengulurkan dua air mineral kemasan gelas pada Angga sambil melirik ke arah Tari dan Fio.
“Nggak lo apa-apain kan tadi?” tanya Angga pada Benny, cowok yang membawakan air mineral itu.
“Nggak. Cuma gue liatin doang. Abis cakep-cakep sih.”
“Itu udah termasuk lo apa-apain, lagi. Kan gue udah bilang, tampang preman terminal lo itu bikin cewek ketakutan.”
“Hehe…” Benny meringis. “Yang penting kan nggak dicolek-colek.”
“Ya udah, sana!” Angga menggerakkan dagu, menyuruh Benny keluar. Sekali lagi Benny menatap Tari dan Fio, kemudian menghilang di ambang pintu. Kembali Angga menghampiri kedua cewek itu.
“Minum dulu deh. Biar kalian agak tenang,” ucapnya lembut. Diulurkannya kedua air mineral gelas itu dengan sedotan yang sudah dia tusukkan hingga menembus penutup kemasan. Ragu-ragu Tari dan Fio menerima uluran air mineral itu.
“Sori cara gue tadi ya,” Angga meminta maaf. “Tapi tadi posisi kalian berdua tuh bahaya banget. Gue udah minta temen-temen gue untuk ati-ati supaya nggak salah timpuk. Tapi tetep dalam situasi kayak gitu kemungkinan salah timpuk gede banget. Entah dari temen-temen gue, atau bisa juga dari temen-temennya Ari. Jadi mendingan kalian diselamatkan untuk mencegah hal-hal yang nggak diinginkan.”
Angga menjelaskan panjang-lebar. Sebagian dari penjelasan itu jelas tidak benar. Dia memang sengaja menculik kedua cewek itu, terutama Tari, untuk memancing kedatangan Ari.
“Udah pernah ngerasain ketimpuk batu, belom? Apalagi kalo pas kena kepala.” Dia tersenyum dengan gaya lucu.
Cara Angga menjelaskan, nada ramah dalam suaranya dan sorot kedua matanya yang hangat, membuat rona ketakutan mengendur dari wajah Tari dan Fio. Keduanya tersenyum meskipun masih terlihat ragu dan takut-takut.
“Gitu dong!” Angga mengacungkan jempol kanannya.
“Tampang lo berdua tuh kayak gue mau apain aja. Oh, iya. Siapa nama temen lo ini, Tar?”
“Oh, ini Fio.” Tari menoleh ke Fio. “Kenalin, Fi, ini…” ganti Tari menoleh ke Angga. “Nama lo siapa sih?”
Seketika kedua alis Angga terangkat.
“Kan udah gue kasih tau? Di kertas kecil yang gue selipin di dalem kamus lo.”
“Eh, itu… kertasnya diambil Ari,” jawab Tari dengan perasaan nggak enak.
“Oh, ya?” Angga berlagak kaget. Tapi dalam hati dia bersiul puas. Ini lebih dari yang dia harapkan. “Ya udah. Nggak pa-pa. Gue Angga. Anggada.” Dia mengulurkan tangan kanannya pada Fio. “Salam kenal ya.”
Fio menyambut uluran tangan itu.
“Salam kenal juga. Gue Fio. Temen semeja Tari,” katanya sambil menyunggingkan senyum.
“Oke.” Angga bals tersenyum. Kemudian cowok itu duduk di meja sebelah Tari.
Tak lama dua orang cowok pengendara motor yang menculik Tari dan Fio muncul di pintu dan langsung mengahmpiri mereka. Salah seorang menenteng tas kresek hitam. Muka Tari dan Fio langsung tegang lagi. Angga yang bisa melihat itu jadi menahan senyum.
“Ini Mokoginta, panggilannya Moko. Dan ini Bambang Wijatmoko, panggilannya Bako,” Angga memperkenalkan keduanya. ‘Yang tadi bawain air mineral namanya Benny.”
“Sori tadi kami terpaksa ngebut. Soalnya takut kalian loncat,” ucap Moko dengan senyum lebar. Dia letakkan tas kresek yang ternyata berisi minuman kaleng dingin ke tengah meja. Kemudian cowok itu duduk di bangku depan Fio, sementara Bako duduk di bangku depan Tari.
“Baru kelas sepuluh, ya?” Bako bertanya sambil mengeluarkan minuman kaleng itu dari dalam plastik lalu membaginya satu orang satu.
“Kok tau?” Tari balik bertanya dengan nada terdengar masih malu-malu.
“Mukanya masih kayak anak SMP sih,” jawaban Bako membuat Angga dan Moko ketawa. “Selain itu masih bego pula,” lanjut Bako. “Udah tau lagi ada tawuran, bukannya menghindar, kabur ke mana kek gitu, malah diem di tempat.”
“Mau kabur ke mana?” kali ini Fio yang bicara. “Orang jalannya lurus gitu. Nggak bercabang. Udah gitu tawurannya kan dari dua arah. Mau lari ke mana?”
“Bercanda. Bercanda.” Bako menyeringai.
Ketiga cowok itu ternyata asyik banget diajak ngobrol. Sekejap kemudian Tari dan Fio larut dalam pembicaraan seru, tanpa menyadari bahwa Angga memang sengaja menciptakan situasi itu.
Musik, film, anime berikut soundtrack-nya,
Selama obrolan itu diam-diam Angga mengamati Tari. Mencoba menemukan apa yang membuat Ari tertarik pada cewek satu ini. Manis, sudah pasti. Tidak perlu harus menatapnya lekat-lekat dan dari jarak dekat untuk menyadari fakta itu.
Senyum membuat cewek ini jadi semakin manis lagi. Bulu matanya panjang. Lurus dan hitam. Yang membuat Tari eyes-catching adalah pernak-pernikny
“Lo suka warna oranye ya? Fanatik malah, menurut gue,” tanya Angga.
Tari meringis. Terlihat jadi semakin manis, juga jadi bikin gemas. Angga jadi ingin mengulurkan tangannya untuk mencubit satu saja pipi di depannya.
“Soalnya itu warna matahari terbenam. Gue kan lahirnya sore, pas matahari mau tenggelam. Kata Nyokap, waktu gue lahir pantulan matahari yang mau tenggelam itu bikin ruangan jadi berwarna oranye, jingga,” Tari menerangkan dengan nada riang. Dia memang bangga dengan nama dan latar historis momen kelahirannya. Jadi setiap kali ada yang bertanya tentang namanya yang unik, cewek itu akan bercerita panjang-lebar.
“Oh, gitu.” Angga mengangguk-angg
“Emang,” Tari mengangguk. “Jingga Matahari.”
Jingga Matahari!
Angga tersentak, tapi cepat-cepat menutupinya. Akhirnya dia temukan alasan utama kenapa Ari menyukai cewek ini. Persamaan nama.
Sepertinya ini bukan soal hati. Hanya soal sepele. Persamaan nama. Tapi masa iya Ari semelankolis itu? Pasti ada hal lain. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu saat ini. Yang jelas, dati reaksi Ari tadi, berlomba dengannya untuk mencapai tempat Tari berdiri, Angga yakin ada apa-apa di antara mereka berdua.
Berarti harus benar-benar direbutnya cewek ini dari Ari. Soal hati, itu urusan nanti. Pasti mudah untuk jatuh hati pada cewek manis seperti Matahari di depannya ini.
Di tengah-tengah obrolan ramai itu, Angga meninggalkan teman-temannya dan berjalan ke depan deretan jendela. Lima belas menit yang lalu dia menerima SMS yang melaporkan kedatangan Ari. Sekaran dia ingin melihat sampai di mana kemajuan yang dicapai teman-temannya.
Dan apa yang dilihatnya membuat bibir Angga seketika menyunggingkan senyum lebar. Segera dia kirimkan satu SMS singkat. Setelah menunggu beberapa saat, cowok itu kembali ke tempat Tari, Fio, dan kedua temannya duduk. Keempatnya masih terlibat pembicaraan seru.
Kali ini tentang Naruto. Fio ngotot bahwa si Samurai X, Kenshin Himura, lebih keren ke mana-mana daripada si Naruto njegrik itu. Padahal rambut Kenshin juga sama njegriknya. Di sebelahnya, Tari mengangguk-angg
Dengan bertelekan kedua telapak tangan, Angga mengangkat kedua tubuhnya ke meja yang tadi didudukinya dan kembali bersila di atasnya. Dia sudah mengatur posisi mereka berlima sedemikian rupa, sehingga ketika nanti Ari datang dan melihat dari luar jendela, cowok itu hanya berhadapan tubuh dengannya.
Bersambung ke bab3(2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar