Jingga
dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 9 (1)karya : Esti Kinasih
Keesokan paginya Tari melihat Ari di salah satu tempat favorit cowok itu. Tepi lapangan futsal yang teduh karena terlindung dari matahari oleh bangunan sekolah. Tanpa sadar kedua matanya menatap lekat. Pertemuannya dengan Ata dan terkuaknya rahasia Ari yang terbesar, bahkan bisa jadi juga yang paling kelam, kini merombak total pandangan Tari tentang Ari.
Tari merasa iba mengetahui kondisi hidup yang harus Ari terima dan jalani, sekaligus salut karena cowok itu mampu mengatasi, meskipun dengan cara yang membuat banyak orang di sekelilingnya jadi gampang emosi, bahkan jadi benci.
Tiba-tiba tatapan mereka bertumbukan. Kedua mata Ari menyipit tajam, membuat Tari terkesiap dan buru-buru memalingkan muka. Seketika langkahnya jadi cepat, saat lewat sudut mata dilihatnya Ari bangkit berdiri. Dan langkah-langkah
Tapi seketika Tari menghentikan langkah setengah berlarinya karena tiba-tiba saja Oji muncul di mulut koridor utama dan langsung menghadangnya.
“Thanks, Ji!” satu suara yang terdengar tidak jauh di belakang Tari dan sudah sangat dikenalnya menjelaskan kemunculan Oji yang mendadak dan tepat itu.
“Oke, Bos!” Oji mengacungkan jempol kanannya lalu balik badan dan pergi.
“Dasar emang tu orang, anteknya Ari. Liat aja lo ntar ya!” maki Tari pelan. Dengan tiga langkah panjang yang cepat, Ari mendahului Tari. Cowok itu kemudian berdiri di tengah-tengah mulut koridor utama. Bukan saja menghentikan langkah Tari, tapi juga semua murid yang akan melewatinya.
“Ada apa?” tanya Ari sambil menatap Tari lekat-lekat.
“Apa sih? Nggak ada apa-apa.” Tari membalas tatapan Ari. Tampangnya langsung cemberut. Kedua mata Ari seketika menyipit, karena cemberut itu bukan seperti cemberut yang biasa dilihatnya.
“Kenapa? Bosen berantem sama gue? Kan udah gue bilang, mending kita pacaran aja. Jadi selama di sekolah lo aman. Bisa belajar dengan tenang juga.”
Cemberut di muka Tari makin menjadi. Namun hanya itu. Tidak ada lagi reaksi yang meledak-ledak seperti kemarin-kemarin
“Awas deh, ah. Gue belom ngerjain PR nih.”
Tari menerobos dari sisi kiri Ari dan bergegas menjauh.
Tapi Ari segera mencekal satu lengannya dan menarik cewek itu kembali ke hadapannya.
“Lo kenapa?” tanyanya. Suaranya melunak. Lunak suara itu seketika menarik Tari pada momen-momen langka saat dirinya bisa mengenali sisi tersembunyi Ari. Cowok ini sebenarnya baik.
Hanya saja, untuk memunculkan sisi itu Tari tidak tahu harus berapa banyak pertengkaran, kemarahan, teriakan, dan caci maki yang harus dilalui. Yang pasti, semua itu nanti akan sangat meletihkan.
“Udah deh. Gue lagi males berantem nih.” Tari melepaskan cekalan Ari di lengannya, lalu meneruskan langkahnya yang sempat terhenti.
Di luar dugaan, Ari tidak berusaha mengejar. Dia hanya terus menatap Tari dengan sorot lekat yang benar-benar lurus dan tidak berjeda, sampai Tari menghilang di balik dinding. Ditunggunya beberapa saat sampai dia perkirakan Tari sudah sampai di kelas. Kemudian dikeluarkannya ponsel dari saku celana dan dikontaknya cewek itu. Tidak di angkat. Setelah tiga kali panggilannya tidak direspons, Ari mengubah pola. Sambil tersenyum tipis diketiknya sebuah SMS.
Tumben gak galak. Knp? Bsen rbt sm gw? Ato udh cpk? Makanya kt pacaran aja. Kl lo nolak, lo akn gw bkn lbh cpk lg!
“Dasar penindas! Ngimpi aja lo!” maki Tari pelan.
Lagi-lagi kekang yang tercipta akibat pertemuannya dengan Ata membuat reaksi Tari hanya sampai di situ. Jarinya sudah bergerak akan menghapus SMS Ari itu, saat dia teringat Ata membutuhkan nomor ponsel saudara kembarnya yang penjajah ini.
Dikirimnya nomor itu ke Ata. Kemudian di-forward-nya SMS Ari tadi. Dengan kalimat pembuka...
Ini SMS dr sdr kembr lo yg sinting itu!
Tak sampai lima detik, Ata menelepon. Yang langsung terdengar oleh Tari adalah suara tawanya.
“Nggak sopan banget emang tu anak. Apa kabar lo, Tar?”
“Bete! Gue tadi dicegat Ari di koridor bawah. Yah itu, dia ngomong ngaco kayak SMS-nya itu. Trus dia telepon. Karena nggak gue angkat, trus dia kirim SMS deh. Udah lo baca? Ya begitu itu tuh kembaran lo itu.”
Lagi-lagi Ata ketawa. Tari takjub mendapati bahwa tawa Ata memberika efek yang berbeda dengan Ari. Suara tawa itu menenangkan. Kehadiran Ata jadi terasa seperti penyeimbang untuk kehadiran Ari.
“Please, yang sabar sama sodara kembar gue itu ya, Tar,” pinta Ata kemudian.
“Ya tergantung. Sabar kan ada batesnya. Kalo dia makin negselin, masa iya gue harus tetep sabar?”
“Nanti gue bantu. Lo nggak akan sendirian. Oke?” bujuk Ata.
“Hmmm...” Tari menggigit bibir. Dia mengerti permintaan itu. Ata butuh jembatan penghubung untuk mendekati saudara kembarnya yang menjauhkan diri itu. Sayangnya Tari merasa dirinya adalah jembatan yang lebih memilih ambruk daripada dilewati Ari.
Keterdiaman Tari membuat suara Ata makin melembut saat kembali membujuknya.
“Dia sebenarnya baik ko, Tar. Bener! Bukannya gue ngebelain ya, tapi dia itu aslinya orangnya baik. Dai Cuma orang yang kecewa banget sama hidup. Mungkin malah agak marah.”
“Iya sih. Gue juga ngerasa Ari itu sebenernya baik. Asal ketemu celahnya aja.”
“Itu elo tau!” terdengar jelas bahwa Ata merasa surprise mendengar pengakuan Tari itu.
“Feeling. Trus, lo mau telepon Kak Ari kapan?”
“Hmmm....” Ata terdiam cukup lama. “Belom tau. Udah lama gue nggak komunikasi sama dia. Mau dipikirin dulu kira-kira kalimat yang pas gimana.”
“Oh, ya udah. Good luck deh. Mudah-mudahan lo nggak digrauk sama dia.”
Lagi-lagi Ata ketawa geli.
“Thanks. Elo good luck juga ya.”
“Bad luck, tau!” dengus Tari, membuat Ata kembali ketawa geli. Kemudian suaranya berubah serius.
“Tar, terima kasih banyak, ya. Maaf, gue jadi ngelibatin elo.”
“Nggak pa-pa. Santai aja. Itung-itung latian nguatin mental.”
“Oke deh. Kalo ada apa-apa, telepon ya.”
“He-eh.”
“Bye.”
“Dah!”
Komunikasi ditutup. Sesaat Tari masih menatap ponselnya. Ngomong sama Ari dibanding ngomong sama Ata bedanya kok bisa jauh banget ya? Gumamnya dalam hati.
***
Jam setengah tujuh kurang lima, Ari memasuki kelas Tari. Ekspresi mukanya kaku.
“Semuanya tolong keluar!” perintahnya sambil berjalan menghampiri Tari. Perintah itu jelas langsung dipatuhi. Dalam sekejap seluruh penghuni kelas Tari yang sudah lengkap itu tergusur ke koridor.
“Tutup pintunya!” perintah Ari lagi. Kedua daun pintu yang tadi terbuka lebar segera ditutup rapat.
Ekspresi kaku di depannya, kedua rahang yang terkatup rapat, kedua mata yang menyorot lurus dan tajam, membuat Tari langsung tahu, pasti Ata sudah menelepon saudara kembarnya ini. Berarti kontak pertama setelah bertahun-tahun telah terjadi!
Dengan kedua mata tertancap lurus pada Tari, Ari menggeser meja di depan cewek itu dengan tangan kiri, hingga di antara mereka berdua kini tercipta ruang kosong. Sementara tangan kanannya meraih kursi di depan Tari, mengangkatnya sambil memutarnya 180 derajat, dan meletakkannya tidak jauh di depan Tari, sehingga ketika kemudian Ari duduk, lutut mereka nyaris beradu. Tari langsung memundurkan tubuh, merapatkan diri ke sandaran kursi.
“Kenapa lo nggak cerita kalo lo ketemu Ata?”
Dugaan Tari tepat!
“Masih kaget,” jawabnya singkat, tapi jujur. Dia memang masih kaget dengan fakta itu.
“Siapa aja yang udah lo kasih tau kalo gue kembar?”
“Nggak ada. Gue nggak bilang ke siapa pun kalo lo kembar. Gue juga...”
“Sebut gue ‘kakak’!” seketika Ari memotong kalimat Tari. “Makin lama lo makin nggak sopan ya.”
Lagi-lagi kekang yang tercipta dalam diri Tari akibat pertemuannya dengan Ata membuat sikap kerasnya jadi agak melunak.
“Saya nggak cerita ke siapa pun kalo Kakak kembar,” dia mengulang kalimatnya.
“Ke Fio juga lo nggak cerita? Nggak mungkin.”
“Kalo dia sih nggak usah diceritain. Orang ketemunya berdua dia.”
“Gitu?” sesaat kedua mata Ari menyipit. Kemudian dia menoleh keluar.
“Fio!” panggilnya dengan suara keras.
“Iya, Kak?” kepala Fio menyembul di celah daun pintu yang dibukanya sedikit.
“Sini!”
Dengan muka bingung campur cemas, Fio melebarkan daun pintu.
“Iya eloooo.... calon bini kedua!” ledek Jimmy dengan suara pelan.
Fio langsung melotot. “Gue bilangin Kak Ari lo ya!” ancamnya.
Jimmy langsung menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Jangan, Fi! Jangan! Peaceee, damai! Damai!”
“Ati-ati kalo ngomong yang berhubungan sama Kak Ari. Bonyok ntar lo, bego!” desis Fio lalu masuk dan menutup pintu. Sambil menahan napas dihampirinya Ari.
“Iya, Kak?” tanyanya tanpa berani menatap muka sang senior.
“Duduk.”
Fio mengambil tempat di bangkunya sendiri,di sebelah Tari.
“Lo waktu itu ketemu Ata?” tanya Ari. Ditatapnya Fio tepat di manik mata.
“Iya, Kak.” Tatapan itu membuat Fio menjawab dengan kepala setengah menunduk. Ngeri.
“Trus, lo udah cerita ke siapa aja?”
“Nggak cerita ke siapa-siapa.” Fio langsung menggeleng kuat-kuat.
“Bener?”
“Bener!” kali ini Fio mengangguk kuat-kuat. “Kami tau kok. Kak Ata udah bilang, jangan cerita ke siapa pun.”
“Bagus!” Ari mengangguk. Kemudian dia mejukan tubuhnya. “Jadi kalo berita ini sampe bocor, berarti kalian yang akan gue cari.” Ditatapnya kedua cewek di depannya bergantian. “Paham?”
Jelas keduanya sangat paham. Ari bangkit berdiri, lalu mengembalikan bangku yang dia duduki ke tempat semula. Setelah itu meja Tari juga digesernya kembali ke posisi semula. Kemudian cowok itu melangkah menuju pintu. Peringatan mereka-mereka yang berdiri di depan jendela membuat teman-teman sekelas Tari yang berdiri di dekat pintu segera bergerak menjauh.
Ari membuka kedua daun pintu lalu berdiri di depan teman-teman sekelas Tari.
“Kalo ada yang pengen tau apa yang kami omongin barusan, tanya gue. Jangan sampe gue denger kalian nanya ke tuh cewek dua!”
Setelah menyampaikan peringatan itu, Ari balik badan dan pergi.
***
“Gue udah ngira, makanya gue larang kalian berdua cerita. Trus ngomong apa lagi dia?”
“Nggak ngomong apa-apa lagi. Cuma ngancem itu aja.”
Terdengar Ata menghela napas.
“Ta...,” ucap Tari dengan nada hai-hati. “Kenapa sih mesti diumpetin? Emangnya kenapa kalo kalian kembar?”
“Kalo soal itu lo tanya dia, Tar. Gue juga nggak tau alasannya.”
“Waktu itu lo telepon dia, lo nggak nanya?”
“Mmm, nggak. Karena gue sibuk meyakinkan diri bahwa dia emang kembaran gue, bukan orang lain yang kebetulan mukanya sama.”
“Oh,” desah Tari pelan. Ikutan nelangsa. “Gue boleh tau nggak, kalian ngomongin apa aja?”
“Ngomongin apa ya? Kayaknya bahasa gue sama dia udah beda, Tar. Atau mungkin juga sebenernya masih sama, Cuma karena tembok invisible di tengah-tengah kami tuh kayaknya udah ketebelan, gemanya jadi kacau. Dia ngomong apa gue dengernya apa. Gue ngomong apa dia juga nangkepnya mungkin beda.”
“Oh!” Tari langsung mengerti dia telah melanggar wilayah privat Ata. “Maaf. Maaf. Kok gue jadi pengen tau urusan pribadi lo sama Kak Ari gini sih?”
“Bukan gitu, Tar. Emang nggak ada yang bisa gue ceritain ke elo. Ternyata kami tuh udah jadi dua orang yang bener-bener asing. Dan kalo dua orang asing ketemu atau ngobrol untuk pertama kali, kalo mau nyambung ya topiknya soal cuaca, kali ya? Atau nggak, ngomongnya di tempat-tempat yang ada rental PS yang cozy abis. Selain dapet softdrink, dikasih snack juga.”
Tari tertawa pelan. Tawa prihatin.
“Gue pikir kalian ngomongin sesuatu yang gimana gitu, trus jadi berantem di telepon. Soalnya tadi pagi dia galak banget.”
“Nggak. Nggak ada yang penting. Tapi gue lega karena dia protect elo sama Fio. Aman, kan? Ada yang nanya-nanya nggak?”
“Nggak ada sih. Bener-bener nggak ada yang berani kayaknya.”
“Baguslah. Soalnya, kalo sampe gue denger kalian berdua kenapa-napa karena urusan kami dan dia tutup mata, bener-bener gue samperin tu anak. Kalo perlu gue nongol di sekolah lo. Biar gempar sekalian karena ternyata tu anak punya kembaran!”
Tari tertegun. Kembar itu emang nggak sepenuhnya beda. Kalimat Ata barusan ditambah cara dia mengatakannya..
***
Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Seluruh isi kelas segera mengganti sertagam mereka dengan baju olahraga, kecuali Fio. Tamu bulanannya datang dan dia sudah minta izin Pak Adang, guru olahraga, untuk absen dari lapangan.
Cewek itu yang paling bersemangat menyambut jam olahraga, karena dia sudah punya rencana yang pasti bikin semua teman sekelasnya bakalan sirik. Dia mau dia mau ngerem di kelas. Baca Twilight, novel romantis yang heboh banget itu. Ditemani satu kantong plastik keripik singkong rasa sapi panggang dan sebotol air mineral. Gila, jam pelajaran ternyata juga bisa indah banget!
“ENAK BANGET LOOO!!!” seru seisi kelas begitu Fio mengeluarkan novel tebal itu dari dalam tas berikut keripik singkong dan air mineral. Betul, kan? Fio meringis lebar.
“Udah sana! Buruan pada ke lapangan! Udah lewat sepuluh menit nih,” balasnya, mulai membuka lembar pertama novelnya.
“Lo baru baca sekarang?” tanya Maya. “Ke mana aja lo?”
“Dia baru baca untuk yang ketiga kalinya,” Tari yang menjawab.
“Buseeet deeeh.” Kontan hampir seisi kelas geleng-geleng kepala.
“Buruan! Buruan! Kelamaan bisa kena hukum lari keliling lapangan nih!” seru Renata, ketua kelas. Seisi kelas kemudian melangkah keluar. Meniggalkan Fio sendirian. “Titip kelas, Fi!” seru Renata sebelum hilang di balik pintu.
“Sip!” balas Fio dari balik lembaran-lembar
“Perasaan kok agak rame ya?” kata Nyoman setelah mereka sampai di tepi lapangan.
“Iya ya?” Tari mengangguk.
“Ayo, cepat! Cepat!” seru Pak Adang dari tepi salah satu lapangan futsal.
Seluruh penghuni kelas X-9 itu mulai berlari mengelilingi sisi luar keempat lapangan, sebanyak dua putaran untuk pemanasan. Jadwal minggu ini untuk cowok adalah futsal, sementara untuk cewek adalah basket.
Empat lapangan olahraga yang disediakan pihak sekolah di area depan – dua lapangan futsal, satu lapangan voli, dan satu lapangan basket – membuat dua kelas mempunyai jam olahraga yang sama.
Tragisnya, kelas X-9 tempat Tari tercatat sebagai anggotanya, justru punya jam olahraga yang sama dengan kelas X-3, kelasnya Gita!
Tapi karena rahsia cewek itu hanya diketahui segelintir orang saja alias ekslusif, Tari tidak pernah menyadari bahwa setiap kali jam olahraga tiba, selalu ada sepasang mata yang kerap menatapnya diam-diam dengan rasa bersalah yang pekat di dalamnya.
Begitu juga kali ini. Pemilik sepasang mata itu, yang tengah berada di lapangan voli bersama teman-teman sekelasnya, langsung menatap begitu Tari muncul, dan tetap mengikuti saat cewek itu dan teman-teman sekelasnya mulai berlari mengelilingi sisi luar keempat lapangan sebanyak dua putaran.
“Sst, Tar! Tar!” seru Nyoman tertahan, sambil bergegas menyusul Tari dan menjajarinya. “Kayaknya itu kelasnya Kak Ari deh. Soalnya gue liat ada Kak Oji sama Kak Ridho. Tuh baru aja gabung di lapangan futsal sama anak sepuluh tiga.”
“Ngapain mereka? Nggak apada belajar, apa?”
“Jam kososng, kali.”
Tari menoleh ke arah lapangan futsal. Benar saja. Dilihatnya Oji dan Ridho di antara cowok-cowok kelas X-3 yang sedang bermain futsal.
Aduh, kayaknya bakalan gawat nih, desah Tari dalam hati. Dia mulai merasakan firasat buruk. Tak lama, orang yang akan menjadi tokoh utama dalam firasat buruknya itu muncul.
Fakta bahwa sandera dan target punya jam olahraga yang sama, sesaat membuat Ari terdiam kaget di mulut koridor utama. Kedua bola mata hitamnya menampakkan kilatan tajam. Seringai tipis muncul di bibirnya. Satu ide terbersit dlaam kepalanya.
“Kebetulan yang manis banget. Kenapa gue baru tau sekarang ya?” guammnya sambil melangkah menuju lapangan.
Firasat buruk itu mendatangi Tari, tapi ironisnya, cewek itu justru masuk ke dalam kelompok orang yang tidak menyadari hadirnya sang pentolan sekolah itu. Bahkan ketika detik-detik menjelang firasat buruk itu akhirnya menjadi kenyataan, ketika kelompok yang menyadari kehadiran Ari di tengah-tengah mereka menatap ke satu titik dengan ekspresi waswas, Tari tetap berlari dengan irama konstan di sebelah Nyoman, yang juga sama-sama tidak menyadari kehadiran Ari.
Setelah seseorang menyambar tanga kirinya dan orang itu ternyata Ari, baru Tari tersentak. Seketika mukanya memucat. Refleks, ditariknya tangan kirinya dari genggaman Ari. Kedua kakinya juga langsung berhenti berlari. Tapi kelima jari Ari mencengkeram seperti baja, tidak juga terurai meski Tari sudah mengerahkan seluruh tenaga. Dan Ari memaksanya untuk tetap berlari.
“Kak Ari, lepas!” Tari berseru tertahan. Ari membalasnya dengan senyum dan goda di kedua matanya,
“Kak Ari, lepas kenapa sih!?” kali ini Tari memberontak. Tangan kanannya terulur, akan mencubit tangan kanan Ari yang mencengkeram tangan kirinya. Tapi gerak jari-jarinya yang terbaca membuat Ari segera menangkap tangan itu sebelum sempat menyentuhnya. Dan lagi-lagi hanya senyum dan sorot menggoda di kedua matanya, yang kemudian menyambut usaha Tari untuk melepaskan tangan kanannya yang kini juga terbelenggu.
Kemeja Ari yangs eluruh kancingnya tak terkait, menciptakan kibar yang membuat keduanya tak pelak menjadi ititk fokus setiap tatapan. Dan adegan itu dipastikan akan terekam dalam ingatan begitu banyak saksi mata.
Ari membawa Tari mendahuli yang lain. Tepatnya, denga paksa membawa Tari berlari mendahului yang lain, dan Tari berusaha keras untuk bisa melepaskan diri.
Teman-teman sekelas Ari yang menyaksikan itu hanya bisa tersenyum-senyu
There’s nobody that could help her deh. Semua teman Tari hanya bisa menyaksikan dengan pasrah. Dua orang yang bisa menolong, Oji dan Ridho, pilih mmembiarkan peristiwa itu terjadi. Argumen mereka sederhana. Semua cowok berhak naksir cweek yang mana aja. Dan berhak melakukan pedekate dengan cara apa pun juga.
bersambung ke bab 9.2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar