Jingga
dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 7 (1)karya : Esti Kinasih
Keesokan harinya Ari berangkat dengan emosi dan hati yang lebih tenang, karena Angga tidak lagi dipandangnya sebagai ancaman serius. Dan ternyata kali ini Dewi Fortuna ganti berpihak padanya, setelah kemarin-kemarin
“Ada kejutan buat elo,” ucap Ridho pelan.
“Apa?”
Ridho nggak langsung menjawab. Dirangkulnya Ari lalu dibawanya menjauhi pintu.
“Sepupunya Angga ada di kelas sepuluh. Cewek,” jawabnya kemudian.
Kedua alis Ari kontan terangkat tinggi, kemudian dia bersiul keras. “Info dari mana?” tanyanya kaget.
Ridho menyeringai, tidak menjawab. Dia lepaskan rangkulannya. Beberapa detik Ari menatapnya dengan mata menyipit, kemudian teringat sesuatu. Ada anak kelas sepuluh yang naksir temannya ini, dan termasuk kategori cewek berani. Soalnya, berkali-kali Ari melihat cewek itu berdiri di dekat pintu gerbang saat pulang sekolah, sengaja menunggu Ridho muncul. Dan ketika Ridho melintas, pendar-pendar cinta di kedua mata cewek itu bahkan bisa dilihat semua orang.
Sayangnya Ridho termasuk tipe laki-laki sejati, alias lebih suka berburu daripada diburu. Jadi, cewek tipe kayak gitu jelas jadi alternative terakhir untuknya. Itu pun dengan syarat, terjadi bencana dahsyat dan cewek yang selamat tinggal tu cewek doang.
“Gimana caranya lo bisa dapet ni info?” tanya Ari.
“Lo nggak usah tau deh.” Ridho malas membahas. Ari menatapnya lurus. “Pasti dari cewek yang naksir lo itu, kan?”
“Yes!” Ridho meringis sumir. “Cewek yang naksir gue itu temen semeja sepupunya Angga. Bisa dibilang mereka akrab. Namanya Anggita. Panggilannya Gita.”
“Gita ini siapa? Sepupunya Angga atau cewek yang naksir elo itu?”
“Ya jelas sepupunya Angga laaah. Ngapain juga gue ngasih tau elo nama cewek yang bikin gue sakit mata itu,” jawab Ridho agak kesal.
Ari menyeringai lalu tertawa geli. “Sekarang gue perlu tau namanya karena dia udah berjasa.”
Ridho berdecak. “Sarah,” jawabnya malas.
“Sadis juga tu cewek!” Ari geleng-geleng kepala. Tapi dia nggak terlalu heran. Pengkhianatan untuk cinta. Satu kejahatan, kalau bisa dibilang begitu, yang umurnya sudah setua peradaban manusia.
“Konsekuensinya
“Itu sih bisa diatur. Nggak masalah. Demi elo nih.” Ridho mengubah arah tubuhnya, tidak lagi menghadap Ari. Dia mengelak untuk menjawab.
“Nggak. Nggak. Gue nanya serius nih. Lo jalan sama tu cewek?” Ari mengahadapkan kembali tubuh Ridho padanya.
“Iya. Dia ngancem mau ngasih tau The Scissors soal ini. Aturan lo bisa jadiin si Gita itu pion, bisa jadi mentah lagi urusannya, kan? Gara-gara tu cewek diapa-apain gerombolannya si Vero itu.”
“Emang ada urusan apa tukang-tukang gunting itu sama si Gita?”
“Nggak tau. Mungkin juga nggak ada uusan apa-apa. Tapi kalo udah menyangkut elo, Vero pasti bakalan…”
“Iya, tau. Tau,” potong Ari dengan nada malas. Kemudian tatapannya berubah serius.
“Kalo lo nggak suka, jangan maksa. Si Vero itu urusan gue. Berani macem-macem, liat aja dia.”
“Itu sih gampang. Bisa gue atur. Yang penting urusan lo dulu dikelarin.”
“Nggak. Nggak. Jangan. Kalo lo nggak suka, jangan maksa,” Ari tetap menolak.
“Ck, udahlah.” Ridho menepuk pundak sobatnya. “Setelah gue pikir-pikir, sebenernya nggak rugi-rugi amat. Disbanding elo yang naksir cewek yang jelas-jelas enek sama elo…” Kalimat Ridho membuat Ari tertawa mendengus.
“Sialan lo!”
“Masih mending gue. Penyerahan total tanpa pamrih. Gue nggak perlu maksa dan nggak perlu merasa bersalah. Sepertinya sebentar lagi hidup gue bakalan asyik nih.”
“Gila lo!” Ari menepuk puncak kepala Ridho. “Janganlaaah.”
Ridho menyeringai. “TAkutnya ue yang dipaksa, man,” kilahnya. Dia dan Ari tertawa keras.
Ari langsung gerak cepat. Besok siangnya, begiut jam sekolah usai dan setelah mengganti baju seragam dengan T-shirt putih, bersama Oji dan Ridho yang menggunakan satu motor, Ari meluncur menuju SMA Brawijaya. Di sebuah jalan kecil yang rimbun dengan pepohonan di kiri-kanannya – yang terletak tidak jauh dari sekolah Angga – ketiganya berhenti.
“Lo berdua tunggu di sini.” Ari menatapkedua temannya bergantian, sambil menyelubungi kepalanya dengan tudung jaketnya yang berwarna putih, yang sengaja dibelinya untuk keperluan hari ini.
Cowok itu kemudian berjalan menuju tepi jalan raya di seberang gedung SMA Brawijaya. Oji dan Ridho mengikuti langkah Ari dengan tatapan cemas. Dengan posisi tubuh menyamping dan sikap waspada, Ari mengawasi situasi di area depan sekolah musuh bebuyutannya itu. Karena bel pulang baru saja berbunyi, kini tempat itu seperti lautan manusia berseragam putih abu-abu.
Ari memang sngaja memilih saat bubaran sekolah, karena lebih mudah baginya menyelinap di antara banyak orang. Beberapa gerobak penjual makanan berjajar di depan pagar, tidak jauh dari pintu gerbang.
Dengan langkah cepat Ari menyeberangi jalan lalu menyelinap masuk ke tenda penjual mi ayam, gerobak nomor dua dari pinggir. Dipilihnya tempat duduk di tepi bangku panjang. Pada mas penjual mi ayam yang dengan sgap menanyakan pesanan pada setiap orang yang memasuki tendanya, Ari memesan seporsi mi ayam dan segelas es the manis.
Dengan sikap santai, sesekali menghirup lalu mengaduk-aduk es the manisnya dengan sedotan tapi tanpa menyentuh mi ayamnya sama sekali, ari mengawasi pintu gerbang SMA Brawijaya dan keadaan sekitar dengan kewaspadaan yang bertolak belakang dengan sikap santai yang dia tunjukkan. Ingat dirinya pernah berlutut di pintu gebang itu membuat kedua rahang Ari mengeras tanpa sadar.
Tak lama orang yang dicarinya muncul. Sendirian. Sikap santai Ari langsung menghilang. Diawasinya Angga lekat-lekat. Pada salah seorang dari dua orang cewek yang duduk di depannya, yang sedang menunggu pesanan mi ayam mereka, Ari emmajukan duduknya lalu bicara dengan suara pelan.
“Tau cowok yang lagi berdiri di gerbang? Yang pake ransel biru tua.”
“Kak Angga.” Cewek itu mengangguk. Dari cara dia menyebut “Kak”, ketahuan kalau cewek di depannya itu pasti baru kelas sepuluh. Karena begitu naik kelas sebelas, biasanya cewek-cewek jadi kurang ajar dan ogah lagi memanggil senior cowok mereka dengan sebutan “Kakak”.
“Iya, dia. Suruh dia liat kea rah sini. Ntar gue bayarin mi ayam lo.”
Cewek itu berdiri lalu mengampiri Angga. Beberapa saat kemudian Angga menoleh. Ari menurunkan sedikit tudung jaketnya, sekadar agar Angga tahu siapa yang sedag mencarinya. Seketika Angga terpana.
Tanpa menunggu lagi, Ari bengkit berdiri. Dikeluarkannya selembar uang lima puluh ribuan lalu diletakkannya di bawah gelas es teh manis cewek yang disuruhnya itu. Kemudian dia berjalan keluar tenda.
“Thanks,” ucapnya pelan, saat bepapasan dengan cewek itu.
Ari berjalan mendekati Angga lalu berdiri di sebelahnya, bak dua orang kawan. Dibalasnya tatapan tajam Angga tepat di manik mata.
“Ada yang mau gue omongin,” ucapnya. Pelan tapi tandas, dan tanpa basa-basi. “Kami Cuma bertiga,” sambungnya.
Masih sambil menentang tatapan tajam Angga, Ari menaikkan kembali tudung jaketnya. Dan diikuti tatapan tajam Angga, diseberanginya kembali jalan raya di depannya menuju tempat kedua temannya menunggu.
Begitu melihat kedatangan Ari, Oji dan Ridho langsung siaga. Tak lama Angga muncul bersama Bram dan dua orang teman mereka yang lain. Keempatnya langsung menghampiri Ari cs. Mereka berhadapan. Tiga lawan empat.
Tak ada satu pun dari keempatnya yang membuka mulut. Namun, empat pasang mata menghunjam Ari dan kedua temannya seperti bara yang siap meletup. Tetapi ketiganya tetap tenang, karena mereka memegang kartu As yang bisa menjamin keamanan walaupun berada di kandang lawan. Ari maju dua langkah. Menempatkan diri lurus di depan Angga dan Bram.
“Anggita Prameswari. Kelas sepuluh tiga.”
Kalimat yang amat singkat, diucapka ari dengan intonasi datar cenderung santai, namun sanggup membuat muka Angga dan Bram seketika memucat. Bam menggeram dan sudah akan menerjang Ari. Angga buru-buru menahannya dengan mencekal satu bahunya.
Reaksi Bram yang begitu spontan dan jadi reaksi yang pertama, diam-diam mengejutkan Ari. Sepertinya ada dua kepentingan di sini. Persaudaraan milik Angga, dan hati milik Bram. Ari bersiul keras dalam hati. Si Anggita ini ternyata benar-benar umpan yang multiguna.
“Lo apain dia!?” desis Bram, yang masih berada dalam cekalan Angga.
“Gue apain?” Ari mengangkat kedua alisnya. Ditatapnya cowok yang sudah memaksanya berlutut itu, tepat di bola mata. Seketika Bram sadar, mulai detik ini bukan hanya Angga yang terlibat perang pribadi dengan Ari, dirinya telah berdiri di posisi yang sama. Ari tersenyum tipis. Puas saat mengetahui Bram telah menyadari situasinya.
“Baru gue liat aja, kayak apa tampangnya,” lanjut Ari, tetap dengan nada santai. “Sayangnya ada lagi yang tahu,” tamnbahnya kemudian. “Mereka menamakan diri The Scissors.”
Sepasang mata Angga dan Bram menyipit, menatap Ari dengan tanya. Tapi Ari tidak ingin bersusah payah menjelaskan, karena itu bukan problemnya.
“Yang perlu diketahui, gue nggak pernah tertarik untuk ikut campur urusan cewek. Tapi akan gue buat pengecualian. Untuk elo berdua.”
Cuma itu. Kemudian Ari balik badan dan berjalan kea rah motornya. Sambil menatap Angga dan Bram bergantian, cowok itu menstater motornya. Bersama Oji dan Ridho, dia tinggalkan tempat itu.
Angga dan ketiga temannya masih berdiri di tempat, bahkan beberapa saat setelah Ari dan kedua temannya hilang di ujung jalan. Kelamnya muka Angga dan amarah yang tergambar jelas di sana – kondisi yang sama juga melingkupi Bram – membuat kedua teman mereka enggan mengusik.
***
Gita memucat di sofa ruang tamunya. Di depannya Angga dan Bram berdiri dengan muka keruh.
“Kan gue udah bilang berkali-kali, jangan cerita ke siapapun. Jangan sampe ada yang tau kalo lo itu sepupu gue.”
Untuk ketiga kalinya Angga mengatakan kalimat yang sama dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit, sejak dia sampai di rumah Gita. Kalimat yang sarat ungkapan rasa marah dan kecewa. Dan yang terutama, Angga merasa dikhianati oleh sepupunya itu.
Gita masih terdiam. Dia tahu dia sudah melakukan kesalahan. Tapi dia hanya cerita ke satu orang. Sarah, teman semejanya. Pertama, karena dia yakin Sarah akan menjaga rahasianya. Kedua, Gita yakin di sinilah letak kesalahannya, dia bangga karena banyak cewek di sekolah yang bilang Angga itu cakep. Dan mereka menyayangkan statusnya yang sebagai musuh.
Malah Gita pernah nggak sengaja dengar langsung dari mulut Zhi – cewek paling cakep di kelas sepuluh. Zhi ngomong kalo dia naksir berat sama Angga. Sayangnya Zhi nggak tahu mesti nyari info tentang Angga ke mana.
Gara-gara denger Zhi ngomong begitu, Gita nggak bisa lagi menahan diri dan langsung cerita ke Sarah. Gita sama sekali nggak menyangka Sarah akan berkhianat.
“Jadi, sekarang gue mesti gimana?” tanyanya kemudian dengan suara lirih. Kedua matanya menatap Angga penuh penyesalan. Angga berdecak, lalu menghela napas dan mengembuskannya
“Lo nggak bisa apa-apa. Makanya gue larang lo cerita karena lo itu nggak bisa apa-apa. Yang ada malah bakalan kenapa-napa!” jawabnya dengan nada tinggi.
Bram langsung meletakkan tangan kirinya di satu bahu Angga untuk menenangkannya.
“Maaf,” ucap Gita dengan suara semakin lirih. Dengan suara terbata diceritakannya kenapa dia sampai nggak bisa menahan diri dan akhirnya cerita ke Sarah. Kedua bola mata Angga kontan melebar, tapi itu tidak menyebabkan kemarahannya jadi berkurang.
“Yang gue incer si Tari itu, tau!”
“Kak Ari juga naksir dia.”
“Makanya gue jadi kalah gara-gara identitas lo ketauan! Haaahh, sialan!” dengan geram Angga memukul dinding dengan kepalan tangan. Kembali Bram meletakkan satu tangannya di bahu Angga, kali ini dengan disertai sedikit tekanan. Angga menghela napas lalu menjatuhkan diri ke salah satu sofa.
“The Scissors itu apaan sih? Grup musik? Chearleaders?” tanyanya.
“Kok lo tau The Scissors?”
“Ari bilang mereka tau.”
“Iya!?” Gita terenyak. Mukanya kembali memucat. Dengan lemas kemudian dia ceritakan siapa itu The Scissors kepada Angga dan Bram. Begtu penuturannya selesai, ganti kedua cowok itu yang lemas. Mereka sadar, kini mereka dalam posisi yang membuat mereka tidak bisa memberikan banyak perlawanan.
“Tapi masa iya sih Kak Ari kayak gitu?” Gita masih sangsi.
“Kayak gitu gimana? Pengecut, maksud lo?” Angga menatap sepupunya dengan jengkel. “Nah lo liat aja buktinya. Sekarang dia bawa-bawa cewek untuk ngancem gue. Masih juga lo panggil dia Kak Ari. Di rumah nih.”
Gita menunduk mendapati muka marah Angga.
“Takutnya nanti di sekolah keceplosan manggil Ari-Ari doang. Gue bisa abis ntar.”
“Ck! Fuuuh!” Angga berdecak lalu menarik napas panjang. “Lo bikin kacau aja, Git!”
“Maaf. Gue juga bener-bener nggak nyangka Sarah bakalan tega kayak gini.”
“Lagian bokap-nyokap lo itu ada-ada aja. Mentang-mentang
“Maksudnya?” Gita menatap Angga tak mengerti.
Angga tidak menjawab. Diliriknya Bram. Teman karibnya itu seketika memalingkan muka, menatap halaman lewat pintu yang terbuka. Kemudian cowok itu melangkah keluar.
“Kalo yang mau lo omongin udah selesai, bali deh,” ucap Bram tanpa menoleh. Angga menatap punggung Bram sambil menahan senyum.
“Maksudnya apa sih?” Gita mengulang pertanyaannya.
“Udahlah, nggak usah dibahas.” Angga bangkit berdiri. “Kami balik dulu.”
“Maaf ya, Ga?” sekali lagi Gita meminta maaf.
“Ati-ati aja lo di sekolah. Gue nggak bisa nolong,” pesan Angga sebelum pergi, tidak mengcuhkan permintaan maaf tu. Kemudian dia berjalan keluar, menyusul Bram yang saat itu sudah duduk di atas jok motornya.
Anggita mengikuti kepergian kedua cowok itu dengan tatapan mata dan kerut-kerut bingung di keningnya. Satu kalimat Angga meninggalkan tanda tanya yang menggantung di kepalanya.
***
Begitu Angga muncul keesokan paginya, Bram memojokkannya di salah satu sudut kelas dan langsung bertanya, “Lo yakin lo bener-bener naksir tu cewek?”
Angga tersentak, tapi buru-buru menetralkan kembali air mukanya sebelum Bram sempat menangkapnya.
“Emangnya kenapa?”
“Lo yakin lo naksir si Matahari itu, atau karena tu cewek diincer Ari?” Bram mengulang pertanyaannya.
Angga menentang dua manic hitam yang menatapnya lurus-lurus itu. Milik Bram. Teman terdekat yang diperolehnya saat mereka berdua sama-sama dibantai para senior saat MOS dulu. Namun, ternyata ada yang harus dia sembunyikan dari sahabatnya ini. Bahwa Tari sama sekali bukan soal hati. Tapi dendam.
Keduanya saling tatap. Lewat sorot mata, Angga berusaha keras meyakinkan Bram tentang perasaannya pada Tari. Sengaja dia menghindar untuk membuka mulut, agar tidak perlu dibohonginya Bram dengan terang-terangan
Bram mengangguk. Percaya kesungguhan sorot kedua mata sahabatnya itu.
“Sementara lepasin dulu dia, Ga. Daripada sepupu lo kenapa-napa. Sama sekali bukan untuk kepentingan gue nih. Nanti kita pikirin cara lain.”
“Gue tau.” Angga mengangguk. Diam-diam merasa lega karena kebohongannya tidak terbaca.
“Nanti gue bantu.” Bram menepuk bahu Angga lalu balik badan, berjalan ke pojok belakang tempat cowok-cowok teman sekelas mereka duduk bergerombol dan mengobrol dengan riuh.
Angga menatap punggung yang menjauh itu. Dihelanya napas diam-diam. Dalam hati dia meminta maaf atas kebohongan yang terpaksa dia lakukan. Karena dia tahu persis sikap Bram yang anti melibatkan cewek dalam urusan cowok. Meskipun Ari melakukannya, itu tidak akan membuat Bram melakukan hal yang sama.
Sebenarnya prinsip yang sama juga dipegang Angga. Namun khusus untuk Ari, Angga tidak peduli cara apa pun walau harus melanggar prinsipnya sendiri. Demi seseorang yang pernah menangis di depannya dulu.
***
Siang itu Ari mengendarai motornya dengan benak penuh hal-hal yang berhubungan dengan kaputusan yang diambilnya, sehingga tidak disadarinya Angga muncul dari sebuah gang dan menguntit di belakangnya. Ketika Ari berbelok ke sebuah jalan kecil yang relative sepi, Angga langsung menambah kecepatan dan menjajari. Cowok itu memang sengaja memilih jalan kecil yang lengang untuk mengejar Ari, agar mereka berdua dan apa yang akan dilakukan nanti tidak menjadi perhatian.
Ari kaget saat mendadak muncul sebuah motor yang langsung mengambil posisi merapat di sebelah kanannya. Belum sempat dia berpikir, tiba-tiba pengendara motor itu menendang badan motornya. Seketika motor oleng hebat. Ari yang tidak berhasil menstabilkan motornya tak ayal terpelanting dari jok. Satu kondisi yang lebih baik karena kemudian motornya tetap melaju kencang tapi dengan posisi rebah. Meninggalkan jejak pecahan kaca akibat spion kiri menghantam aspal dengan keras, juga percikan bunga api akibat gesekan logam dengan aspal jalan.
Di tepi jalan tempat tubuhnya mendarat setelah terlempar dari atas motor, Ari tercengang-ceng
Angga menepikan motornya tidak jauh dari tempat Ari terkapar. Dihampirinya cowok itu lalu berdiri tepat di depannya. Ari tidak terlalu kaget saat mengetahui siapa yang telah menghancurkan motornya dan membuatnya celaka.
Keduanya saling tatap. Angga mengulurkan kedua tangannya. Dicekalnya kerah kemeja Ari lalu dengan paksa ditariknya cowok itu sampai berdiri. Ari tidak berusaha melawan karena kemenangan sudah di tangannya. Di depannya ini Cuma cowok kalah yang sedang kalap. Malah diberinya musuhnya itu sebentuk senyum. Yang pasti senyum mengejek. Bukan di bibir, tapi di kedua mata. Membuat emosi Angga makin mendidih.
“Jangan bikin gue cedera. Nanti lo yang repot,” Ari memperingatkan dengan nada tenang.
“Ini urusan lo sama gue. Cuma antara kita berdua!” desis Angga dengan gigi gemeretak. “Jangan bawa-bawa cewek!”
“Gue juga nggak suka ngelibatin cewek. Info lo punya sepupu di kelas sepuluh bukan karena gue atau temen-temen gue yang nyari tau. Ada yang sukarela ngasih tau. Dan si informan ini cewek.”
“Gue udah tau!” potong Angga. “Temen semeja Gita. Tu cewek urusan gue!”
“Ck, fuuuuhh,” Ari berdecak lalu menarik napas dan mengembuskannya
Angga agak tersentak begitu disadarkan akan kemungkinan itu.
“Lo pikir gue yang ngegosip ya, jadi cewek-cewek The Scissors itu pada tau?” Ari mengangkat kedua alisnya. “Bukan,” ucapnya kemudian dengan nada kalem. “Makanya gue cari elo, karena The Scissors itu geng cewek yang paling ditakutin di sekolah.”
“Waktu itu lo ngancem gue,” dengan nada tajam Angga mengingatkan.
“Terserah apa pendapat lo. Yang jelas, tu cewek udah ngomong dan lo udah nggak bisa apa-apa.”
Tersadar akan ketidakberdayaa
“Jangan bikin gue cedera. Nanti elo yang repot.” Untuk kedua kalinya Ari mengingatkan, tentu saja dengan maksud mengejek sang lawan. Meskipun sebenarnya dia bisa melepaskan cekalan Angga itu dengan mudah, karena kedua tangannya bebas. Tapi mengejek musuh tetap lebih menyenangkan.
Angga melepaskan cekalannya dengan sentakan keras, membuat Ari terdorong mundur beberapa langkah.
Ari tersenyum tipis. Dia melangkah mendekati musuhnya, lalu berdiri tepat di hadapannya. Kali ini sikapnya serius. “Karena sekarang Cuma kita berdua, akan gue pertegas.” Ditatatapnya Angga tepat di manic mata. Sesaat keduanya saling tatap tanpa bicara. “Lepasin Tari!” ucap Ari kemudian. Tandas. “Seberapa aman sepupu lo, akan tergantung dari seberapa besar lo bisa ngelepas dia.”
Angga mengatupkan kedua rahangnya. Namun, kemarahan membuat gigi-giginya yang saling beradu itu mengeluarkan bunyi gemeletuk. Tiba-tiba saja Angga mengulurkan kedua tangannya. Kembali dicekalnya kerah kemeja Ari dengan kesepuluh jari, tapi Ari tetap berusaha tenang.
“Lo… bangsat!” desis Angga tepat di muka Ari. Kemudian dia lepaskan cekalannya. Dari awal cowok itu sudah tahu, pertemuan satu lawan satu ini tidak akan membuat embusan angin kemenangan berubah arah ke pihaknya. Keberadaan sepupunya di kandang lawan benar-benar sudah membuatnya lumpuh.
Sebe;um pergi, Angga melampiaskan kemarahannya dengan cara memukuli motor Ari dengan sebatang kayu yang tdiak sengaja dia temukan di pinggir jalan. Ari mendiamkannya karena kekalahan Angga sudah cukup telak. Dia nggak mau kemaruk, soalnya nanti malah kena karma.
Setelah puas menghancurkan spion yang masih utuh hingga sehancur pasangannya, membuat tangki bensin penyok dan beberapa jaruji roda bengkok, Angga pergi. Ari mengeluarkan ponsel dari saku celana panjangnya. Dikontaknya Raka, temannya yang punya bengkel motor.
“Halo, lo sibuk nggak, Ka?”
“Nggak sih.”
“Tolong jemput motor gue, man.”
“Kenapa emangnya?”
“Udah… jemput aja.”
“Oke deh. Dimana posisi lo?”
Ari menyebutkan lokasi tempatnya sekarang sedang berdiri. “Bawain gue smoke sekalian. Dekat-dekat sini nggak ada warung.”
“Oke.”
Dua puluh menit kemudian Raka datang dengan mengendarai pick-up. Cowok itu tercengang mendapati kondisi motor Ari.
“Kenapa motor lo?”
“Ditanrak delman,” jawab Ari kalem.
“Gue serius nih.” Raka menatapnya, agak kesal. Ari menyeringai geli, tapi tetap tidak berniat menceritakan.
“Bener. Delmannya ngebut, man. Kayaknya kudanya mantan kuda balap. Orang tadi gue sempet lihat, kursinya pake helm, man.”
Raka berdecak. Dia tidak bertanya lebih jauh, karena memang bukan sekali-dua kali motor Ari ringsek begini. Berdua mereka gotong motor itu dan meletakannya di bak belakang dengan hati-hati.
“Bisa cepet, kan?” tanya Ari sambil menutup pintu di sebelahnya. Raka mendengus. Diputrnya kunci kontak.
“Selalu!” Raka menggerutu.
Ari menyeringai. Ditepuknya satu bahu Raka. “Thanks.”
***
Gw otw ke rmh lo. 15 mnt lg smp.
Tari membaca SMS Angga itu dengan kening berkerut. Dan nggak sampai lima belas menit kemudian cowok itu sudah sampai di depan rumah Tari. Raut mukanya keruh.
“Jalan yuk?” ajak Angga langsung.
“Sekarang?” Tari menatapnya bingung.
“Iya,” Angga mengangguk. “Ada yang mau gue omongin. Penting. Gue yang maintain izin ke nyokap lo deh.”
“Nggak bisa diomongin di sini?”
“Nggak bisa!” Angga menggeleng tegas.
“Bentar deh, gue ganti baju dulu.”
“Gitu aja, Tar. Nggak pa-pa. kita nggak pergi jauh kok. Pake jaket aja biar nggak dingin.”
Masih dengan sepasang mata yang menatap Angga dengan sorot tak mengerti, Tari mengangguk. Kemudian dia balik badan dan berjalan ke dalam. Tak lama dia muncul kembali, kali ini dengan tubuh terbungkus jaket jins.
“Nyokap mana? Mau minta izin.:
“Tuh.” Tari menggerakkan dagunya ke belakang. Tak lama kemudian mama Tari muncul.
“Selamat malam, Tante,” Angga menganggukkan kepala dengan santun. “Mau minta izin ngajak Tari keluar sebentar.”
“Ke mana?” tanya mama Tari dengan kening sedikit mengerut.
“Cuma deket-deket sini aja kok, Tan.”
“Jangan lama-lama ya?”
“Iya, Tan,” Angga mengangguk, kali ini sambil tersenyum. “Yuk, Tar,” ajaknya.
“Pergi dulu ya, Ma,” sambil mengikuti langkah Angga, Tari menoleh sesaat ke arah mamanya. Wanita itu mengangguk.
Mereka memang tdiak pergi terlalu jauh. Angga menghentikan motornya di tepi lapangan rumput tidak jauh dari mulut kompleks tempat tinggal Tari. Sedikit tempat terbuka yang masih tersisa di Jakarta yang mulai dipenhi hutan beton. Angga turun dari motor, setelah sebelumnya dibantunya Tari turun. Kemudian cowok itu maju beberapa langkah, meninggalkan Tari di belakang.
Butuh beberapa saat keterdiaman sebelum Angga sanggup mengatakan, karena ini adalah kekalahannya. Mengatakan terus terang pada seseorang yang harus dia lepaskan akibat kekalahan itu jelas telah membuatnya merasa lebih kalah lagi. Apalagi orang itu adalah satu-satunya pion yang dia miliki.
Angga mengertakkan giginya tanpa sadar. Satu kemenangan kecil tapi langsung diikuti satu kekalahan telak.
Tari tidak ingin mengusik. Dia sudah menduga pasti ada apa-apa, karena selama di atas motor tadi Angga juga Cuma diam. Sama sekali nggak ngomong.
Entah berapa menit sudah terlewat, ketika akhirnya Angga membalikkan badan sambil menarik napas panjang-panjang
Berdiri menjulang di hadapannya, Tari bisa melihat keruhnya wajah Angga meskipun suasana di sekeliling mereka tidak terlalu terang.
“Mulai besok, gue nggak bisa jemput elo lagi, Tar. Maaf…,” ucap Angga dengan suara berat.
Kedua mata Tari langsung melebar. Tapi dia tidak membuka mulut. Hanya kedua matanya yang menatap Angga dengan pertanyaan besar. Melihat ekspresi Tari, diam-diam Angga mengertakkan kedua rahangnya kuat-kuat.
“Gue punye sepupu di sekolah lo. Kelas sepuluh juga. Dan Ari tau.”
Kedua mata Tari kontan melebar maksimal. Info itu sangat singkat, tapi cewek itu langsung mengerti situasinya.
“Kak Ari pasti ngancem bakalan ngapa-ngapain sepupu lo. Iya, kan?” tanyanya. Angga tidak menjawab. Tari mengangguk-angg
“Anggita. Kelas sepuluh tiga.” Ketika mengatakan itu, tanpa sadar Angga memalingkan sedikit mukanya, tidak ingin menatap Tari.
Tari mengangguk-angg
Namun, Angga tidak saja bisa menangkap nada sedih dalam suara Tari, tapi itu juga terlihat jelas dalam helaan napas dan kepala Tari yang kemudian menunduk. Angga jadi semakin memaki dirinya sendiri atas ketidakberdayan
Tiba-tiba Angga meletakkan telapak tangan kanannya di puncak kepala Tari. Dengan sedikit penekanan, diusap-usapnya rambut cewek itu.
“Jangan lo kira gue akan diem aja…”
***
“Banci banget tu orang!”
“Sst! Jangan kenceng-kenceng
“Emangnya apa namanya, bawa-bawa cewek gitu, kalo bukan banci?” Tari menatap Fio dengan kedua alis terangkat tinggi.
“Iya sih. Tapi jangan kenceng-kenceng
“Gue nggak takut!” tandas Tari.
“Mending ke kantin aja yuk. Gue laper.” Fio buru-buru mengalihkan pembicaraan. Ditariknya Tari sampai berdiri lalu digandengnya ke luar kelas.
Sejak Angga terpaksa mundur karena keberadaan sepupunya terbongkar, Fio sadar Tari selalu berada dalam keadaan emosi yang siap meledak. Soalnya sejak itu kalimat “Ari banci!” sering banget keluar dari mulutnya.
Karena itu Fio sekarang jadi makin melekatkan diri ke Tari. Bukan apa-apa. Takut Tari kelepasan ngomong. Soalnya kalo sampai didenger Ari, yang ada pasti huru-hara lagi. Rame lagi. Heboh lagi.
Baru saja mereka melangkah ke luar kelas, Maya memanggil.
‘Tar, lo dipanggil Bu Pur tuh!”
“Ada apa sih?” Tari mengerutkan kening.
“Yeee, mana gue tau!” sambil meneruskan langkah Maya menjawab tak acuh.
Tari dan Fio balik badan, batal ke kantin. Sesampainya di depan ruang guru, Tari mengetuk pintu lalu masuk, sementara Fio menunggu di luar. Tak lama Tari keluar dengan tampang bingung.
“Ada apa Bu Pur manggil lo?” tanya Fio langsung.
“Itu dia. Bu Pur nggak manggil gue, tau nggak?”
“Lho kok?” seketika di kening Fio muncul lipatan-lipatan
“Waktu itu juga ada yang bilang gue dipanggil Bu Endang. Trus kapan itu, katanya gue dipanggil Pak Isman. Dan lo tau? Dua-duanya sama sekali nggak manggil gue. Aneh, kan? Pasti ada yang lagi ngisengin gue nih.”
“Apa jangan-jangan Maya salah tangkap? Jangan-jangan buat Utari?”
“Mungkin.” Tari mengangguk. “Mana guru-guru lagi pada makan siang, lagi. Malu-maluin aja. Gue sampe ditawarin makan tuh tadi.”
“Ngomongin makanan, gue jadi inget, gue laper. Yuk ah, ke kantin. Baliknya baru cari Maya.” Fio menggandeng tangan Tari, mengajaknya berjalan lebih cepat. Saat melewati kelas menuju kantin, Chiko, yang bersama beberapa anak cowok tetap tinggal di kelas, berseru memanggil Tari.
“Untung lo nggak ada, Tar. Tadi Kak Vero ke sini, nyariin elo.”
“Hah!?” Tari terperangah. “Kapan?”
“Tadi. Baru aja pergi.”
“Ngapain dia nyariin gue?” ditatapnya Chiko dengan cemas.
Chiko mengangkat bahu. “Nggak tau. Nggak bilang. Cuma nyari elo, trus tanya elo ke mana. Karena nggak tau, y ague bilang nggak tau.”
Tari menatap Fio. Kecemasan juga ketakutan membayang jelas di kedua matanya.
“Iya nih. Kayaknya ada yang aneh. Thanks, Chik.” Tari balik badan dan langsung berjalan ke luar kelas. Fio bergegas menyusul.
Sesampainya di kantin, Tari langsung menghampiri Maya yang duduk berkelompok bersama teman-teman cewek-cewek sekelas lainnya, asyik menyantap siomay. Tapi baru saja Tari siap buka mulut, Devi sudah lebih dulu meletakkan sendoknya lalu berseru pelan.
“Untung lo nggak ada, Tar. Tadi Kak Vero ke sini, nyariin elo!”
Seketika kedua mata Tari melebar.
“Dia ngomong apa gitu, nggak? Soalnya tadi Chiko bilang dia juga nyari gue ke kelas.”
“Mana kami tau? Dia Cuma nanya-nanya elo di mana. Maya yang jawab.”
“Iya, gue bilang aja elo lagi ke ruang guru, dipanggil Bu Pur,” ucap Maya, yang sama seperti semua teman cewek sekelas yang saat itu duduk berkelompok, menghentikan makannya begitu Tari muncul. Dicari-cari senior cewek yang paling beekuasa di sekolah jelas bukan masalah kecil. Dan itu membuat mereka jadi ingin tahu apa yang sedang terjadi.
“Gue jadi inget, kenapa gue nyari elo, May,” Tari tersadar. “Lo dikasih tau siapa sih, gue dicari Bu Pur?”
“Emang kenapa?” Maya balik bertanya.
“Bu Pur nggak manggil gue, tau. Boro-boro manggil. Inget gue juga nggak.”
“Masa sih? Kejem amat.”
“Maksudnya, hari ini kelas kita kan nggak ada kimia. Jadi dia juga nggak mikirin kelas kita, apalagi gue. Gitu lho. Jadi ngapain juga manggil-manggil
“Gue sih nggak ketemu Bu Pur langsung. Cuam tadi pas abis bayar SPP, gue disamperin cewek. Kayaknya anak kelas dua belas, soalnya dating dari arah gedung selatan. Dia bilang, ‘Lo temen sekelasnya Tari? Kasih tau Tari gih, dai dipanggil Bu Pur tuh. Sekarang.’ Gitu. Ya udah gue sampein ke elo.”
“Yang dia maksud Utari, kali?”
“Bukan. Orang dia bilang Tari yang rambutnya panjang. Yang suka pake aksesori oranye.”
“Tapi Bu Pur nggak manggil gue tuh.” Tari menatap Maya dengan bingung.
“Aneh.” Maya ikutan bingung. “Berarti tu cewek bohong dong? Tapi buat apa?”
“Ambil hikmahnya aja kalo gitu,” ucap Devi. “Gara-gara itu kan lo jadi nggak ketemu Kak Vero. Coba kalo ketemu, gue nggak tau deh lo bakalan diapain sama dia, Tar.”
“Iya! Bener! Untung lo nggak ketemu dia!” serentak seluruh teman Tari menganggukkan kepala.
Tari menatap Fio. Kebingungan semakin terlihat jelas di mukanya. Ada sesuatu yang aneh sedang terjadi.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar