Jingga
dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 2karya : Esti Kinasih
Tari berjalan santai menyusuri trotoar menuju sekolahnya. Trotoar itu lengang karena saat ini jam pelajaran sedang berlangsung. Dia terpaksa madol jam pelajaran pertama dan kedua karena harus ke dokter gigi. Menemani adiknya, Geo, yang sudah dua hari teriak-teriak sakit gigi tapi tetap nggak mau diajak ke dokter.geo takut gigi yang sudah senut-senut itu dibor atau malah dicabut sekalian.
Setelah Mama mengancam akan mencabut sendiri dengan tang milik Papa, baru Geo mau diajak ke dokter. Itu juga dengan syarat Kak Tari juga ikut. Dia nggak mau kalau cuma diantar Mama, karena katanya, Mama kejam. Jadilah pagi ini Tari madol dua jam pertama.
Tari melihat arlojinya. Masih duapuluh menit lagi sebelum bel ketiga. Enaknya nongkrong diaman ya? Gumamnya pelan.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh orang-orang berlari. Tari balik badan dan terpana. Segerombolan besar cowok-cowok SMA Brawijaya, musuh bebuyutan sekolah Tari , muncul dari tikungan. Beberapa orang dengan tongkat kayu tergenggam di tangan kanan. Beberapa orang membawa kantong plastik hitam. Tari tahu pasti apa isinya. Batu!
Refleks, Tari bersembunyi di balik sebatang pohon peneduh jalan tidak jauh darinya. Disapukannya pandangannya berkeliling dengan panic. Dia harus mencari tempat bersembunyi yang aman secepatnya, karena pohon itu terlalu langsing. Soalnya pernah ada cerita bahwa anak-anak Brawijaya menyerang cewek juga. Bukan dibikin bonyok sih, tapi untuk memancing cowok-cowok SMA Airlangga keluar dari area sekolah dan menjawab tantangan mereka. Dijadiin sandera gitu deh. Tantangan itu langsung dijawab karena kebetulan yang disandera waktu itu ceweknya ketua OSIS.
Sayangnya, satu-satunya tempat bersembunyi yang paling dekat cuma bak sampah yang terletak di depan pagar sebuah gedung instansi milik pemerintah, yang memang bersebelahan dengan gedung sekolahnya, yang posisinya kebetulan sejajar dengan tempatnya bersembunyi.
Tidak ada pilihan. Mumpung mereka masih lumayan jauh, Tari buru-buru berlari ke bak sampah itu lalu meringkuk dalam-dalam di sebelahnya. Dipeluknya kamus Bahasa Inggris-nya erat-erat di dada. Cewek itu makin menciutkan tubuh sekecil-kecilny
Tapi sial, cowok yang berlari paling belakang memergokinya. Cowok itu tidak sengaja menoleh dan seketika menghentikan larinya. Keduanya sama-sama tertegun. Tari langsung bersikap waspada. Cowok itu melirik cepat pada badge di lengan kanan baju seragam Tari. Nama SMA musuh yang tertera di sana membuat cowok itu berdecak. Dengan langkah lebar dan tergesa dihampirinya Tari. Tubuhnya kemudian membungkuk seiring tangan kanannya yang terulur.
“Lo pergi cep…”
Kalimatnya tidak sempat selesai. Tari mendadak berdiri. Dengan kamus Inggris-Indones
“Heh, sst! Denger!” cowok itu berseru tertahan sambil berusaha mengelak dari setiap serangan Tari. Tapi Tari yang sedang ketakutan jelas tidak mengacuhkan kata-kata itu. Serangannya makin membabi buta.
Cowok itu jadi gusar. Direbutnya kamus itu dari tangan Tari lalu dilemparnya ke tanah. Tari tertegun. Serangannya kontan terhenti. Tapi detik berikutnya dia membuka mulut, siap menjerit sekeras-kerasny
“Diem, bego! Lo mau temen-temen gue kesini!?” bisiknya. Tapi kalimatnya justru membuat Tari tambah panik dan ketakutan.
“Diem!” bentak cowok itu. Dia perketat pelukannya.
“Hhmmff! Hhmmff!” Tari berontak mati-matian.
Cowok itu mulai kewalahan. Dengan paksa ditariknya Tari ke sisi lain bak sampah, sementara matanya menatap ruas jalan di depan SMA Airlangga yang sudah menjadi arena pertempuran. Suasana riuh oleh pekik dan teriakan, juga butiran batu yang melayang dari dua arah. Raut muka cowok itu terlihat lega saat menyadari tidak ada satu pun mata terarah pada mereka berdua saat ini.
Namun, akibatnya cowok itu jadi lengah. Pelukannya sedikit mengendur. Tari langsung memanfaatkan kesempatan itu tanpa buang waktu. Digigitnya tangan yang membekap mulutnya. Cowok itu memekik. Seketika dekapan dan bekapan kuatnya merenggang.
Tari buru-buru melepaskan diri. Dia berlari ke sisi lain bak sampah, meraih kamusnya yang tergeletak di tanah, kembali ke tempat semula, lalu memukuli cowok itu tanpa ampun. Sekuat tenaga, membabi buta, dan hampir-hampir di luar kesadaran. Cowok itu sampai kewalahan menghindari setiap serangan Tari hingga akhirnya jatuh terjerembap ke tanah.
“Cukup!”
Tiba-tiba dua buah tangan terulur dari arah belakang dan mencengkeram kedua tangan Tari. Cewek itu menoleh dan terpana. Cowok itu cowowk yang telah melindunginya dari matahari saat upacara. Ari!
Tanpa sadar Tari menjatuhkan kamusnya. Bukan hanya karena kedatangan Ari yang tiba-tiba, tapi juga karena genggaman kedua tangan cowok itu. Dan yang paling membuat Tari jadi menahan napas, karena tanpa sadar Ari sudah merengkuhnya. Dia bisa merasakan tubuh cowok itu menempel di punggungnya. Posisi itu juga membuat tatapan cowok SMA Airlangga itu jadi menajam.
Sementara itu Ari menatap ke ruas jalan di depan sekolahnya. Tanpa sadar genggaman kedua tangannya pada Tari menguat saat menyadari situasi di sana semakin kacau. Jalan yang dibuka teman-temannya tadi, yang membuatnya bisa mencapai tempat ini, telah tertutup. Dilihatnya anak-anak SMA Brawijaya sudah hampir mencapai area di depan pintu gerbang. Pasti para guru sudah menutup gerbang dalam, mengantisipasi agar tidak semakin banyak siswa yang terlibat tawuran. Akibatnya, kelompok SMA Airlangga jadi kalah jumlah.
Bagi Ari, tawuran bukan hal baru. Tapi sekarang ada cewek bersamanya. Dia tidak bisa tidak peduli. Jadi, mau tidak mau mereka harus masuk sekolah lewat gerbang samping yang jaraknya lumayan jauh karena selain harus memutari gedung sekolah, mereka juga harus memutari gedung milik pemerintah yang berdiri tepat di samping area sekolah.
Anak-anak SMA Brawijaya tidak pernah menyerang dari gerbang samping. Karena selain temboknya tinggi –jadi diperlukan keahlian sekelas atlet lempar lembing untuk bisa melemparkan batu sampai melewatinya –juga karena guru-guru selalu langsung bersiaga disana.
“Cepet pergi dari sini!” bisik Ari di telinga Tari. Dia melepaskan rengkuhannya, lalu tangan kanannya menggengggam pergelangan tangan kiri Tari. Sebelum meninggalkan tempat itu, Ari menoleh ke arah cowok Brawijaya yang sudah bangkit berdiri dari posisi terjerembap. Sesaat kedua cowok yang jadi pentolan sekolah masing-masing itu saling tatap. Tepat di manic mata masing-masing.
Kemudian Ari menarik Tari ke arah perempatan jalan. Dengan tatapan yang semakin menajam, cowok Brawijaya tadi mengikuti kepergian keduanya sampai hilang dari pandangan.
Pontang-panting
“Balik lagi yuk? Tadi tu cowok saya pukulin kenceng banget. Takut dia kenapa-napa.”
Sesaat Ari tertegun menatap wajah pucat Tari yang sarat kecemasan dan ketakutan. Kedua mata Tari mulai digenangi butiran air bening, yang menempel di bulu-bulu mata saat kedua mata itu mengerjap. Ari lalu mendengus geli, hampir tertawa.
“Tenang aja. Tu anak nggak bakalan kenapa-napa. Lo kira yang tadi lo pukulin itu siapa?” Ari menatap Tari dengan kedua alis terangkat tinggi. “Pentolannya anak Brawijaya, tau!”
Kecemasan pekat yang tadi menyelimuti muka Tari kontan lenyap. Ditatapnya Ari dengan kedua mata terbelalak. Sekali lagi cowok itu mengangkat kedua alisnya.
“Kalo elo balik, kayaknya elo yang nanti bakalan kenapa-napa deh.”
Suara riuh yang samar-samar terdengar menandakan anak-anak Brawijaya telah pergi dari depan sekolah SMA Airlangga.
“Cepet lari. Mereka kesini!” refleks Ari meraih tangan Tari. Keduanya berlari cepat menyusuri trotoar. Tari sudah merasa seperti terbang, karena Ari menggenggam erat tangannya dan setengah menariknya. Tari terpaksa mengerahkan seluruh tenaga untuk menyamai kecepatan cowok itu.
Ketika trotoar itu menikung ke arah gerbang samping sekolah, mendadak Ari menghentikan larinya. Dua orang guru yang sedang berjaga di sana adalah formasi yang paling menyebalkan: Bu Sam dan Bu Ida.
Tari yang tidak mengira Ari akn berhenti, tak ayal menbraknya keras. Nyaris saja dia jatuh tersungkur kalau saja Ari tidak buru-buru menangkap tubuhnya.
“Balik! Balik!” bisi Ari.
“Kok…?” Tari menatapnya bingung.
“Yang jaga Bu Sam sama Bu Ida. Repot urusannya kalo sama mereka. Gue sih nggak pa-pa. Udah bad record lama. Elo tuh, baru kelas sepuluh, cewek pula.”
“Tapi saya kan nggak ikut tawuran?”
“Nggak ada bukti lo nggak iktu tawuran. Apalagi nongolnya bareng gue.”
“Tapi saya izin kok. Izin mendadak sih. Tadi sama Mama udah dibikinin surat.”
“Gitu? Oh, kalo gitu sih nggak pa-pa. Ya udah, yuk!”
“Ya ampun…!” seru Tari tiba-tiba. “Suratnya ada di dalam kamus!”
“Hm!” Ari memutar kedua bola matanya. “Berarti, no choice. Ya udah, buruan balik. Ntar keburu mereka ngeliat.”
Mereka balik arah, menuju bagian belakang sekolah. Pembangunan tembok tinggi itu belum selesai. Jadi sedikit pagar besi yang tersisa masih berdiri. Kebetulan posisinya ada di belakang tembok ruang-ruang laboratorium, jadi kemungkinan kepergok guru sangat kecil. Kecuali kalau memang lagi sial. Ari segera memanjat pagar itu.
“Cepet naik!” dia ulurkan kedua tangannya. Tari langsung geleng kepala kuat-kuat.
“Saya nggak bisa manjat pagar.”
Ari berdecak tak sabar. “Kalo nembus pagar, bisa nggak?”
“Ya nggaklah…,” Tari menjawab agak kesal.
“Nyabut pagar sampe lepas dari beton?”
“Nggak.” Tari menggeleng.
“Ngerayap di tembok kayak Spiderman?” kejar Ari.
Tari mnggeleng lagi, kali ini tidak mengeluarkan suara.
“Berarti nggak ada pilihan, kan?”
“Ng…”
“Cepetan!” Ari nyaris membentak saking tidak sabar lagi. Tari menatap pagar di depannya dan menelan ludah. Pagar itu tinggi, jadi nggak mungkin dipanjat tanpa mengangkat rok tinggi-tinggi juga. Ari tahu apa yang berkecamuk di dalam kepala Tari. Cowok itu menatapnya lurus-lurus.
“Nggak usah mikir yang macem-macem deh. Ini emergency. Cepet. Keburu ada guru yang patrol nih!” Cowok itu mengulurkan kedua tangannya rendah-rendah.
Terpaksa Tari menyingsingkan roknya lalu memanjat besi-besi pagar itu dengan bantuan Ari.
“Pegangan yang kenceng.” Setelah Tari berada di puncak pagar, Ari melepaskan pegangannya perlahan karena bisa dia rasakan tubuh cewek di sebelahnya itu gemetar. Kemudian dia melompat turun ke halaman sempit di sebelah dalm. “Lompat!” perintahnya sambil merentangkan kedua lengannya. Belum lagi Tari sempat melompat, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“HEI, KALIAN BERDUA!” Seorang guru melangkah cepat ke arah mereka.
“Ck, pas banget, lagi!” desis Ari sambil menoleh sesaat ke asal suara. “Loncat cepet!” cowok itu semakin merentangkan kedua lengannya lebar-lebar.
Tanpa sempat berpikir lagi, Tari melompat turun. Dengan sigap Ari menangkap tubuh yang melayangtanpa kestabilan untuk mendarat itu.
“Lari!” perintahnya sambil meraih satu tangan Tari. “Itu Pak Arman. Guru anak IPS. Aman kalo dia sih. Rabun jauh.”
“ARI! BAPAK TAU KAMU ARI! BERHENTI!” seru Pak Arman.
“IYA, PAK! INI SAYA!”Ari balas berseru, tapi tetap sambil terus berlari.
“BERHENTI KAMU!!!” bnetak Pak Arman dengan suara makin keras.
“IYA, PAK! NTAR! TANGGUNG NIH!” Ari menjawab tanpa rasa takut.
“Tapi dia kenal Kakak?” tanya Tari di sela napas yang tersengal.
“Siapa sih yang nggak kenal gue?”
Begitu mereka sampai di tempat sepi dan Pak Arman tertinggal di belakang, Ari menghentikan larinya. Tari mengikuti. Cewek itu menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit karena kehabisan napas.
“Lepas semua pernak-pernik lo yang serba oranye itu,” perintah Ari.
“Emangnya kenapa?” Tari menatapnya dengan kening berkerut.
“Mencolok, tau? Percuma aja dari tadi berusaha menghindar kalo akhirnya kecatet juga di black list. Elo, bukan gue.”
“Katanya dia rabun jauh?”
“Iya. Tapi dia nggak buta warna. Kita bukan cuma mau menghindari Pak Arman, kita mau ngelewatin ruang guru nih.”
Tari menurut. Dilepasnya semua pernak-pernik yang dipakainya. Ari terpaksa ikut turun tangan setelah memperhitungkan
“Wali kelas lo siapa?” Tanya Ari setelah pekerjaan mereka selesai dan Tari sedang memasukkan semua aksesori ke dalam salah satu kantong tasnya.
“Bu Pur.”
Ari kontan bersiul.
“Kebeneran. Dulu ibu guru cantik itu juga wali kelas gue. Gampang kalo gitu. Ntar gue yang ngomong.”
“Kakak mau nganter sampe kelas?” Tari tercengang.
“Trus lo mau ngomong apa? Masih bawa-bawa tas gitu. Kalo nongol bareng gue, tuduhannya akan ke gue. Kecil itu sih.”
“Ntar saya ngomong terus terang aja sama Bu Pur deh. Pasti dia ngerti.” Tari berusaha menolak dengan cara halus. Bukan apa-apa. Menurutnya, nongol bersama Ari justru urusannya bakalan lebih ribet ketimbang nongol sendirian.
“Udah, ikutin aja. Lo tuh cerewet banget ya.” Ari tidak peduli penolakan Tari, membuat Tari menghela napas panjang-panjang
“Bu Pur pasti udah kenal banget sama Kakak deh.”
“Yang lebih tepat, udah tobat!” Ari menyeringai lalu terkekeh geli.
Seisi kelas X-9 menatap dengan muka terpana, ketika terdengar ketukan pintu dan mereka dapati Ari dan Tari berdiri di ambangnya.
“Ada apa kamu kesini?” Tanya Bu Pur dengan nada tajam.
“Nganterin anak Ibu,” jawab Ari dengan nada manis. Tari melangkah masuk dengan kepala tertunduk dan muka pucat.
“Maaf, Bu. Saya…”
“Duduk!” perintah Bu Pur dingin. Tari langsung tutup mulut dan berjalan ke bangkunya dengan kepala tetap tertunduk. Ari menatapnya dengan senyum tipis.
“Ini salah saya, Bu. Bukan…”
“Ibu sudah tau kalau itu. Pasti ulah kamu!” Bu Pur mamotong ucapan Ari. Cowok itu meringis lebar.
“Ibu tuh mengerti banget saya , ya? Jadi terharu. Ibu kenapa nggak ngajar kelas dua belas sih? Kan bisa jadi wali kelas saya lagi.”
“Nanti kalau kamu sudah lulus!” jawab Bu Pur getas. Ari kadi tertawa, pelan tapi geli.
“Kalo gitu saya nggak usah lulus deh. Ntar pas UAN jawabnya asal-asalan aja. Biar ngulang setaun lagi. Tapi janji ya, Ibu jadi wali kelas saya?”
Bu Pur menatap Ari dengan tatapan dingin yang mulai menyimpan kemarahan. Dia tersinggung karena merasa wibawanya telah dilecehkan. Apalagi di depan murid-murid yang belum genap satu bulan bergabung di SMA Airlangga, yang menyaksikan peristiwa itu dengan ternganga-ngang
Ari menghentikan tawanya melihat muka marah guru cantik di depannya itu. Bu Pur memang terkenal di kalangan murid cowok. Selain cantik, ibu guru satu ini punya bentuk betis yang sempurna. Bak bulir padi!
“Kalo gitu saya permisi, Bu. Selamat pagi.” Masih sambil menahan senyum, Ari membungkukkan tubuhnya lalu berjalan keluar kelas dengan langkah-langkah
“Teruskan catatan kalian!” perintah Bu Pur galak, ketika dilihatnya murid-murid di depannya masih ternganga-ngang
“Laper banget,” desah Tari sambil menutup buku-bukunya. Tapi impiannya melahap siomay di kantin langsung musnah begitu mendengar perintah Bu Pur.
“Tari, kamu ikut Ibu ke ruang guru!”
Dan di ruang guru itu, Tari kemudian diceramahi Bu Pur habis-habisan. Meskipun dia sudah menceritakan kejadian yang sebenarnya, alasan keterlambatanny
“Kalau nggak mau dapet masalah, kamu harus jaga jarak dengan Ari!” perintah Bu Pur dengan nada final. “Ngerti, Tari?”
“Iya, Bu.” Tari mengangguk patuh.
Begitu Tari keluar dari ruang guru, bel tanda jam istirahat telah berakhir, berbunyi. Nggak ada lagi kesempatan ke kantin buat ngisi perut. Terpaksa dia menahan lapar sampai jam istirahat kedua tiba.
Istirahat kedua, sambil melahap siomay, Tari dipaksa menceritakan lagi kronologi kejadian tadi pagi. Kali ini di depan teman-teman cewek sekelas dan beberapa teman cowok yang tertarik dengan peristiwa itu. Berbeda dengan Bu Pur, teman-teman Tari berpendapat kisah pertemuan keduanya dengan Ari yang lagi-lagi insidental itu keren banget. Dan romantis. Lebih romantis daripada cerita-cerita dongeng atau film.
“Gila ih! Lebih menggetarkan dibandingin film-film Korea. Gue sampe merinding dengernya,” desah Devi. Kedua tangannya tertangkup di depan dada. Yang lain langsung setuju.
“Apa kata elo deh,” ucap Tari masa bodo. Dia masih shock dengan rentetan kejadian pagi tadi yang di luar dugaan. Tari jadi malas memikirkan reaksinya teman-temannya.
“Ntar certain lagi ya, Tar?”
“Ogah!”
***
Kemunculan Ari di kelas, apa yang sudah dilakukannya untuk Tari, juga sikap kurang ajarnya pada Bu Pur, membuat keputusan yang telah dibuat Tari dan teman-temannya untuk memetieskan nama Ari waktu itu dianulir.
Bukan hanya karena cowok itu terlalu ganteng untuk cuma dianggap sebagai angin lewat, tapi juga karena banyak hal menarik muncul kalau sudah menyebut satu nama itu.
Nyoman yang paling getol nyari info tentang Ari. Soalnya emang cuma dia yang punya beberapa teman di kelas sebelas, angkatan yang jelas tahu banyak tentang Ari. Dan dengan girang cewek itu akan menyampaikan setiap info baru yang dia dapatkan kepada teman-temannya.
Seperti siang ini, Tari dan semua teman-teman cewek sekelas tetap berkumpul di kelas pada saat jam istirahat, karena Nyoman punya info baru tentang Ari yang sangat-sangat penting dan sanga-sangat perlu untuk diketahui.
Saking krusialnya info itu, cewek-cewek itu sampai rela nggak makan. Mereka membeli satu kantong plastik gorengan dari kantin dan satu gelas air mineral per orang.
“Pasti mau ngomongin Ari lagi,” kata Jimmy sambil berjalan ke pintu.
“Tau aja. Kalo lo sekong, lo boleh ikutan,” kata Nyoman. Jimmy menyeringai. “Mending gue sama lo aja deh, Man. Biar jelek, lo cewek tulen.”
“Kurang ajar!” Nyoman mencomot sepotong bakwan dari kantong plastik lalu melemparnya ke arah Jimmy. Dengan sigap cowok itu berkelit. Disambarnya bakwan itu sesaat sebelum mendarat di lantai dan langsung dilahapnya sambil berjalan ke pintu.
“Thanks!” katanya sebelum menghilang.
“Kurang ajar tuh si Jimmy,” gerutu Nyoman dengan tampang cenberut. Dia tersinggung. Jelaslah. Mana ada cewek yang nggak bakal marah kalo dibilang jelek, meskipun kenyataannya emang jelek.
“Bercanda doang dia, Man,” hibur Tari.
“Iya. Tapi nggak lucu.” Nyoman mencomot bakwan lagi dari kantong plastik di tengah meja, lalu melahapnya bersama cabe rawit. “Ntar ya, gue makan dulu. Takutnya gue bakalan terus ngomong sampe jam istirahat kelar. Elo-elo mah tinggal dengerin doang,” katanya saat dilihatnya tatapan-tatapan
“Oooh, okeeee.” Teman-temannya mengangguk mengerti. Mereka langsung ikutan makan juga. Takut nanti keselek kalau ternyata info yang akan disampaikan Nyoman benar-benar mencengangkan.
“Jadi begini…” Nyoman memulai konferensi pers nggak resmi itu, setelah melahap sepotong bakwan dan seotong tahu isi. “Gue nggak bisa memulai dari info yang nggak penting. Karena info-info yang gue dapet semuanya penting dan uuh… pokoknya mencengangkan deh!”
“Lo dapet dari temen-temen lo yang anak kelas sebelas itu lagi?” sela Maya.
“Ya iyalah. Kalo gue nyari infonya ke kelas dua belas mah mati konyok namanya, May.” Nyoman menatap Maya, seolah-olah temannya itu manusia paling bego di seluruh jagat raya.
“Iya, iya, sori.” Maya meringis.
“Jadi begini…” Nyoman menatap berkeliling dengan ekspresi muka yang sekarang jadi sangat serius. “Ari itu ternyata waktu baru-baru masuk udah menunjukkan gejala bakalan jadi tukang rusuh. Waktu MOS, dia tuh kayak anak-anak baru yang lain. Nurut disuruh apa aja. Begitu MOS kelar, baru deh keliatan kalo dia suka ngelawan. Kalo dimintain duit seribu-dua ribu, dia masih mau ngasih. Lebih dari itu, dia pilih ribut.”
Nyoman menghentikan sejenak ceritanya untuk minum.
“Anak-anak kelas sebelas mulai nggak seneng tuh sama Ari. Terus mereka bikin rencana mau gencet dia. Tapi dari situ jadi ketauan, Ari tuh kalo udah marah banget, bisa kalap. Bisa kayak orang nggak sadar atau kesurupan gitu. Pertama kali ketauan waktu dia dikeroyok anak-anak kelas sebelas di belakang, pas pulang sekolah. Dia di jemput di kelas trus di bawa ke belakang sekolah. Disana dia dihajar. Tau nggak? Si Ari emang babak belur parah. Sampe masuk rumah sakit. Tapi anak-anak kelas sebelas yang ngeroyok dia babak belurnya juga sama. Kayaknya dia ngelawan mati-matian sebelum akhirnya pingsan.”
Nyoman berhenti sejenak untuk minum lagi.
“Nah, abis itu namanya mulai ngetop tuh. Anak-anak kelas sebelas mulai mikir kalo mau ngapa-ngapain dia. Soalnya pernah sekali lagi Ari di keroyok, tapi di luar sekolah. Dia dicegat di jalan gitu. Dihajar sampe babak belur lagi. Tau nggak? Begitu dia sembuh, anak-anak kelas sebelas yang ngeroyok dia, dia datengin satu-satu. Satu anak dia hajar di toilet sekolah. Pas tu anak lagi sendirian. Satu dia datengin ke rumahnya pas lagi kosong, trus dia tarik ke halaman dan dia hajar disana. Tiga anak dicegat di jalan, trus…”
Nyoman berhenti untuk mengingat-ingat
“Oh, yang dia datengin ke rumahnya ada dua orang ding. Satu dia hajar di ruang tamu. Di deoan nyokap tu cowok! Abis itu Ari jelasin kenapa dia mukulin anaknya. Yang paling keren, ini menurut gue ya, salah satu cowok yang dia cegat di jalan lagi boncengan berdua sama ceweknya. Anak sekolah kita juga. Sama Ari tu cewek disuruh turun dari motor trus dicegatin taksi. Sopirnya dikasih ongkos trus dia suruh nganterin tu cewek sampe depan rumah. Baru setelah itu cowoknya dia hajar abis-abisan. Gentle, kan? Menurut gue, dari kasus ini, Ari tuh gentle banget.”
Untuk yang kesekian kali, Nyoman berhenti bercerita lagi. Kali ini untuk membuka segelas air mineral lagi. Para pendengarnya penasaran, tapi nggak mau mendesak. Mereka menunggu dengan sabar.
“Dan ini ceritanya kenapa Ari itu bisa jadi pentolan sekolah kita kayak sekarang ini,” lanjut Nyoman. “Waktu itu dia masih kelas sepuluh juga. Pas pulang sekolah anak-anak Brawijaya nyerang. Kayak kemaren itu. Tiba-tiba aja mereka udah sampe di depan gerbang gitu. Ari ngeliat ada satu anak sekolah kita yang diculik. Diseret ke mobil trus dibawa pergi. Langsung Ari ngejar pake motor. Tu cowok bawa besi. Tau nggak, besinya dari mana?” Nyoman memandang teman-temannya yang serentak menggelengkan kepala tapi nggak satu pun mengeluarkan suara. “Dari pagar depan yang bisa dicopot itu. Yang dia pake menyelinap pas upacara itu. Yang terus dia berdiri di depan elo, Tar.”
“Ooooooh!” semuanya ber-oh bersamaan.
“Gitu, ya?” Tari mengangkat kedua alisnya.
“Iya, jadi nggak tau deh, apakah tu besi emang tadinya udah copot, atau dicopot sama Ari. Katanya sih mobil anak Brawijaya itu dipukulin sampe ringsek sama Ari. Kacaunya abis. Ya gitu, dia ngamuk kayak kesurupan. Ternyata cowok yang diculik itu anak kelas dua belas, udah gitu sahabatnya pentolan sekolah kita waktu itu. Abis itu Ari langsung dijadiin anggota kelompok mereka. Pastinya kelompok perusuh di sekolah. Dan dia bergaulnya jadi sama anak-anak kelas dua belas. Sejak itu anak-anak kelas sebelas nggak berani ngusik Ari lagi. Nah, waktu kelas du belas lulus, hierarki kepemimpinanya lompat tuh. Langsung ke Ari. Kelas sebelas yang naik kelas dua belas dilewatin. Tapi mereka nggak berani protes. Soalnya beberapa anak kelas sebelas yang naik kelas dua belas itu udah jadi anggota gerombolannya Ari.”
Lagi-lagi Nyoman berhenti bercerita sesaat. Kali ini untuk menarik napas panjang-panjang
“Dan ini info yang paling penting. Yang gue berani jamin lo-lo pada bakalan kaget.” Nyoman menatap teman-temannya dengan senyum puas terkembang lebar-lebar.
“Apaan tuh?” semuanya bertanya serentak. Nyoman tersenyum-senyu
“Lo-lo pasti nggak percaya kalo gue bilang Ari tuh nggak pernah, selama ini ya, punya pacar!”
“BOHONG!!!” semuanya berseru bersamaan.
“Tul, kaaan?” Nyoman terkekeh-kekeh.
“Bohong lo, Man! Nggak mungkin! Ngarang!” kata Tari. Kedua matanya yang menatap Nyoman membulat maksimal.
“Bener!”
“Nah, terus itu, cewek-cewek yang sering bareng dia itu, siapa?”
“Bareng gerombolannya, maksud lo?” ralat Nyoman.
“Ya apalah. Mereka itu siapa?”
“Ya cewek-cewek yang naksir Ari. Sama kayak kita-kita ginilah.”
“Elo doang, kaleeee!” kata-kata Nyoman langsung disambut koor bantahan. Cewek itu meringis.
“Urusan elo-elo deh kalo mau nyangkal. Kalo gue sih ngaku, gue suka tu cowok. Cakep sih. Tinggi, lagi. Masalah dia bendel, cowok yang bener tuh emang kudu bandel, lagi.”
“Serius, Man?” Tari masih penasaran, mewakili rasa yang menghinggapi semua teman-temannya yang mendengar cerita itu.
“Iya!” Nyoman menjawab tegas.
“Perasaan, banyak banget ceweknya. Gue malah jarang banget ngeliat nggak ada cewek di sebelahnya.”
“Tapi ganti-ganti, kan?”
“Iya sih.”
“Itu dia. Ari tuh nggak peduli kalo ada cewek yang mau bergabung di gerombolannya. Silakan aja. Meskipun tujuannya jelas-jelas buat pedekate ke dia, tu cowok tutup mata. Belagak nggak ngeh. Buntutnya tuh selalu cewek-cewek itu yang akhirnya nggak tahan trus pada pergi. Sambil patah hati biasanya. Ari tetep nggak peduli.” Nyoman terkekeh-kekeh.
“Jangan-jangan dia homo?” kata Okta.
“Nggak mungkin!!!” semuanya membantah dengan seruan nyaring.
“Lo nggak inget waktu dia nggodain Bu Pur? Bu Pur mukanya sampe merah gitu.” Nyoman memelototi Okta. “Kalo homo, nggak bakalan dia mau godain Bu Pur, tau!”
“Maksud gue homo sapiens,” jawab Okta sambil nyengir.
“Itu lebih nggak mungkin lagi. Manusia purba mana ada yang ganteng sih? Mulutnya kan pada monyong-monyong
“Atau nggak, dia pernah ngalamin patah hati yang sampe parah. Jadinya trauma, trus nggak mau punya pacar lagi,” giliran Maya mengajukan hipotesis. Nyoman langsung membantah.
“Kapan pacarnnya? Waktu SMP gitu? Taelah… sampe segitunya. Se-broken heart-broken heart-nya anak SMP, paling seminggu-dua minggu. Abis gitu juga lupa.”
“Gue nggak,” Maya membantah. “Waktu putus sama cowok gue, pas kelas delapan, gue patah hatinya sampe empat bulanan.”
“Elo bego!” cela Nyoman. “Ngapain, lagi? Rugi!”
“Kok jadi ngomongin Maya sih?” sela Okta. “Jadi kenapa dong si Ari nggak pernah punya cewek?”
“Itu dia yang masih jadi pertanyaan besar!” Nyoman menjentikkan jarinya keras-keras. “Ad saru lagi yang lo-lo juga pasti bakalan kaget. Percaya nggak? Nggak ada satu orang pun yang tau dimana Ari tinggal.”
“Haaa? Masa sih?” lagi-lagi info Nyoman itu membuat teman-temannya tercengang.
“Beneran!”
“Temenya segitu banyak bejibun. Masa nggak ada satu aja yang tau di mana rumahnya?” Tari mengerutkan keningnya rapat-rapt.
“Nggak ada, makanya, aneh kan?”
“Nggak ada yang coba nanya atau cari, gitu?”
“Gue nggak tau kalo itu. Ntar deh, gue cari info lagi.”
Saking mencengangkanny
“Sedang rapat apa kalian?” tanya Pak Yakob dengan suara keras sambil mengetuk-ngetuk
Cewek-cewek itu tersentak dan menoleh ke depan bersamaan. Mereka langsung bubar dan kembali ke tempat masing-masing.
“Rapat apa?” ulang Pak Yakob.
“Rapat soal Ari, Pak!” Jimmy yang menjawab. Kontan cewek-cewek itu menoleh ke arahnya dengan tampang kesal.
“Oh, mau ikut-ikutan bandel, begitu ya?” tampang Pak Yakob langsung berubah galak. “Buka buku catatan kalian!”
Tari kembali ke bangkunya dengan pikiran berkecamuk hebat. Pak Yakob dan uraiannya yang panjang-lebar terabaikan karena Tari nggak bisa mengenyahkan Ari dari dalam kepalanya. Meskipun info yang disampaikan Nyoman tentang Ari serbagelap, serbaseram, dan bikin ngeri, entah kenapa Tari merasa cowok itu sebenarnya baik. Hanya saja sisi baiknya itu sepertinya sengaja dia tidurkan.
Karena, Tari sempat merasakannya, ketika sisi baik Ari sesaat menyeruak di antara sisi buruknya yang lebih aktif dan dominan. Mungkin karena dia pernah merasakan pertolongan Ari. Mungkin karena dia juga telah merasakan perlindungan yang diberikan cowok itu. Genggaman tangannya, sekilas tatapan lembutnya, rasa kuatir yang terselip di antara nada tajamnya, dan di balik sikapnya yang sering kurang ajar, cowok itu juga punya batas kesopanan.
Pasti ada yang salah dengan informasi yang tadi dikatakan Nyoman. Atau bisa jadi, semua info itu memang benar, tapi ada sesuatu yang tidak diketahui siapapun kecuali Ari sendiri.
bersambung
capek nih, dri tadi ngetik mulu, ngomik dulu….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar