Jingga
dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 8 karya : Esti Kinasih
Tari baru saja menemukan bangku yang dekat jendela saat ponselnya berdering.
“Tar, sori gue rada telat.Emak gue minta tolong di temenin belanja bulanan,” Fio langsung nyerocos begitu Tari mengnagkat telepon.
“Yah, elo.Kok baru telepon sekarang sih? Gue udah di bus nih.”
“Sori.Abis emak gue ngomongnya juga mendadak.Barusa
“Tapi gue udah laper banget nih.”
“Ya elo makan apa dulu kek gitu. Yang enteng-enteng, buat ganjel perut.”
“Yaudah deh.Beneran lo nggak lama, ya?”
“Iya.Ntar begitu kelar belanja, nganter nyokap sampe rumah dulu, trus gue langsung cabut.Gue udah rapi kok, tinggal jalan.Oke ya? Daaah!”
Tari memasukkan ponselnya ke dalam tas, mengeluarkan sebuah komik dan langsung asyik membaca. Sampai di mal tujuan, cewek itu memasuki pintu utama dan hanya melihat sekilas ke deretan toko di depannya.Sebena
AkhirnyaTari melangkah langsung menuju foodcourt. Pilihannya jatuh pada es campur. Selain bisa menghilangkan haus, isinya juga bisa mengganjal perut untuk sementara waktu.
Dengan nampan di tangan Tari memandang berkeliling, mencari-cari tempat yang enak. Saat itulah dilihatnya Ari berjalan memasuki foodcourt lalu berdiri di depan konter makanan yang paling pinggir, dekat pintu masuk.
“Aduh!” desis Tari, langsung bête. “Tu orang kayaknya emang kutukan buat gue deh. Bisa-bisanya dia ada di sini juga.Atau jangan-jangan dia nguntit gue dari rumah ya?”
Tari sudah akan meletakkan es campurnya begitu saja di salah satu meja, lalu pergi. Tapi sedetik kemudian dia batalkan.
Ngapain juga kabur? Ntar dikiranya gue takut, lagi, sama dia, ucap Tari dalam hati. Kemudian pandangannya turun ke arah es campur di atas nampan di tangannya. Secara ni es campur ternyata mahal juga. Sayang banget kalo gue sedekahin, batinnya lagi.
Akhirnya Tari memilih meja yang terjauh dari pintu masuk dan duduk membelakangi Ari. Dikeluarkannya ponsel dari tas dan langsung diteleponnya Fio.
“Fi, gue di foodcourt ya.Tebak ada siapa?”
“Siapa?”
“Ari!”
“Hah!? Ngapain dia di situ?”
“Ya makanlaah.Abis ini dia mau ngapain, mana gue tau?”
“Sama siapa dia?”
“Sendiri.”
“Tar, jangan ribut di tempat umum ya,” Fio langsung cemas.
“Ah, bodo! Tergantung dia. Kalo dia cari gara-gara, berantem berantem deh.Bodo amat ditontonin banyak orang!” Tari langsung emosi.
“Aduh, bakalan gawat nih kayaknya,” desis Fio. “Gue ke situ secepetnya deh!”
“Ya emang kudu gitu, lagi. Ntar ketinggalan tontonan menarik lo.”
“Mak...” Fio urung melanjutkan kalimatnya, sadar bakalan sia-sia. “Ya udah deh. Gue otw secepetnya.” Buru-buru ditutupnya telepon, kemudian berlari keluar kamar. “Mamaaaah! Katanya mau belanja? Ayo buruaaan!”
***
Tari mencoba menikmati es campurnya dengan sikap seolah nggak ada apa-apa. Tapi gagal. Cewek itu lalu melirik ke belakang, mencari-cari di mana Ari duduk. Lumayan jauh sebenarnya. Berjarak lima meja dari tempatnya. Tapi tetap saja Tari merasa seperti ada monster di belakangnya.
Akhirnya tu cewek jadi sebentar-sebent
“Ck!” Tari berdecak pelan. Sikap duduknya langsung berubah siaga. “Lo mau ngajak ribut lagi? Gue layanin!” desisnya. Kedua matanya megikuti Ari dengan waspada. Sampai cowok itu berdiri di hadapannya.
“Hai.”
Mata yang menatap lembut, senyum yang ramah, cara bicara dan suara yang juga lembut membuat Tari ternganga. Tapi sedetik berikutnya, keheranannya menghilang. Pasti ni orang lagi akting!
Sosok di depannya terlihat geli melihat muka galak yang dia hadapi.
“Boleh gue duduk sini?”
“Gue lagi nunggu Fio.”
“Sebentar aja. Nanti kalo Fio dateng, gue pergi.”
Tanpa menunggu persetujuan, Ari meletakkan nampan makanannya di meja, lalu menarik ke belakang salah satu kursi di depan Tari. Kemudian ditatapnya Tari. Cewek itu balas menatap dengan sorot tajam dan raut tegang bercampur cemberut. Seperti sedang bersiap-siap menghadapi peperangan.
Ari tersenyum, terlihat geli. “Sori,” ucapnya dengan nada meminta maaf. “Emang kita pernah kenal, ya?”
“Ha?” Tari ternganga, kedua matanya seketika membulat lebar.
“Kita pernah kenal?” ulang Ari halus.
Tari mengerjapkan kedua matanya dan mengucapkan keheranannya dalam hati. Wah, ni cowok bener-bener nggak jelas. Sekarang dia berlagak kena amnesia. Atau jangan-jangan, pas lewat deket pohon paling gede di tempat parkir mal, yang katanya ada dedemitnya itu, dia nggak ngomong permisi. Makanya sekarang jadi hilang ingatan gini. Ngak ngenalin muka orang yang ekmaren-kemaren
“Gue tau!” Ari menjetikkan jarinya lalu tersenyum lebar. Kemudian senyum itu menghilang dan sikapnya berubah serius. Dia majukan duduknya dan ditatapnya Tari lurus-lurus.
“Lo pikir gue Ari, ya? Lo salah. Gue Ata.”
Ucapannya membuat keduqa alis Tari terangkat tinggi dan kedua matanya membulat. Ya ampun! Ni orang amnesia betulan. Gue kirain akting! Seru Tari dalam hati.
“Kakak maksudnya apa sih? Gue lagi males berantem nih. Cukup di sekolah aja deh.”
Ganti cowok di depannya, yang baru saja mengaku bernama Ata, yang mengangkat alis tinggi-tinggi. Cowok itu tampak geli dipanggil “kakak”. Kemudian dia mengeluarkan dompet dari saku belakang celana jinsnya. Dikeluarkannya empat lembar foto, lalu diletakannya berjajar di depan Tari.
“Kami kembar. Gue dan Ari.”
Kalimat itu pendek, tapi sungguh-sungguh
Di keempat lembar kertas itu ada foto Ari dan... Ari juga!
Benar-benar mirip. Seperti benda dan refleksinya di cermin, ata terpaksa membiarkan cewek di depannya dijerat shock hebat. Karena memang itulah fakta yang sebenarnya. Beberapa saat kemudian Tari mengangkat kepala dan bertanya dengan suara terbata.
“Kak Ari.... yang mana?”
“Yang jelas bukan yang sekarang lagi duduk di depan lo,” Ata mencoba bercanda, tapi kemudian sadar waktunya tidak tepat. “Sori,” ucapnya halus. “Yang ini. Yang ini. Yang ini, dan yang ini.” Ditunjuknya satu sosok di tiap lembar.
Tari menundukkan kepala. Mengamati lagi foto-foto itu dengan seksama. “Mirip banget,” desahnya takjub.
“Makanya gue heran. Kayaknya kita nggak kenal, tapi cara lo ngeliatin gue kok kayaknya kita musuh bebuyutan.”
“Maaf. Maaf. Abis gue kirain, Kakak tuh Kak Ari,” Tari langsung merasa nggak enak. Untuk pertama kalinya cewek itu memunculkan senyumnya. Senyum malu.
“nggak pa-pa. Gue udah ngira.” Ata tersenyum lunak. “Tu anak gimana kabanya?”
“Maksudnya?” Tari batal mengamati lagi foto-foto di depannya. Ditatapnya Ata dengan kening berkerut.
“Yang bermasalah sama dia bukan lo aja, lagi. Gue juga. Kami udah lama nggak ketemu. Lama banget.”
“Kenapa?”
Ata menghela napas. “Yaah...”
Dan terkuaklah satu rahasia. Rahasia kelam yang saat dituturkan sanggup menenggelamkan Tari dalam ketercengangan total. Menyeretnya ke masa lalu Ari dan Ata yang menyakitkan.
Ari dan Ata. Kembar identik yang benar-benar mirip. Begitu sama dan serupanya mereka berdua, hingga ketika kedua orangtua mereka bercerai, keidentikan itu menjadi seperti sebuah keuntungan. Masing-masing orangtua mendapatkan seorang anak, tanpa harus mengalami dilema seberat para orangtua yang tidak punya anak dengan muka sama dan serupa.
Namun, mereka melupakan kenyataan bahwa kedua anak itu punya banyak hal yang sama sekali tidak identik. Hati, pikiran, perasaan, sifat, dan sikap. Ari yang lebih dekat dengan sang mama justru terpilih untuk ikut bersama sang papa. Keputusan egois khas orangtua itu kemudia menciptakan kemarahan dan luka untuk kedua kembar mereka, yang tidak juga mengering sampai hari ini.
Ketika dipisahkan dengan paksa sembilan tahun lalu, umur keduanya baru delapan tahun.
Tari mengerti kini, kenapa Ari tercatat sebagai murid yang paling bermasalah. Paling banyak membuat pelanggaran. Paling sering mendapat teguran, peringatan, bahkan kemarahan dari para guru, serta terdepan untuk urusan menciptakan huru-hara dan keonaran.
Penuturan itu hanya garis besar dari keseluruhan kisah yang pasti sangat rumit. Namun Tari sama sekali tidak bertanya. Selain karena fakta itu terlalu mengejutkan, juga karena dilihatnya Ata sangat tertekan saat menceritakan semuanya. Kecewa, sedih, marah, dan seribu ekspresi luka yang lain muncul bergantian dan terambar jelas di wajah dan gerak tubuhnya. Bahkan ketika penuturannya usai, cowok itu menundukkan kepala cukup lama untuk menormalkan kembali emosinya. Menciptakan keheningan yang membuat Tari merasa nelangsa.
“Kok Kakak segini gampang nyeritain semuanya ke gue?” tanya Tari ebberapa saat kemudian dengan nada sangat hati-hati.
“Gue lost contact sama Ari. Dia udah ganti nomor HP. Gue datengin rumahnya, ternyata dia juga udah pindah. Dan gue nggak tau dia masuk SMA mana.”
“Ng... kenapa ngak hubungin bapaknya Kakak aja?” Tari bertanya dengan nada lebih hati-hati lagi. Benar saja. Raut muka Ata langsung mengeras.
“Gue nggak peduli sama dia. Urusan gue Cuma sama sodara kembar gue!” tandasnya.
“Eh, maaf. Maaf...” Tari buru-buru menangkupkan kedua tangannya di depan dada, meminta maaf. “Berarti lost contact-nya udah lama, ya?”
“Dua tahun lebih. Hampir dua setengah tahun lah. Makanya begitu gue liat lo tadi, yang segitu bencinya ngeliat gue sementara gue ngerasa kita nggak pernah kenal, gue langsung tau lo pasti ngira gue Ari.”
“Iya sih.” Tari mengangguk. “Dia kakak kelas gue.”
“Akhirnya. Gue temuin juga tu anak.” Ata menarik napas panjang-panjang
“Mmm... gimana ya?” Tari bingung menjawab.
“Kenapa? Dia bermasalah?”
“Yaaah, gitu deh.”“Kalo itu sih gue udah tau. Di SMP pun dia udah jadi biang kerok.”
“Oh, gitu!?” Tari mengangkat kedua alisnya. Agak kaget dengan info itu. “Kalian satu sekolah?”
“Nggak. Gue tinggal di Bogor. Ini lagi main ke Jakarta aja. Udah lama nggak ke sini soalnya.”
“Oooh. Kirain.”
“Jadi gitu, ya?” Ata menghela napas. “Lo punya nomor teleponnya?”
“Pengennya sih nggak punya.” Nada bicar Tari langsung meninggi.
Ata menatapnya, tersenyum geli. “Lo diapain sama dia?”
Tari berdecak, lalu menghela napas. “Nggak usah dibahas deh. Bikin emosi. Nomornya ada, tapi gue lupa. Soalnya tiap abis terima SMS dari dia, langsung gue apus. Sering nggak pake gue baca dulu malah. Missed call- missed call-nya juga langsung gue apus. Pokoknya gue nggak mau HP gue terkontaminasi sama nomor dia deh.”
Penjelasan Tari yang berapi-api kembali membuat Ata tersenyum geli, kali ini dia malah nyaris ketawa.
“Oke, nggak pa-pa. gue minta maaf. Dari reaksi lo, kayaknya Ari itu sejenis setan buat elo, ya?”
“Waah, kalo ada sebutan yang lebih sadis lagi daripada itu, gue bahagia banget!”
Kali ini Ata benar-benar ketawa.
“Ini nomor HP gue.” Ata menuliskan sederet angka di selembar tisu lalu meletakkan tisu itu di depan Tari. “Barangkali nanti lo pengen ngobrol sama gue. Sekalian gue mau minta tolong. Soal Ari. Gue nggak minta lo pantau dia. Barangkali aja nanti ada sesuatu yang berhubungan sama dia yang pengen lo omongin sama gue. Itu aja.”
“Kalo Cuma itu sih, oke.” Tari mengangguk.
“Emang lo diapain sih sama Ari?”
“Ih, apaan sih?” Tari langsung jadi kesal lagi. “Mau dibantuin nggak?”
‘Iya, iya. Maaf.” Ata menyeringai, lalu tertawa geli saat dilihatnya ekspresi muka Tari. “Kayaknya apa yang udah dia bikin lumayan parah, ya? Mau cerita?”
Tari melotot.
“Nih, ambil lagi nomor teleponnya deh.” Diletakannya tisu bertuliskan nomor telepon Ata ke depan pemiliknya.
“Sori. Sori. Segitu emosinya elo kalo udah nyangkut nama Ari, ya?” ucap Ata buru-buru. Dikembalikannya
“Iya, ya?” Tari tersadar. “TTari. Matahari.”
Kedua bola mata Ata kontan melebar. “Siapa!?” tanyanya tegang.
“Matahari. Aneh, ya? Banyak yang bilang gitu sih. Banyak banget malah. Dari gue masih kecil.”
“Lengkapnya Matahari siapa?”
“Jingga Matahari. Tambah aneh, ya? Boleh ngeledekin kok. Gue udah kebal.”
Namun, bukan itu yang dilihat Tari. Wajah Ata memucat. Senyum dan semua keramahannya lenyap. Kedua matanya menatap Tari dengan kekagetan luar biasa.
“Kakak kenapa sih?” Tanya Tari cemas.
“Lo tau nama lengkap Ari? Nama lengkap gue?” ucap Ata dengan suara tercekat.
“Kalo Kak Ari sih gue tau. Matahari Senja. Gara-gara itu dia bilang kami tuh benda dan bayangan. Jadi gue nggak boleh sama siapa-siapa. Bolehnya Cuma sama dia. Enak aja! Matahari itu Cuma ada satu kok. Kalaupun ada dua, berarti beda tata surya. Malah nggak bakalan ketemu.”
“Lo tau nama gue?” tanya Ata dengan suara kering.
“Ya nggak lah. Kita kan baru aja ketemu.”
“Matahari Jingga!”
Tari sontak ternganga. Kedua matanya yang menatap Ata terbelalak maksimal. Speachless!
“Gila, ya?” desis Ata. Kepalanya menggeleng-gele
“Mungkin juga,” ucap Tari pelan.
“Lo lahir kapan? Pagi? Sore?”
“Sore.”
Ata mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Kepalanya menggeleng-gele
“Gila!” desisnya. “Kami juga lahir sore. Jingga di nama gue diambil dari warna matahari sore, matahari senja. Matahari yang mau tenggelam.”
“Tadinya nama gue Senja Matahari, tapi Mama nggak setuju. Katanya kayak nama kereta. Terus diganti jadi Jingga Matahari deh.”
“Gila! Gila! Gila!” Ata geleng-geleng kepala lagi, masih merasa takjub dan tersepona dengan segala kebetulan itu.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah
“Sini!” Tari melambai.
Fio mendekat dengan langkah hati-hati. Kedua matanya menatap Ata dengan sorot waspada, membuat cowok itu tersenyum geli. Senyum geli itu segera berubah jadi tawa tanpa suara saat dilihatnya Fio menarik sebuah kursi lalu menempatkannya rapat-rapat di sebelah kursi yang diduduki Tari.
“Lo boleh cerita ke temen lo ini. Kayaknya dia juga benci banget sama gue.” Ata menatap Tari, masih dengan sisa-sisa tawanya. “Tapi tolong di-keep ya? Cukup kalian berdua aja yang tau. Gue nggak mau kalian diapa-apain Ari. Dari cerita elo, gue yakin nggak ada yang tau kalo dia kembar.”
“Kayaknya sih nggak.” Tari mengangguk.
“Bener, kan?” desah Ata. Terlihat agak terluka. Kemudian dia bangkit berdiri. “Gue duluan, ya?” ditepuknya lengan Tari pelan. Tatapannya kemudian beralih ke Fio.
“Fio. Temen semeja gue,” Tari mengenalkan.
“Duluan ya, Fio.” Ata tersenyum padanya. “Nanti lo tanya Tari ya, gue siapa. Oh ya, Tar. Nanti kalo kita ketemu lagi, jangan panggil ‘Kakak’, ya? Gue kan bukan Ari. Nggak enak di kuping.”
Tari tertawa. “Iya deh.” Dia mengangguk setuju.
“Gue duluan.” Ata tersenyum lagi, balik badan, kemudian melangkah pergi diikuti tatapab Tari dna Fio.
“Kenapa tuh Kak Ari? Kok jadi lain banget gitu?” tanya Fio setelah Ata menghilang.
Tari mengahadapkan tubuhnya ke Fio. Ditatapnya teman semejanya itu lurus-lurus.
“Elo salah. Itu bukan Kak Ari. Itu sodara kembarnya!”
“Apa!?” Fio memekik. “Bercanda lo. Orang jelas-jelas Kak Ari juga.”
“Gue juga tadi kaget banget. Asli, kaget abis. Emang mereka dari kecil mirip banget. Tadi gue udah ditunjukin foto-foto mereka. Emang mirip banget. Nggak bisa dibedain.”
“Lo nggak lagi bercanda, kan? Beneran nih, dia bukan Kak Ari?” Fio masih nggak percaya.
“Bukan!” tandas Tari. “Tadi itu namanya Ata. Dan lo tau siapa nama lengkapnya?”
“Siapa?”
“Matahari Jingga!”
Fio kontan ternganga. Shock!
bersambung ke bab 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar