Jingga
dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 4 (1)karya : Esti Kinasih
Kemunculan Ari dan kesediaan cowok itu untuk berlutut, bahkan di kaki salah satu temannya untuk keselamatan Tari, akhirnya meyakinkan Angga bahwa Tari memang punya arti penting untuk Ari.
Dan saat Brahmana atau yang biasa disapa Bram, teman karibnya yang bertugas untuk menghadapi Ari tadi muncul di pintu, Angga sudah tahu tindakan apa yang harus diambilnya.
“Dia udah pergi,” lapor Bram. Angga mengangguk. Diliriknya jam di pergelangan tangan.
“Yuk, Tar. Gue anter lo pulang. Fio, lo dianter Bram ya,” ucapnya sambil melompat turun dari meja yang sedari tadi didudukinya. Tari dan Fio menatap Angga dengan bingung. “Kenapa heran? Lo berdua masih mikir kami tu jahat ya?”
Tari melirik Fio. Keduanya saling tatap dengan cemas. Angga tersenyum geli sementara Bram cuma tersenyum tipis.
“Nggaklah. Kalo emang niat mau diapa-apain udah dari tadi, lagi,” Angga menenangkan. “Yuk, udah sore nih.”
Cowok itu kemudian berjalan ke pintu, menyusul Bram yang sudah keluar lebih dulu. Di belakangnya, Bako dan Moko menyusul. Tari dan Fio kembali saling pandang, lalu bangkit berdiri dan menyusul keempat cowok tadi. Di halamna depan, di sisi lapangan basket, Bram sudah berdiri di samping motornya. Diulurkannya jaketnya pada Fio begitu cewek itu sampai di sebelahnya.
“Sekarang emang udah sore, tapi matahari masih panas,” ucap Bram dengan gaya kalemnya yang khas.
Angga melakukan hal yang sama. Dia ulurkan jaketnya pada Tari.
“Nama lo emang Matahari, tapi kalo kepanasan kulit lo tetep jadi gosong, kan?”
“Ya iyalah.” Tari ketawa agak dipaksa mendengar joke garing Angga itu. Diterimanya jaket yang diulurkan cowok itu.
Bram sudah duduk di atas jok motornya, mesin motornya juga sudah menyala. Melihat itu, Tari dan Fio saling pandang dengan raut muka semakin cemas. Angga yang bisa melihat itu sekali lagi berusaha menenangkan.
“Gue yang jamin Bram nggak bakalan ngapa-ngapain elo di jalan, Fi.”
Bram cuma tersenyum tipis. Dia lalu menoleh dan menatap Fio. “Yuk!” ajaknya.
Dengan canggung Fio duduk di boncengan motor Bram, setelah sebelumnya dia kenakan jaket yang diberikan cowok itu tadi.
“Duluan ya!” ucap Bram dan langsung tancap gas.
“Yuk.” Angga menepuk satu bahu Tari, mengakhiri tatapan cewek itu pada ruas jalan di depan sekolah tempat Bram dan Fio menghilang.
Angga sudah duduk di atas motornya yang juga sudah dalam keadaan mesin menyala. Sama seperti Fio, dengan canggung Tari duduk di boncengan. Segera mereka tinggalkan halaman SMA Brawijaya. Tapi di tengah perjalanan Angga menepikan motornya. Dia menoleh ke belakang.
“Kalo motornya Bako ada besi di belakangnya, jadi bisa dijadiin pegangan. Motor gue nggak ada. Jadi daripada ntar lo jatoh, mendingan pegangan gue aja deh, Tar. Nggak usah takut gue apa-apain. Yang ada malah elo yang bisa ngapa-ngapain gue.”
“Mmmm…” Tari bingung.
“Mana lo duduknya nyamping gitu, lagi. Kayak emak gue aja. Gue tuh paling males boncengin cewek yang duduknya nyamping begini. Kecuali nyokap. Ya sutralah kalo dia mah. Soalnya keseimbangan motor jadi nggak bagus.”
“Nggak pa-pa deh. Gue duduknya gini aja,” Tari menolaknya.
“Tapi gue nih yang apa-apa. Bawa motornya jadi nggak tenang. Takut lo jatoh. Tolong tuker posisi dong. Please?” Angga memohon. “Serius, gue takut lo jatoh. Nggak ada maksud apa-apa.”
Tari mengalah. Iya sih. Dia juga deg-degan dari tadi, soalnya nggak pernah duduk di boncengan motor dengan posisi menyamping. Mana di belakang nggak ada besi buat pegangan. Udah gitu ban motornya Angga tuh tinggi. Jadi serasa kayak nangkring dia atas pagar yang diakasih jok.
“Gitu dong.” Angga tersenyum senang saat Tari menuruti permintaannya. “Oke, lanjut. Pegangan ya. Pegangan jaket gue aja kalo lo nggak mau pegangan pinggang gue.”
Kembali Tari menuruti permintaan Angga. Mereka melanjutkan perjalanan. Kira-kira satu kilometer menjelang rumah Tari, Angga menghentikan motornya di depan sebuah warung makan.
“Makan dulu, yuk? Gue dari pagi belom makan, nih,” katanya sambil mematikan mesin.
“Nggak ah,” kali ini Tari menolak. Ni cowok ada-ada aja deh, batinnya. “Gue pulang aja deh. Tinggal deket tuh. Ntar kan lo bisa makan sendiri.”
“Ya ampun, kejamnya. Gue disuruh makan sendirian. Gue Cuma minta ditemenin aja kok, biar nggak kayak orang bego. Bener. Bukan minta dibayarin.”
“Ntar gue bisa diomelin Nyokap nih. Pulang telat banget.”
“Ntar gue yang ngomong ke nyokap lo. Tenang aja. Gue bukan model cowok nggak tanggung jawab.”
“Nggak ah. Gue mau pulang aja,” Tari tetep ngotot.
“Ya udahlah kalo gitu. Nih kuncinya. Lo bawain motor gue sampe ke rumah lo, ya? Ntar gue ambil. Deket, kan?” Angga mengulurkan kunci motornya dengan tampang bego. “Soalnya gue laper banget. Asli, dari pagi belom makan. Dan pingsan pas lagi bawa motor tuh bahaya banget, tau. Bisa menyebabkan kecelakaan beruntun.”
Hiiihhh! Tanpa sadar Tari menepuk pundak Angga dengan gemas, kemudian turun dari motor.
“Ya udah deh. Tapi jangan lama-lama ya?”
“Oke!” Angga mnyeringai. Cowok itu sepertinya tahu persis bagaimana caranya agar Tari meluluskan setiap permintaannya.
‘Tapi hue nggak makan lho. Nemenin aja,” kata Tari sambil mengekor langkah Angga memasuki warung makan itu.
“Iya, nemenin aja.”
Makan memang bukan tujuan Angga. Kesediaan Tari untuk menemaninya, itulah tujuan utamanya. Dan waktu dua puluh menit, dengan sepiring nasi sebagai alasan digunakan Angga untuk pendekatan. Alhasil, banyak info tentang cewek itu yang berhasil dia dapatkan. Terutama yang paling krusial. Nomor telepon rumah dan ponsel. Kemudian diantarnya cewek itu sampai di depan rumah.
“Udah deh, lo nggak usah bilang ke nyokap gue. Biar gue sendiri aja,” kata Tari ketika dilihatnya Angga bersiap turun dari motor.
“Nggak apa-apa nih?”
“Nggak.”
“Oke kalo gitu.”
Kali ini Angga memaksa. Dalam hati dia malah bersyukur, karena sebenarnya dia juga belum menemukan alasan apa yang akan dikatakannya pada mama Tari atas keterlambatan anaknya pulang sekolah ini.
Tiga puluh menit setelah Tari sampai di rumah, Angga mengirimkan SMS, mengabarkan bahwa dia baru saja sampai di rumah dengan selamat. Cowok itu juga mengucapkan terima kasih karena Tari sudah bersedia menemaninya makan, sekaligus minta maaf karena sudah memaksa. Membaca SMS Angga, senyum Tari mengembang lebar.
“Cowok aneh,” katanya dengan nada yang mungkin tidak disadarinya, terdengar senang.
***
Berkilo-kilo meter dari situ, keadaan yang sangat berbeda terjadi. Di sebuah gedung olahraga untuk umum yang berisi tiga lapangan futsal, Ari duduk gelisah di tribun penonton. Sama sekali tidak tertarik untuk ikut bermain.
Kepalanya dipenuhi kecemasan akan kondisi Tari. Meskipun dia merasa janji yang diberikan Angga lewat sorot mata dan ungkapan lisan salah satu temannya bisa dipegang, itu tidak bisa dijadikan jaminan. Ditambah lagi, Tari berada di luar jangkauan jaringan komunikasinya. Oji yang bolak-balik dikontaknya belum juga berhasil mendapatkan nomor telepon Tari atau orang-orang yang mengenal cewek itu. Ari jadi makin senewen lagi.
“Ri, gantiin Didit tuh. Dia mau pulang!” seru Ridho dari lapangan. Ari menggeleng.
“Lagi males gue!” balasnya berseru. Tapi tak lama dia berubah pikiran, setelah masuk SMS baru dari Oji, yang lagi-lagi melaporkan bahwa pelacakannya belum membuahkan hasil. Ari berdecak keras sambil menutup fitur pesan.
“Bisa sinting gue nih!” desisnya sambil meletakkan poselnya di bangku terdekat. Kemudian dia mlepaskan kausnya dan melemparkannya begitu saja ke deretan bangku terdekat. Dengan bertelanjang dada, cowok itu berlari menuruni tangga tribun lalu melompati pagar pembatas.
“Gue ikutan!” serunya sambil berjalan ke tengah lapangan.
Ridho dan delapan cowok yang berdiri di lapangan menyambut bergabungnya Ari dengan senang hati. Bukan saja mereka bisa meneruskan permainan, tapi juga setelah ini mereka punya alasan untuk minta traktir. Ari memang sudah terkenal banyak duit dan asyiknya, nggak pelit.
“Gitu dong. Kami udah mau bubaran nih gara-gara jumlahnya nggak berimbang,” kata Rachman. Sementara Didit berjalan ke luar lapangan.
“Gue balik dulu ya!” serunya.
“Oke!” balas semuanya. Ari mengambil bola dari tangan Eki.
“Sampe pagi, ya?” katanya.
“Haaah?” teman-temannya menatap ternganga, tapi tidak sempat bertanya karena Ari keburu menendang bola yang tadi dipegangnya.
Kecemasan dan kegelisahan itu hanya miliknya sendiri, tapi sembilan orang teman diajaknya untuk ikut menanggungnya. Semula mereka mengira Ari hanya bercanda. Tapi ternyata cowok itu benar-benar memaksa semua temannya bermain futsal selama berjam-jam. Dihadangnya keinginan mereka untuk pulang dengan satu kalimat yang sebenarnya membuat kesembilan cowok itu dalam hati merasa kesal.
“Lo-lo kayak cewek aja sih. Baru jam segini udah ribut minta pulang.”
Sama sekali bukan karena Ari yang membayar sewa lapangan ditambah berbotol-botol minuman dingin yang membuat kesembilan temannya kemudian terpaksa menuruti kemauannya itu. Tapi karena mereka tahu Ari nggak punya ibu, melainkan hanya punya seorang ayah yang hubungannya juga sama sekali jauh dari baik apalagi hangat.
Jadi, tidak akan ada yang menelepon Ari lalu berteriak di seberang sana, bertanya kenapa belum pulang juga. Tidak akan ada yang menyambutnya di teras atau di pintu rumah dengan muka marah, yang akan disusul dengan rentetan pertanyaan menyelidik yang harus dijawab. Dari mana, dengan siapa, dan aoa saja yang dilakukan sampai harus pulang sangat sangat terlambat.
Tidak ada hukuman berupa pengurangan uang saku, pemberlakuan jam malam, penghapusan uang pusa, bahkan penyitaan ponsel. Intinya, Ari nggak tahu, kalo udah marah, seorang Ibu tuh bisa nyebelin banget.
Setelah bermain futsal sampai kelelahan, Ari menggelandang kesembilan temannya ke tempat karaoke. Lomba cempreng-cempre
Ari tidak lagi bisa menahan karena waktu memang sudah menunjukkan beberapa menit menjelang tepat pukul sebelas malam. Ruangan yang tadi ingar-bingar kini lengang. Tak ayal, kecemasan itu muncul lagi, juga perasaan sunyi dan sendirian yang sudah sangat akrab dengannya selama ini.
Akhirnya Ari memutuskan untuk membuat dirinya lelah, bukan pikirannya.
Dikendarainya motornya tak tentu arah. Bernyanyi-nyany
Sudut-sudut yang sepi dan lengang. Pasar Induk yang justru riuh dan ingar-bingar. Deretan rumah dengan tirai tertutup rapat dan lampu remang-remang. Pos-pos jaga yang berisi orang-orang yang sedang bermain catur atau sejkedar mengobrol ringan. Begitu dirasakannya tubuhnya mulai letih dan matanya mulai berat, baru cowok itu memutuskan untuk pulang.
***
Besoknya Ari berangkat ke sekolah pagi-pagi. Kecemasan membuat tubuhnya tetap kuat meskipun hanya tidur kurang dari tiga jam. Dua orang petugas sekuriti yang berjaga di pintu gerbang sampai terheran-heran.
Setelah memarkir motornya, Ari langsung menuju kelas Tari. Baru satu orang yang dating, yaitu Jimmy, yang memang terkenal rajin datang pagi. Ari menghampiri cowok itu dan langsung bertanya tanpa prolog apalagi salam perkenalan.
“Tari dating jam berapa?”
Jimmy yang sedang tenggelam dalam novel grafis V for Fendetta mendongak kaget. Dan jadi lebih kaget lagi begitu tahu siapa yang berdiri di depannya.
“Iya, Kak?” tanyanya dengan sikap duduk yang langusng berubah.
“Tari dating jam berapa?” Ari mengulang pertanyannya .
“Tari yang mana, Kak? Soalnya ada dua Tari.”
Meskipun Jimmy merasa yakin Tari mana yang dicari Ari, dia memutuskan untuk bertanya. Biar lebih jelas. Soalnya yang sedang berdiri di depannya ini senior yang paling ditakuti para junior, jadi dia tidak ingin sampai membuat kesalahan.
“Gitu?” Ari terlihat agak kaget.
“Iya. Kakak nyari Tari yang mana? Uteri atau Tari yang satunya?”
“Yang rambutnya lurus panjang. Yang sering pake aksesori warna oranye.”
“Oh, kalo dia sih nggak tentu. Kadang pagi-pagi gini udah dating. Kadang jam setengah tujuh. Kadang udah mau bel baru nongol.”
“Itu yang namanya Utari?”
“Bukan. Uteri yang rambutnya pendek. Yang rambutnya panjang itu namanya Matahari.”
Kedua mata Ari seketika membelalak.
“Namanya Matahari?” desisnya.
“Iya,” Jimmy ketawa. “Tau tuh cewek, namanya aneh banget.”
“Matahri siapa?”
Jimmy tidak langsung menjawab. Dari dalam saku celana, poselnya mengeluarkan ringtone pertanda ada SMS masuk. Dikeluarkannya benda itu.
“Bentar ya, Kak. Ada SMS dari ibu saya,” katanya. Ari mengangguk. “Nama lengakpnya sih unik. Indah malah,” kata Jimmy. Kepalanya menunduk, menekan-nekan tombol poselnya.
“Siapa?” Tanya Ari.
“Jingga Matahari.”
Jingga Matahari!
Ari terkesiap. Tubuhnya terhuyung. Cepat-cepat disambarnya tepi meja Jimmy. Kekagetan itu tak tersembunyikan.
“Jingga Matahari!?” desisnya, di luar kesadaran.
“Iya,” Jimmy mengangguk sambil tertawa. Kepalanya masih menunduk, membaca deretan kalimat di layar poselnya. “Waktu pertama kali denger, kami juga…” Kalimat Jimmy tidak selesai, tawanya juga langsung terhenti begitu mendongak dan mendapati kondisi Ari. Tatapan heran Jimmy membuat Ari tersadar.
“Jangan bilang kalo gue nyari dia,” ucap Ari dengan suara kering. Jimmy mengangguk.
Diiringi tatapan heran Jimmy, Ari balik badan dan berjalan ke luar kelas. Cowok itu melangkah menuju tempat parker dengan muka pucat dan langkah gamang. Tatapannya terarah lurus ke depan, tapi semua orang yang berpapasan dengannya bisa melihat, focus Ari tidak ada di sana, karena cowok itu seperti tidak mendengar setiap sapaan yang ditujukan untuknya di sepanjang jalan.
“Jingga Matahari!?” desis Ari. Masih dengan efek yang sama. Sesuatu seperti menghantam dadanya kuat-kuat dan membuatnya sesak napas.
Pantas saja ada begitu banyak warna jingga yang melekat pada Tari. Cewek itu begitu mencintai warna matahari, karena ternyata namanya memang Matahari!
Begitu keluar dari koridor utama dan melihat motornya di kejauhan, Ari merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan kunci. Sekolah, belajar, buku-buku, dan para guru, bahkan teman-teman akrabnya, semua telah terlempar dari benaknya karena satu nama itu. Dia hanya ingin pergi dan menyendiri.
Baru saja Ari menyalakan mesin motornya, terdengar satu seruan keras.
“Ari, mau ke mana kamu!?” Bu Sam ternyata sudah berdiri di mulut koridor.
“Cabut, Bu!” Ari balas berseru.
Bu Sam tercengang. “Ari, turun dari motor! Sekarang!” bentaknya.
Tidak peduli dengan bentakan keras Bu Sam, Ari memacu motornya kea rah pintu gerbang. Meninggalkan bunyi raungan mesin yang membuat siapa pun yang berada di area depan sekolah jadi menoleh sambil tutup kuping.
“ARI! ARII!!!” teriak Bu Sam, tapi sia-sia. Akhirnya guru itu Cuma bisa geleng-geleng kepala ketika Ari hilang dari pamdangan.
Membelah lalu lintas pagi Jakarta yang mulai padat, Ari memacu motornya kea rah luar kota. Ada satu tempat yang selalu ditujunya tiap kali dia merasa kacau. Satu tempat yang membuatnya bisa melepaskan semua emosi yang menyesakkan dada, yang bisa membuatnya meninggalkan topeng yang selama ini dia kenakan. Satu-satunya tempat yang masih tersisa dari banyak tempat yang telah menghilang dalam kenangannya.
Di satu ruas jalan Ari menepikan motornya karena ada yang harus dia lakukan. Dikeluarkannya sehelai T-shirt dari dalam tas. Cowok itu memang selalu membawa baju ganti karena rumahnya ada di mana-mana. Rumah dalam arti harfiah, yang bagi sebagian besar teman-temannya adalah tujuan utama setelah bel pulang berbunyi, atau tujuan pada saat hati dan pikiran sedang galau. Bagi Ari, rumah justru jadi terminal paling akhir. Because there’s nobody at home. Just silence.
Selesai mengganti baju seragamnya dengan kaus, dikeluarkannya ponsel dari saku celana dan dikontaknya Oji. Teman semejanya itu terkenal punya kebiasaan aneh. Biarpun kena hukuman skorsing, tu anak tetep aja berangkat sekolah. Lengkap dengan seragam dan buku-buku pelajaran sesuai dengan jadwal hari itu. Kalau guru memaksanya keluar ruangan, dengan tampang memelas Oji akan ngomong, “Yaah, Ibu kok tega sih? Saya kan pengin belajar…”
Oji tetap keluar kelas, tapi nggak jauh-jauh. Dia lalu akan berdiri di depan salah satu jendela, melanjutkan menyimak pelajaran dan tetap mencatat dengan posisi buku dia letakkan menempel di kaca jendela. Persis kayak anak nggak mampu yang pengin sekolah tapi nggak bisa.
Perbuatan Oji itu bikin setiap orang yang ngeliat jadi terenyuh dan bikin guru yang menyuruhnya keluar kelas jadi merasa bersalah. Buntutnya, Oji disuruh masuk kelas lagi.
Kalo lagi kena skorsing, Oji juga jadi betah duduk anteng di bangkunya. Dia juga jadi rajin mencatat dan menyimak setiap penjelasan guru dengan serius. Padahal kalo hari-hari biasa, maksudnya kalo dia lagi nggak kena hukuman, tu cowok seneng banget menciptakan huru-hara yang membuat kelasnya riuh, apalagi kalo Ari yang nyuruh.
“Ji, lo masuk?” Tanya Ari. Di seberang, Oji langsung terkekeh geli.
“Masuk lah, Bos. Lo kan tau di rumah gue kagak ada siapa-siapa. Sepi banget.”
“Tolong gue kalo gitu. Tu cewek kelas sepuluh sembilan, Ji. Namanya Jingga Matahari.”
“HAAA!?” Oji kontan memekik. Ari sampai menjauhkan poselnya sesaat dari telinga.
“Tadi gue udah ke kelasnya, tapi tu cewek belom dating. Sekarang tolong lo cek barangkali dia udah dating. Kalo udah, liat kondisinya gimana. Baik-baik aja atau gimana. Trus lo bilang sama dia, jangan cerita apa-apa soal kemaren. Oke, Ji?”
“Oke. Cewek yang satunya lagi?”
Oji bukannya bego, tetapi karena dia terus menerus mendengar kata benda dalam bentuk tunggal, juga karena ada getar hebat yang coba diredam Ari saat menyebut nama lengkap Tari dan Oji tetap bisa mendengarnya dengan jelas. Kini Oji nmengerti kenapa Ari peduli pada Tari. Karena dia bernama Matahari.
“Ya iyalah,” terdengar nada heran dalam suara Ari. “Suruh mereka jangan cerita apa-apa dulu. Soalnya ini masalah sensi.”
“Sensi?” kening Oji mengerut. “Maksudnya?”
“Ck. Udah deh, nggak usah banyak Tanya. Kerjain aja yang gue suruh. Lo masih mau subsidi makan siang sama rokok nggak?”
“Oke, Bos!” Oji langsung sadar diri. “Lo mau ke mana?”
“Cabut!” jawab Ari pendek dan langsung menutup telepon. Diubahnya status menjadi silent, karena dia benar-benar tidak ingin diganggu. Benar-benar ingin sendirian.
Oji bengong, tapi sesaat kemudian segera melangkah menuju kelas Tari.
Ternyata Tari dan Fio belum datang. Oji segera menuju pintu gerbang. Begitu Tari muncul, langsung dicegatnya cewek itu. Diamatinya lekat-lekat. Dipandanginya dari ujung rambut sampai ujung sepatu, membuat Tari ketakutan dan hampir saja kabur. Setelah yakin cewek di depannya baik-baik saja, baru Oji buka mulut.
“Kata Ari, lo sama temen lo jangan cerita apa-apa dulu soal kemaren. Dia mau liat apa tujuan Angga yang sebenarnya,” ucapnya tanpa basa-basi. Setelah mengatakan itu, Oji langsung pergi. Meninggalkan Tari yang berdiri di pintu gerbang, menatap kepergiannya dengan tampang bingung.
Berpuluh-puluh kilometer dari situ, Ari tengah memacu motornya meninggalkan Jakarta. Menyusuri jalan aspal yang menanjak menuju ketinggian. Membawa serta emosi yang kacau, penat pikiran yang melelahkan, dan hati yang tidak bisa lagi ditenangkan sejak didengarnya satu nama itu.
Perjalanan berakhir di mulut sebuah jalan kecil. Dua bangunan yang berfungsi sebagai loket mengapit jalan itu di kiri-kanan. Ari kembali memacu motornya setelah membayar sebesar jumlah yang tertera. Diparkirnya motornya di area parker yang saat itu sepi, karena saat ini memang bukan hari libur.
Dengan langkah pelan dimasukinya tempat wisata yang merupakan bagian dari taman nasional itu. Banyak yang telah berubah. Sesuatu yang pasti dan tak terhindari. Namun, ini masih tempat yang sama, karena pohon-pohon yang berdiri di sana adalah pohon-pohon yang sama yang tegak sejak belasan tahun lalu.
Dan di antara bangunan-bangun
Cowok itu lalu berdiri tidak jauh di depan saung itu. Kelu. Bisu. Kue-kue dan cokelat susu panas pernah dinikmatinya di sana. Juga nasi dan beragam lauk-pauknya. Tawa dan celoteh seseorang yang dul ernah jadi bagian dari hati dan hidup Ari seperti bergema. Seseorang yang menjadi bayangan Ari dan Ari juga menjadi bayangan orang itu. Gema tawa itu memberikan perih yang baru untuk lukanya yang memang selalu menganaga.
Ari mengehela napas panjang dan menghembusakann
Saung ini jadi saung favorit karena ini satu-satunya saung yang menghadap ke langit barat. Cowok itu melirik jam tangannya. Masih jam sembilan pagi. Masih sembilan jam lagi sebelum matahari tenggelam di belahan langit itu.
Berkali-kali disaksikannya matahari tenggelam dari tempat ini. Semburat jingganya memenuhi seluruh langit barat. Indah, megah, dan tak berubah. Dia masih matahari jingga yang sama. Namun matahri jingga yang lain telah tenggelam bertahun-tahun lalu. Pergi dari hidupnya.
Apakah Matahari yang muncul di depannya kini adalah pengganti untuk Matahari-nya yang sudah lama pergi? Atau-kah justru pertanda bahwa dia akan muncul kembali?
***
Keesokan harinya, begitu Ari memasuki tempat parkir, dilihatnya Oji sedang duduk di atas salah satu motor yang diparkir. Begitu melihat Ari, Oji langsung melompat turun dan menghampiri.
‘Udah gue datengin lagi tu cewek tadi. Iya, dia nggak cerita ke siapa-siapa. Dan dia juga baik-baik aja, Bos,” lapornya. “Sebelomnya gue juga udah ke secretariat, tapi mereka ngotot nggak mau ngasih tau nomor telepon sama alamat rumah Tari. Gue udah Tanya ke orangnya langsung sih, tapi dia nggak mau ngasih tau. Gue juga nggak mau maksa.”
Ari mengangguk. Dilihatnya jam tangannya. Masih lima belas menit lagi sebelum bel.
“Titip,” diserahakannya tas dan jaketnya ke Oji. “Gue mau ke kelas tu cewek dulu.” Langsung ditinggalkannya
“Bakalan ada berita besar nih. Akhirnya ada cewek yang ditaksir Ari,” desah Oji sambil berjalan kea rah koridor.
Begitu Ari muncul di pintu kelas Tari, saat itu juga cowok itu menjadi fokus tatapan. Semua yang menyadari kehadiran pentolan sekolah itu seketika menghentikan kegiatan masing-masing dan mengikuti setiap langkahnya dengan penuh perhatian sekaligus tanda tanya.
Sesaat Ari berdiri di ambang pintu, memindai seluruh isi kelas. Cewek yang dicarinya berada di antara sekelompok cewek yang duduk berkelompok. Asyik ngobrol dengan riuh. Dasar cewek, katanya dalam hati. Sehari aja nggak ngegosip, mati kali ya?
Tak seorang pun dari cewek-cewek itu menyadari kehadiran Ari. Sampai Ari meraih sebuah bangku lalu menariknya tepat ke sebelah Tari dan menjatuhkan diri di sana, baru cewek-cewek itu tercengang. Apalagi Tari. Ari menyambut tatapan-tatapan
“Tolong pada pergi ya. Gue mau ngomong sama Tari,” ucapnya dengan nada otoritas seorang kakak kelas. Cewek-cewek itu langsung menurut. Mereka bubar. Berjalan menuju bangku masing-masing, tapi dengan kedua mata melirik ingin tahu kea rah dua orang itu. Termasuk Fio. Meskipun yang dia duduki bangkunya sendiri, tu cewek ikutan pergi, duduk berimpitan dengan Maya.
Ari memajukan tubuhnya. Dia letakkan kedua lengannya di meja, kesepuluh jarinya saling bertaut. Dlakukannya itu agar bisa menatap muka Tari, yang tidak bisa dilakukan kalau posisi duduknya sama seperti cewek itu, menempelkan punggung di sandaran bangku.
Kemunculan Ari membuat suasana kelas menjadi hening. Semua mata terarah padanya meskipun tidak terang-terangan
Dengan kepala dimiringkan, Ari menatap cewek yang duduk di selah kanannya itu. Ketegangannya terlihat jelas. Bukan hanya di muka dan sorot kedua matanya, tapi juga sikap tubuhnya.
Sebenarnya Ari juga dalam kondisi yang sama. Bahkan lebih parah. Gejolak emosi itu sudah membuatnya kacau sejak diketahuinya nama lengkap cewek ini. Kalau saat ini dia terlihat tenang, itu karena Ari memaksakan dirinya untuk tenang. Namun, dia tahu dengan sangat pasti, ketenangannya ini serapuh gelembung sabun.
“Lo nggak cerita ke siapa pun, kan?” tanyanya dengan suara pelan.
“Nggak, Kak.” Tari menggeleng.
“Angga nganter lo sampe rumah?”
“Iya.” Tari mengangguk, heran gimana Ari bisa tahu.
“Ngomonga apa aja dia?”
“Cuma ngobrol…”
Tari tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Ari memotongnya dengan satu perintah.
“Majuin duduk lo.” Cowok itu menggerakkan dagunya ke depan. Tari menatapnya bingung.
“Gue udah minta lo jangan cerita apa-apa, kan?” suara Ari makin pelan. “Kalo caranya kayak gini sama aja bohong, lagi.”
“Oh!” Tari langsung mengerti. Dia majukan duduknya, tapi tanpa sadar arahnya menyerong, agak menjauh dari Ari.
“Deketan sini. Malah makin jauh, lagi. Tenang aja, gue nggak ngegigit. Kalopun iya, nggak bakal gue lakuin itu di depan banyak orang.” Kalimat itu kontan membuat muka Tari memerah. Digesernya tubuhnya mendekati Ari.
“Sip!” cowok itu mengangguk kecil. “Sekarang cerita. Jangan ada yang diumpetin ya.”
Tanpa berani menatap Ari, Tari menceritakan semuanya. Sejak dia dan Fio dibawa paksa ke SMA Brawijaya dengan motor Moko dan Bako. Perlakuan yang diterimanya di sana, yang sebagian juga diketahui Ari, sampai dia diantar pulang oleh Angga.
Selama cewek itu bercerita, suasana kelas semakin hening lagi. Baik Ari maupun Tari, keduanya menyadari itu. Tari jadi semakin lirih, membuat Ari jadi menggeser tubuhnya semkain dekat. Kepalanya yang sejak tadi menoleh ke arah Tari dengan posisi menunduk semakin dia tundukkan karena kepala Tari juga semakin menunduk. Ketika cerita Tari sampai di bagian Angga mengajaknya makan, reaksi Ari seperti tersengat.
“Makan!?” desisnya. Kedua matanya yang sejak tadi terus menatap muka Tari seketika menyipit tajam.
“Iya.” Tari mengangguk, jadi ngeri. “Di deket rumah sih.”
“Dan elo mau?”
Entah kenapa, seperti ada alarm yang tak mengeluarkan suara bordering di dalam kepala Tari. Yang memeperingatkan
Karena itu Tari nggak berani bilang sikap Angga tuh baik dan manis. Jadi dia nggak merasa terancam. Beda dengan saat bersama Ari begini. Meskipun dikelilingi teman sekelas, nggak Cuma berdua, Tari merasa seperti ada bahaya yang sedang mengintai.
“Katanya dia dari pagi belom makan. Gara-gara itu…” Tari terdiam. Diliriknya Ari takut-takut. “Itu… sibuk bikin rencana mau nyerang sekolah kita.” Suaranya jadi semakin lirih lagi, tapi Ari bisa mendengarnya dengan jelas.
“Karena dia sibuk bikin rencana nyerang sekolah kita, yang langsung dilanjut dengan realisasi, jadi nggak sempet makan. Trus lo nemenin dia makan. Hebat!” Ari mengangguk-angg
Tari langsung menyesal kenapa bagian yang ini nggak dia simpan untuk diri sendiri aja. Tapi kalo dipelototin gini, mau nggak jujur susah juga.
“Cuma sebentar kok. Yang makan juga cuma dia. Saya cuma minum aja.”
Ari mengangguk-angg
“Elo dimaafkan kalo begitu.”
Diam-diam Tari menarik nafas panjang, lega. Ari menatap jam tangannya. Kurang lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Sekarang ganti cowok itu yang menarik napas panjang diam-diam. Kedua matanya menatap lurus-lurus ke depan. Ke arah whiteboard yang saat itu bersih tanpa sedikit pun tulisan. Cowok itu mencoba mencari kekuatan dalam belantara putih di fokus pandangannya itu.
Ari tidak sadar, dia telah menciptakan keheningan yang mencekam. Meskipun tidak bisa mendengar percakapan kedua orang itu dengan jelas, seisi kelas bisa merasakan ketegangan sedang meningkat, karena bahasa tubuh Ari mengatakan itu dengan jelas.
Ari menoleh, mengembalikan tatapannya pada cewek yang duduk diam di sebelahnya. Rambut panjangnya diikat ekor kuda. Sebuah pita oranye menghiasi ikatan itu. Kedua telinganya dihiasi anting-anting plastic berbentuk matahari sedang bersinar. Lagi-lagi berwarna oranye dengan gradiasi kuning. Ada sebentuk cincin lucu melingkari jari tengah tangan kirinya. Lagi-lagi berbentuk matahari. Kali ini matahari itu sedang tersenyum lebar.
Cewek ini! Desis Ari dalam hati. Kelu. Bisa dirasakannya detak jantungnya mulai bergemuruh, karena luka-lukanya yang memang selalu terbyka mulai mendenyutkan rasa sakit. Ketika kemudian mulutnya terbuka, Ari sudah nyaris mengerahkan seluruh kekuatannya agar emosinya tetap terjaga.
“Bener nama lo Jingga Matahari?” bisiknya.
“Iya.” Tari mengangguk.
Ari jadi tertegun. Seiring dengan jawaban Tari, kedua mata hitam Ari menggelam dengan cepat.
“Ada embel-embelnya?
“Jingga Matahari aja.”
“Jingga Matahari atau Matahari Jingga?” kejar Ari, membuat kening Tari jadi mengerut.
“Jingga Matahari.”
“Jingga Matahari ya, bukan Matahari Jingga?” Ari seperti meminta kepastian.
“Iya. Jingga Matahari.” Tari mengangguk.
Ari mengangguk-angg
Kalau sebelumnya Tari bisa mengatakan sepertinya dia kenal Ari, kali ini dia benar-benar nggak tahu siapa cowok yang duduk di sebelahnya itu. Bel berbunyi. Ari bangkit berdiri.
“Kak,” panggil Tari buru-buru, membatalkan langkah pertama Ari menuju pintu. “Ng… itu…,” Tari menatapnya takut-takut, “kertas yang waktu itu diselipin Angga di kamus saya, masih ada nggak?”
“Kenapa” suara Ari langsung menajam.
“Boleh saya minta nggak?” tanya Tari dengan nada hati-hati.
Ari membungkukkan tubuhnya. Benar-benar rendah di atas Tari, sampai cewek itu terpaksa melengkungkan punggungnya untuk menciptakan jarak.
“Elo mau digebukin orang satu sekolah?” bisik Ari. Tari menatapnya bingung. “Tu cowok anak Brawijaya!”
“Oh.” Tari langsung mengerti. “Cuma pengin tau aja kok, dia nulis apa.”
“Ngajak kenalan. Waktu itu gue udah bilang,kan?”
“Iya. Ya udah kalo gitu.” Tari mengangguk.
Ari menegakkan punggungnya, balik badan lalu berjalan ke luar kelas. Tari menatapnya sambil menarik napas lega. Begitu Ari hilang dari pandangan, seisi kelas sudah bersiap akan menyerbu meja Tari lalu memberondongnya
Sayangnya, Pak Isman, guru fisika, keburu muncul. Guru itu memasuki kelas setelah sesaat berdiri di luar pintu, menatap Ari yang berjalan menjauh dengan kening berkerut. Untuk kedua kalinya Tari menarik napas lega. Bukan apa-apa. Dari cara Ari ngomong tadi, pelan bahkan beberapa kali dengan berbisik, ditambah cowok itu memintanya untuk duduk agak merapat, jelas Ari nggak ingin orang lain tahu isi pembicaraan mereka tadi.
Fio kembali ke tempat duduknya. Sesaat kedua matanya menatap Tari. Terlihat cemas. Tari hanya bisa membalas tatapan itu dengan ekspresi tak berdaya.
Bersambung ke bab4(2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar