Minggu, 14 Mei 2017

JINGGA DAN SENJA BAB 6.1



Jingga dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 6 (1)

    
“Sori banget, Tar. Soriii…”
“Bukan salah lo, Fi,” desah Tari.
“Tapi kami nggak sampe ngelewatin rumah lo kok. Gue tunjukin dari jauh, trus kami balik arah.”
“Iya. Tapi abis Kak Ari nganter lo pulang, dia lewat depan rumah gue. Gue kan hafal motornya.”
“Iya!?” Fio memekik. “Waktu itu Angga masih ada?”
“Masih. Dia juga ngenalin motor Kak Ari. Pastilah. Namanya juga musuh bebuyutan. Makanya dia besok mau jemput gue terus nganter ke sekolah.”
“Jangan! Jangan! Jangan mau, Tar. Ih, tu orang ya? Nggak sadar juga kalo dia udah bikin situasi jadi kisruh. Lo berangkat sendiri aja. Kalo perlu, besok pagi gue ke rumah lo deh. Kita berangkat bareng.”
“Udah gue tolak. Gue bilang gue mau berangkat sendiri.”
“Trus dia bilang apa?”
”Iya, katanya. Tapi gue nggak yakin dia besok nggak nongol. Secara tadi aja dia sampe ngebuntutin mobil Pak Isman. Pasti dia udah nunggu dari depan sekolah tuh?”
“Nekat banget tu orang.”
“Kalo nggak nekat, nggak bakalan bisa dia jadi lawannya Kak Ari. Liat besok deh. Kalo dia nongol, maksa nganterin, gue mau minta turun di tengah jalan aja. Jangan sampe sekolah.”
Dugaan Tari tepat. Keesokan paginya, jam enam kurang sepuluh, sebuah motor berhenti di depan rumahnya.
“Ck, bener, kan?” desah Tari sambil membereskan buku-bukunya. “Tetep aja tu orang dateng jemput.”
Cewek itu membuka pintu depan dan detik itu juga dia membeku di ambangnya. Bukan Angga yang ada di depan pintu pagar rumahnya. Tapi Ari! Duduk santai di atas motor hitamnya, cowok itu tersenyum tipis. Menikmati keterkejutan sang tuan rumah.
“Pagi…,” sapanya. Tari tidak menjawab, karena separuh kesadarannya masih terlepas di udara. “Jawab dong kalo senior ngasih salam.”
“Emang siapa sih yang minta dijemput Kakak!?” Tari tidak mengacuhkan sapaan Ari. Tanyanya tak terjawab karena mamanya muncul di pintu. Tari langsung menarik napas lega. Kesempatan untuk mengusir Ari. Namun detik berikutnya dan berikutnya lagi, cewek itu terdiam dipeluk ketersimaan.
Di depan matanya Ari bertransformasi. Begitu mama Tari muncul, sikap duduk khas “pentolan sekolah” Ari –satu kaki terlipat di atas tangki bensin sementara kaki yang satu menjejak tanah dan sebatang rokok di bibir – segera menghilang. Berganti dengan sikap duduk sopan bersamaan dengan sang rokok yang terjun bebas, disentil sang pengisap ke selokan. Kemudian cowok itu turun dari motor hitamnya. Tubuh tingginya menjulang di depan pagar.
“Selamat pagi, Tante.” Santun di disapanya mama Tari dengan anggukan kepala, badan setengah membungkuk, dan tentu saja, sebentuk senyum manis.
“Pagi,” mama Tari membalas. Diamatinya Ari karena ini kali pertama kedatangan cowok itu.
“Mau jemput Tari, Tante. Kami satu sekolah.”
Tari ternganga. Gila emang ni orang, selalu main tabrak!
Mama Tari terlihat ragu. Ari tersenyum tipis. Senyum tipis yang sopan dan melukiskan pengertian atas keraguan yang diterimanya. Cowok itu membuka jaket hitamnya lalu meletakannya di atas tangki bensin.
Di balik jaket itu ternyata Tari tidak menemukan pemandangan sehari-hari seperti yang selalu dilihatnya. Kemeja Ari tersetrika licin. Semua kancingnya terkait rapi. Sepatu kedsnya juga terlihat baru dicuci. Semua penampilan Ari yang biasa – satu anting di telinga, kemeja yang selalu berkibar-kibar, kadang dengan T-shirt di dalamnya kadang dada telanjangnya terlihat – menghilang. Rambutnya yang sedikit panjang, yang biasanya dia biarkan berantakan, kini tersisir rapi. Tapi mama Tari tidak terkesan.
“Oh iya. Saya belum memperkenalkan diri,” Ari berlagak baru tersadar. “Nama saya Ari, Tante. Matahari Senja, lengkapnya.”
Seketika itu juga mama Tari ternganga takjub. Siswa SMA yang rapi, banyak. Yang ganteng, juga banyak. Yang rapid an ganteng, pasti banyak juga. Tapi yang rapi, ganteng, sopan, dan punya nama hampir sama dengan nama anaknya, jelas nggak banyak. Bahkan mungkin ini satu-satunya.
Ari menyaksikan ketakjuban itu dengan puas. Kartu pass akhirnya keluar!
Tari cuma bisa berdiri diam. Terpesona saat mamanya dan Ari memperbincangkan nama dirinya dan nama cowok itu dengan keakraban seperti dua kawan lama yang baru kembali berjumpa. Tapi tetap, Ari menempatkan diri seseorang yang lebih muda di hadapan seseorang yang jauh lebih tua. Santun dan penuh tata karma. Keseluruhan jejaknya sebagai siswa paling bermasalah di sekolah benar-benar hilang.
Jam enam lewat lima, Ari memutuskan obrolan akrabnya dengan mama Tari dengan cara melihat jam tangannya lalu berpura-pura kaget.
“Maaf, Tante. Mesti buru-buru berangkat. Udah jam enam lewat.”
“Ya ampun!” Mama Tari terperanjat. “Maaf. Maaf. Tante sampai lupa. Habis tante kaget, ternyata ada juga selain Tante yang jadi penggila sunset, sampai mengabdikannya untuk nama anaknya.”
“Nggak apa-apa, Tan. Saya juga seneng kok ngobrol sama Tante.”
“Kapan-kapan kenalkan Tante dengan mamamu, ya?”
“Pasti, Tan!” Ari mengangguk sambil tersenyum lebar. Sama sekali tidak terlihat bahwa satu kata itu, “mama”, selalu menimbulkan efek menghancurkan untuknya.
Kembali cowok itu berusaha menunjukkan bahwa dirinya bukanlah seseorang yang patut diwaspadai. Kali ini dia gentleman sejati. Dibawakannya tas dan buku-buku Tari, kemudian diulurkannya jaket hitamnya. Ketika Tari tak bereaksi, diselubunginya jaket itu hingga menutupi seluruh tubuh bagian atas Tari. Meski begitu, tatap lembut kedua matanya menyiratkan peringatan keras agar Tari bersikap kooperatif.
Tari menentang peringatan itu, juga lewat sorot mata. Diliriknya mamanya, berharap menemukan peluang untuk membongkar kedok Ari. Sayangnya yang dia temukan masih tampang takjub sang mama melihat bertemunya dua matahari tenggelam.
Tari nggak mungkin bilang bahwa matahari senja yang ini sebaiknya tenggelam selama-lamanya. Nggak perlu terbit lagi besok paginya.
“Ayo cepet, Tar. Ini sudah siang.” Malah itu yang keluar dari bibir mamanya.
Terpaksa Tari menghampiri Ari. Cowok itu menyambutnya dengan satu alis terangkat dan senyum kemenangan yang tercetak samar.
“Duduknya jangan nyamping. Nggak stabil,” ucap cowok itu dengan nada yang terdengar wajar seolah tanpa tujuan. Padahal selama ini dia selalu memerintahkan setiap cewek yang nebeng motornya untuk duduk dengan posisi menyamping. Karena dua alasan. Pertama, biar ngusirnya gampang. Kedua, demi mencegah menempelnya benda asing di punggungnya, yang sering kalidilakukan cewek-cewek itu dengan sengaja. Khusus untuk Tari, Ari justru mencegah supaya cewek itu tidak melarikan diri.
Tari terpaksa menuruti perintah Ari itu. Tapi dia sudah bertekad, bakalan kabur langusng pada kesempatan pertama.
“Berangkat dulu, Tan,” Ari pamit pada mama Tari. Lagi-lagi menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan orang yang patut diwaspadai.
“Ya. Hati-hati di jalan ya.”
“Siap, Tan.”
Motor hitam itu meluncur pergi. Tari duduk sejauh mungkin dari Ari. Karena tidak ada besi pegangan, kesepuluh jarinya mencengkeram tepi jok belakang erat-erat.
Di balik helmnya, Ari tersenyum tipis. Tiba-tiba motor hitam itu melesat cepat. Menyentakkan tubuh Tari ke belakang. Cewek itu sudah hampir menjerit. Posisi duduknya sudah di ujung jok. Sentakan tadi nyaris membuatnya terlempar ke jalan di belakang.
Tak lama Ari menghentikan laju motornya. Lagi-lagi dengan tiba-tiba. Tari yang sama sekali tidak menduga, tak ayal terdorong keras ke depan. Tubuhnya membentur punggung Ari dengan keras. Cewek itu memegangi dadanya, mengerang lirih. Anjrit banget ni orang! Makinya dalam hati. Ari menolehkan kepalanya sedikit ke belakang.
“Masih nggak mau pegangan?”
Tari tidak menjawab. Sambil memgangi dadanya, ditatapnya Ari dengan sengit. Meskipun tidak terlihat, Ari bisa merasakan aura penentangan yang dilancarkan cewek di belakangnya.
“Setelah ini nggak ada lampu merah. Kalo nggak ada penghalang begitu, gue suka bawa motor gila-gilaan.”
Masih tidak ada reaksi apa pun dari Tari. Cewek ini memang tidak mendengar kalimat yang diucapkan Ari. Motor dalam keadaan berhenti total di tepi sebuah jalan. Kalau mau kabur, sekaranglah saatnya.
Masalahnya, akibat berhenti mendadak tadi, bukan hanya benturan yang mengakibatkan dada Tari sekarang sakit, juga jaraknya dengan Ari jadi teramat dekat.
Sayangnya, keterdiaman yang merespons kalimat peringatannya membuat Ari langsung sadar. Seketika itu juga pikiran Tari terbaca olehnya. Cowok itu mendesis geram.
“Elo tuh emang suka nantang, ya? Oke, gue jawab!”
Mesin motor menggerung. Disusul sedetik kemudian motor itu bergerak maju dengan entakan, yang ternyata menjadi awal dari putaran kedua rodanya yang gila-gilaan.
Tari, yang sleuruh perhatiannya sedang terfokus pada usahanya untuk melarikan diri, sama sekali tidak menduga hal itu. Tak ayal lagi-lagi tubuhnya membentur Ari begitu sang pemilik membuat motornya melonjak. Begitu tubuh Tari membentur punggung Ari dan melenyapkan jarak di antara mereka, Ari langsung mengulurkan tangan kirinya ke belakang. Dicekalnya tangan kiri Tari tepat di pergelangan kemudian dengan paksa ditariknya ke depan dan diletakkan di antara perut dan dadanya. Di sana, ditekannya tangan itu kuat-kuat.
Dengan satu tangan terkunci begitu, jangankan untuk melarikan diri, merentang jarak pun kini sudah tidak mungkin lagi.
Walaupun hanya dengan satu tangan, Ari ternyata sanggup melarikan motornya dengan kecepatan tinggi. Meliuk di antara padatnya lalu lintas, dibuatnya maneuver-manuver yang akhirnya memaksa Tari menyerah.
Untuk Tari, ini jelas-jelas pengalaman mengerikan. Laju motor yang sangat cepat menyebabkan udara berdesing dan setiap kendaraan yang mereka lewati mengeluarkan raungan klakson. Ridho yang rajanya trek-trekan aja mengakui kegilaan Ari kalo lagi bawa motor.
Tanpa fokusnya teralihkan dari jalan raya di depannya, kedua mata Ari hanya menyipit saat tangan kanan Tari akhirnya melingkari pinggangnya. Cewek itu kemudian menyandarkan kepala di punggung Ari.
Ari tersenyum dingin. Dia mengangkat tangan kirinya yang sejak tadi mencekal dan menekan tangan kiri Tari di atas perutnya. Diraihnya tangan kanan Tari dan ditariknya hingga bertemu dengan tangan kiri.
Penyerahan Tari membuat kegeraman Ari perlahan mereda. Cekalan kelima jarinya dan tekanan lengan kirinya di atas kedua tangan Tari yang bertaut melingkari pinggangnya tidak lagi sekuat awal-awal tadi. Cowok itu juga mulai mengurangi laju gila motor hitamnya.
Di saat emosi Ari perlahan mulai mereda, sebuah motor tiba-tiba menyalip dari sisi kanan. Berdesing dalam hitungan kejap, motor itu langusng menghentikan laju motor dengan paksa.
Seketika Ari menarik rem kuat-kuat, karena motor itu – yang langsung dikenalinya sebagai milik Angga – berhenti dengan posisi melintang tidak sampai dua meter di depannya.
Semuanya berlangsung dalam hitungan singkat. Angga turun dari motornya lalu mengahmpiri Ari dengan langkah panjang dan cepat. Ketika cowok itu menaikkan kaca helmnya, Ari bisa melihat letup tantangan yang sangat jelas dalam sepasang mata yang terarah lurus padanya itu.
Dalam jarak kurang dari dua meter, dalam waktu kurang dari dua detik, Angga sudah tahu di mana dia harus mendaratkan kepalan tanpa harus melukai Tari yang berada di boncengan Ari.
Ari segera menguraikan kedua tangan Tari yang melingkari pinggangnya. “Mundur, Tar!” perintahnya dengan nada mendesak. Sayangnya tidak ada waktu yang tersisa bagi Tari untuk melaksanakan perintah itu.
Memaksa tubuh Tari lekat di tubuhnya yang sebelumnya menjadi satu kemenangan kini justru melemahkan posisi Ari untuk melawan serangan Angga. Dengan mudah Angga melumpuhkan rival utamanya itu.
Dengan tangan kiri ditahannya tinju Ari yang jelas terlihat canggung karena posisinya yang tidak menguntungkan. Dan dengan tangan kanannya yang bebas, Angga mengayunkan kepalannya tepat ke kepala Ari.
Terdengar bunyi erangan, pelan karena teredam helm, bersamaan dengan tubuh Ari yang terdorong keras ke kiri. Akibatnya, motor yang berdiri karena disangga kedua kaki sang pemilik ikut rebah ke arah yang sama.
Angga segera mengulurkan kedua tangannya ke arah Tari. Cewek itu pucat pasi, dan jelas-jelas tidak mampu mencerna apa yang sedang terjadi dengan kesadaran penuh. Setelah melempar jaket hitam Ari yang menyelubungi tubuh Tari begitu saja ke tanah, dengan satu tangan di punggung Tari dan tangan yang lain merengkuh pinggang Tari, Angga menarik Tari dari boncengan motor Ari.
Tindakannya tepat waktu, karena sedetik kemudian motor besar itu terbanting rebah ke aspal jalan. Ari sempat melompat. Dengan amarah yang sudah di hulu ledak, cowok itu melepas helmnya. Dilemparnya helm itu begitu saja sambil berjalan menghampiri Angga dengan langkah cepat. Angga segera berjalan ke arah motornya.
“Buruan, Tar!” bisiknya.
Tari bergesa mengikuti langkah cepat Angga lebih karena cowok itu mencekal satu lengannya. Kali ini Angga terpaksa membiarkan Tari duduk dengan posisi menyamping. Menyuruhnya duduk dengan posisi ke depan kelihatannya akan sama seperti menyuruh Tari mengerjakan soal fisika yang sulit. Butuh bengong yang cukup lama.
Sambil menstater motornya, Angga menatap Ari yang berjalan mendekat, tepat di bola mata.
“Gue anter Tari dulu. Lo tunggu sini. Ntar gue balik!”
“Tu cewek tanggung jawab gue. Gue yang jemput dia dari rumah!”
Angga tidak mengacuhkan, langsung tancap gas.
“Brengsek!” maki Ari dan segera berlari ke arah motornya. Diangkatnya kendaraan itu dari posisi rebah dan langsung dikejarnya Angga.
Pagi itu ratusan orang menyaksikan adegan seperti yang kerap mereka saksikan di film. Dua motor menderu di antara padatnya lalu lintas. Dua-duanya dengan kecepatan tinggi. Satu mengejar yang lain. Seragam putih abu-abu dan adanya seorang cewek di boncengan motor pertama membuat semua yang menyaksikan peristiwa itu kontan mendecakkan lidah sambil gelng-geleng kepala.
“Anak sekarang, nggak tau susahnya orangtua cari uang!” adalah komentar yang muncul seragam.
“Sok kayak jagoan. Masuk gawat darurat keluar cacat, baru tau rasa!” komentar yang lebih ekstrem kaluar dari bibir seorang ibu yang menyaksikan dari jendela sebuah bus. Bus yang ditumpanginya itu terpaksa menginjak rem karena tiba-tiba kedua motor itu menyalip dari sisi kanan.
Angga melirik ke belakang lewat spion kanan. Dilihatnya Ari masih tertinggal cukup jauh. Yang dia takutkan sama sekali bukan rivalnya itu, melainkan Tari. Terus terang, dia mencemaskan cewek yang sekarang duduk rapat di belakangnya ini, karena Tari tidak bersuara sejak ditariknya dari boncengan Ari tadi.
Angga melepaskan tangan kirinya dari setang. Disentuhnya tangan Tari yang melingkari pinggangnya. Dingin kesepuluh jari yang disentuhnya membuat Angga memaksakan diri menoleh ke belakang di tengah-tengah konsentrasinya yang terpusat penuh ke jalan raya dan setiap maneuver yang dibuatnya. Cowok itu menaikkan kaca helmnya.
“Tar, lo nggak apa-apa, kan?” tanyanya dengan suara keras untuk mengalahkan deru mesin.
Tari mengangguk-angguk, yang jelas dilakukannya dalan keadaan setengah sadar, karena anggukan-anggukan itu membuat kepalanya membentur punggung Angga.
Cara Tari mengangguk dan masih juga tidak ada suara yang keluar dari bibirnya akhirnya meyakinkan Angga bahwa cewek di belakangnya ini justru kenapa-kenapa.
Perlahan kedua rahang Angga mengatup keras. Tidak ada jalan lain selain menambah kecepatan motornya dan menciptakan jarak dengan Ari sejauh dan sesegera mungkin.
Mencapai SMA Airlangga dengan menyusuri jalan raya membutuhkan waktu agak lama. Tidak jauh di depan mereka ada sebuah pemukiman padat penduduk yang penuh jalan tikus. Area potong kompas sekaligus tempat menghilangkan diri yang sempurna.
Angga memiringkan sedikit kepalanya, melirik ke belakang lewat spion kanan. Ari yang bisa melihat itu seketika mengirimkan ancaman lewat lampu depan yang dikedipkannya selama tiga kali.
Angga mengulurkan tangan kirinya ke belakang. Direngkuhnya pinggang Tari.
“Rapet lagi, Tar. Pegangan yang kenceng. Sori, terpaksa banget nih!” serunya.
Tari langsung merespons. Cewek itu memajukan duduknya hingga benar-benar melekat di tubuh Angga. Kedua tangannya yang melingkari pinggang Angga semakin mengetat. Terakhir, dia benamkan mukanya di punggung Angga.
“Sip, pinter! Merem aja kalo takut. Tapi ikutin ritme motor ya!” Angga menepuk lembut pinggang Tari. Kemudian pandangannya kembali ke depan. Diturunkannya kaca helm, dan dijawabnya ancaman Ari tadi dengan kecepatan yang mendadak bertambah tinggi.
Ari terpengarah saat motor Angga tiba-tiba saja melesat meninggalkannya. Makian keluar dari mulutnya disertai raungan mesin, dan langsung dikejarnya Angga. Kedua motor berwarna gelap itu melaju dengan kecepatan melewati ambang yang diperbolehkan.
Angga mengatupkan kedua rahangnya keras-keras. Kedua matanya tertancap lurus-lurus ke depan. Dikerahkannya seluruh kemampuannya untuk melepaskan diri dari kejaran Ari. Di satu momen saat dirinya mulai terdesak, Angga sengaja mengagetkan seorang cewek yang sedang menyetir sebuah mobil mewah berbodi besar.
Dari sisi kiri disalipnya mobil itu dalam jarak yang benar-benar dekat, nyaris rapat. Cewek itu tersentak dan seketika menghentikan mobilnya. Pengemudi di mobil belakang ikut kaget dan langsung menghentikan laju mobilnya juga.
Ari yang tengah melaju tepat di belakang mobil kedua sontak menarik rem kuat-kuat. Motornya berhenti nyaris rapat di belakang mobil kedua, dengan ban berdecit dan posisi badan motor melintang miring ke kiri. Nyaris terbanting rebah ke aspal kalau saja tidak refleks disangganya dengan kaki kiri.
Angga langusng menggunakan kesempatan itu untuk merentang jarak sejauh-jauhnya. Dengan kemarahan yang makin melahar, Ari menegakkan motor hitamnya, mundur secukupnya dan kembali mengejar Angga yang kini sudah berupa titik di kejauhan.
Menjelang sampai tujuan, dengan satu tangan yang terulur ke belakang, merengkuh Tari sebisanya, Angga membelokkan motornya dengan gerakan menikung tajam. Memasuki sebuah gang sempit yang merupakan salah satu jalan masuk ke area pemukiman semikumuh yang padat penduduk.
Kecepatan motornya menurun drastic, tapi tetap terlalu cepat untuk ukuran gang sempit yang sarat penghuni – penuh anak-anak berkeliaran dan ibu-ibu yang duduk bergerombol di sana-sini.
Agar tindakannya dapat dimaklumi oleh para ibu itu,juga beberapa laki-laki dewasa yang langsung melotot begitu motornya muncul, Angga memperlihatkan sebuah kontradiksi. Cowok ugal-ugalan yang tahu sopan santun!
Dilepaskannya helmnya lalu diserahkannya pada Tari.
Sejak kecepatan motor Angga menurun tajam, Tari tidak lagi berpegangan kuat-kuat dan membenamkan muka di punggung cowok itu.
Angga memamerkan senyum manis yang sopan, diikuti kalimat, “Maaf, Ibu, Bapak, kami permisi numpang lewat,” yang diucapkannya dengan nada sangat santun sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Pelan-pelan dong bawa motornya. Udah tau ini gang sempit, banyak anak kecil, lagi! Nanti kalo ada yang celaka, gimana!?” hardik seorang ibu. Ucapan ibu itu dibenarkan oleh ibu-ibu lain dengan pelototan mata dan ekspresi muka galak.
“Iya, maaf. Maunya sih pelan-pelan. Tapi maaf, lagi bauru-buru banget. Pacar saya sakit, jadi mesti secepetnya sampe sekolah. Lagipula biar ngebut, saya hati-hati kok.” Sedikit setelah diucapkannya alasan itu, Angga sadar kalimatnya nggak sinkron. Kalo sakit kenapa juga malah ke sekolah? Sesaat dia mengerutkan kening, tapi kemudian menggeleng-menggelengkan kepala. Halah, udahlah. Yang penting bisa lewat!
Tari terpaksa mengimbangi setiap kalimat Angga dengan senyum ramah dan anggukan kepala sopan. Rona pucat di wajahnya yang terlihat jelas membuat para ibu itu memaklumi. Mereka bahkan tidak menyadari kalimat Angga yang nggak konsisten tadi.
Setelah mengulang kalimat yang sama di setiap titik tempat para ibu bergerombol, tapi tetap menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk menambah kecepatan motornya, akhirnya mereka keluar juga dari area permukiman padat itu.
“Fiuuuuh!” Angga menarik napas lega lalu mengembuskannya kuat-kuat. “Gila, gue rasa ni daerah bener-bener mirip Negeri Bahagia di Kalkuta.”
Cowok itu melihat jam tangannya. Kalau dugaannya tepat, saat ini Ari sudah melewati gang sempit tempat dirinya dan Tari menghilang tadi dan sekarang sedang meluncur ke arah sekolah.
Angga mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia ingin memastikan Ari menjawab tantangannya atas nama pribadi, tanpa melibatkan satu pun teman-temannya.
“Berapa nomor Ari?”
“Buat apa?” Tari langsung cemas. Angga menoleh ke belakang dan menatapnya.
“kalo udah sampe begini, lo pikir untuk apa?” tanyanya dengan senyum tipis dan kedua alis terangkat.

***
Ketika Ari sampai di mulut gang tersebut, jejak Angga telah menghilang. Dengan bingung ditatapnya berkeliling. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gang sempit yang baru saja dilewatinya merupakan jalan pintas untuk sampai sekolah.
Sambil mendesis marah, dihentikannya motor dan dikeluarkannya ponsel dari saku celana.
“Ji….!” Seruan Ari terhenti karena ada panggilan masuk. Dijauhkannya ponselnya dari telinga. Satu nomor yang tidak dikenal terpampang di layar. Didekatkannya kembali ponsel itu ke telinga, kali ini dengan kening sedikit mengerut.
“Halo?”
“Gue tunggu lo di Lapangan Garuda!”
Telepon di seberang langsung ditutup. Sesaat Ari tercengang.
“Bangsat banget tu orang!” makinya. Dimasukannya ponselnya ke saku celana dan langsung tancap gas. Bukan menuju lapangan bola untuk umum seperti yang disebutkan Angga tadi, tapi kea rah sekolah.

***
Jam setengah tujuh kurang tiga menit. Fio memandangi jam tangannya sambil mengerutkan kening. Nggak biasanya sampai jam segini Tari belum datang. Biasanya dia paling telat jam setengah tujuh kurang lima.
Tiba-tiba ponselnya bordering. Dari nomor yang tidak dikenal. Sambil mengerutkan kening Fio menekan tombol bergambar telepon hijau. Belum sempat dia mengucapkan “halo”, seseorang sudah berteriak di ujung sana.
“Fio, jemput Tari di gerbang!”
Telepon langsung ditutup.
“Siapa sih ni orang?” Fio tercengang. Sesaat dia tak bisa mencerna. “Ya ampun! Ada apa nih si Tari?” desisnya kemudian dan langsung berlari menuju tangga.
Semenit serasa seabad saat Angga menghentikan motornya dengan mendadak, sampai menimbulkan bunyi berdecit. Fio langsung menghampiri. Bersama Angga dibantunya Tari yang pucat dan lemas turun dari boncengan.
“Ada apa sih?” tanya Fio. Angga menggeleng, tak ingin menjawab.
“Bawa aja dia ke kelas.” Sesaat Angga menatap Tari yang berjalan menjauh dibimbing Fio. “Kasih teh manis anget, Fi!” serunya dan langsung cabut. Tak bisa berlama-lama karena masih ada urusan yang harus diselesaikannya.
Tak sempat seperempat jalan Angga menuju tempat yang disebutkannya tadi, mendadak Ari muncul dari arah berlawanan dan langsung memotong laju motor Angga dengan gerak menikung tajam.
Angga yang tidak mengira, dengan terkejut menarik rem sekuat-kuatnya. Motornya berhenti mendadak, menimbulkan gaya dorong hebat dan membuat sang pemilik tak ayal terlontar.
Ari turun dari motornya dna menghampiri rival utamanya yang terkapar di aspal itu. Dicekalnya Angga tepat di kerah lalu ditariknya sampai berdiri.
“Tunggu di Lapangan Garuda!?” desisnya tepat di muka Angga. “Lo pikir kita janji main bola!?”

***
Fio merangkul Tari dan bergegas membawanya menuju kelas karena bel sudah berbunyi. Cewek itu tidak tega membuka mulut meskipun kepalanya disesaki tanda tanya. Tanpa dia sadari, Oji yang berdiri di depan pos sekuriti mengikuti dengan pandangan.
Semenja menerima telepon yang hanya berisi suara Ari memanggil suku kata terakhir namanya, dan setelah itu Ari tidak mengangkat telepon meskipun dicobanya untuk menghubungi berkali-kali, Oji langsung menyadari sesuatu pasti telah terjadi. Apalagi ditambah dengan apa yang baru saja terjadi di depan pagar sekolah tadi. Tari turun dari boncengan motor Angga.
Dua tahun lebih duduk semeja membuat Oji sadar, Tari telah membangkitkan sisi macan tidur Ari!
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Tari berusaha menenangkan diri secepat mungkin. Sedetik saja dirinya terlihat kenapa-kenapa, teman-temannya pasti langsung mengetahui itu berhubungan dengan Ari. Buntutnya, bombardier pertanyaan akan menyerbunya dari segala penjuru. Yang bukan saja tidak membantu, malah tambah bikin emosi.
Tak lama kemudian Bu Endang, guru biologi, memasuki kelas dan langsung memanggil Maya ke depan. Ternyata ada rapat mendadak. Semua guru yang mengajar di jam pertama harus melepas jam mengajarnya.
Namun, Bu Endang nggak mau rugi-rugi amat. Ia memerintahkan Maya, yang tulisan tangannya terkenal indah, untuk menyalin isi buku yang dibawanya ke whiteboard. Setelah memperingatkan seisi kelas bahwa dia akan kembali pada jam kedua dan memeriksa buku catatan, Bu Endang melangkah keluar.
“Yuk, Tar, ke kantin.” Fio langsung berdiri sambil meraih satu tangan Tari. Di tempatnya, Nyoman juga berdiri.
“Gue mau ke secretariat nih. Bayar SPP,” ucapnya ke seisi kelas. “Ada yang mau titip, nggak? Kertas ulangan? Bolpoin? Atau something else?”
“Kacang atom!”
“Es kue!”
“Keripik pedes!”
“Cimol!”
“Es tape!”
Seketika cowok-cowok di bagian belakang meneriakkan semua jajanan yang ada di koperasi, yang letaknya memang bersebelahan dengan secretariat.
“Pasti deh pake duit gue dulu. Iya, kan?” wajah Nyoman tampak kesal.
“Iyaaaaa!” langsung terdengar koor kompak dari para pemesan itu.
“Wah, kagak dah!” Nyoman geleng kepala dengan ekspresi malas. “Elo-elo tuh kalo makanannya udah abis pasti langsung pada belagak lupa kalo belom bayar.”
Seketika cowok-cowok itu menyeringai geli. Tari, Fiio, dan Nyoman kemudian berjalan bersisian di sepanjang jalan koridor dan berpisah di depan pintu kantin. Jam kosong yang terjadi serentak membuat suasana kantin jadi jam seperti jam istirahat.
“Lo tunggu situ deh. Gue pesenin teh manis.” Fio menunjuk tempat kosong. Tak lama dia kembali dengan segelas teh manis hangat untuk Tari dan segelas es the manis untuk dirinya sendiri.
“Ada apa sih? Gue kaget banget pas Angga teriak di telepon tadi. Nyuruh gue jemput elo di gerbang.”
Tari menarik napas.
“Kacau banget, Fi!”

***
Ari muncul dua puluh menit kemudian. Berantakan dan tampak berbahaya. Noda darah menghiasi beberapa titik di bagian seragamnya yang kusut masai dan robek di beberapa tempat.
Oji membuntuti di belakangnya. Terlihat jelas dia menjaga jarak dan bersikap waspada. Kedua matanya tak lepas dari Ari dan setiap gerak-geriknya. Ari langsung melangkah menuju kelas Tari, mencari target utamanya. Tapi beberapa saat sebelumnya, Nyoman yang berlari pontang-panting dari depan ruang secretariat telah menyampaikan info perihal kemunculan sang pentolan sekolah itu berikut dengan kondisinya. Dia menerobos masuk kantin dan langsung duduk di sebelah Tari.
“Kak Ari lagi ke sini!” bisiknya tegang.
Tari sontak memucat. Dia nggak idiot dengan mengira peristiwa tadi tidak akan berlanjut. Justru sekarang sedang ditunggunta telepon Angga untuk membahas apa yang harus dilakukannya selanjutnya.
Tari tidak tahu, saat ini Angga sedang terkapar di tepi jalan. Babak belur. Motornya ringsek karena kemarahan Ari. Sementara ponselnya rusak saat tubuhnya terlontar dari motor dan mendarat di aspal yang keras.
Beberapa saat yang lalu Angga memaksakan diri untuk bangkit. Dipinjamnya ponsel salah seorang dari sekian banyak orang yang menonton perkelahiannya dengan Ari tadi. Dikontaknya Bram dan dimintanya sahabatnya itu untuk memantau kondisi Tari lewat Fio.
Sebagai seseorang yang paling dekat dengan Angga, Bram melakukan lebih daripada yang diminta. Pada guru yang sedang mengajar, dia meminta izin ke kamar mandi. Tapi sampai dengan mata pelajaran itu berakhir, dua kali empat puluh lima menit kemudian, cowok itu tidak kembali.
Di atas motornya yang melaju kencang menuju tempat Angga terkapar, Bram mengontak Fio. Sayang, waktunya sama sekali tidak tepat.
Info Nyoman tadi telah menyebabkan Tari dan Fio disergap panik.
“Gimana nih?” Tari menatap kedua temannya bergantian. Bertanya dengan suara lirih agar tidak mengundang perhatian.
Kembali ke kelas, jelas tindakan konyol. Satu-satunya tempat bersembunyi cuma gudang. Sayangnya ruangan itu berada di ujung yang berlawanan dengan kantin. Tidak ada jalan lain selain menuruni tangga di depan kantin, meskipun tangga itu berujung di jantung area kelas sebelas.
Saat-saat seperti jam kosong begini, kantin kelas sebelas yang juga berada di depan tangga pasti dipenuhi para siswa. Dan sama seperti siswa kelas sepuluh, mereka juga suka duduk sampai hampir memenuhi seluruh undak-undakan tangga. Menyeruak meminta jalan meskipun sambil mengucapkan “Permisi, Kak. Maaf numpang lewat ya,” dengan intonasi yang bahkan paling sopan, tetep aja judulnya cari gara-gara.
Tari menatap Nyoman, yang segera mengerti maksud tatapan itu.
“Oke, gue kontak Edo atau Aya deh,” Nyoman menyebutkan dua dari seabrek teman-teman kelas sebelasnya. Dikeluarkannya ponselnya dari saku kemeja.
“Lain kali pikir dulu kalo mau ngajak gue main, ya!”
Tari dan kedua temannya tersentak dan memucat. Sedikit waktu untuk kabur itu ternyata telah berakhir.
Ari telah berdiri di hadapan ketiganya!

bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar