Kamis, 11 Mei 2017

JINGGA DAN SENJA BAB 5.1



Jingga dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 5 (1)

 Ari melakukan kesalahan di langkah pertamanya. Terlalu memaksa. Fakta bahwa mereka menyandang nama yang sama sudah membuat Tari shock. Dan apa yang dikatakan cowok itu selanjutnya membuat Tari lebih shock lagi.
Bel masuk sudah berbunyi, tapi cowok itu masih menahannya di kantin. Sengaja menunggu sampai ruangan kantin benar-benar kosong, untuk menegaskan kembali ucapannya. Bahwa mereka dipertemukan bukan karena satu kebetulan. Bahwa dia dan Tari adalah benda dan bayangan untuk satu sama lain. Karena itu Ari meminta, dengan nada yang bagi Tari lebih tepat terdengar memaksa, untuk menolak tawaran dari cowok mana pun yang ingin mengajaknya makan, atau ajakan apa pun yang sifatnya pedekate.
Secara spesifik Ari memang tdiak menyebut nama Angga, namun dengan kemunculan Ari di kelas Tari yang mencapai jumlah tiga kali dalam waktu cuma dua hari, ditambah cowok itu menggandengnya dengan demonstrasif di depan begitu banyak mata, sudah tertutup kemungkinan bagi Tari untuk bisa dapat cowok dari lingkungan satu sekolah.
Sepuluh menit setelah bel berbunyi, Ari mengantar Tari ke kelas, untuk menjelaskan pada guru yang sedang mengajar bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas keterlambatan Tari masuk kelas.
Perjalanan singkat dari kantin ke kelas ditempuh Tari dalam kondisi setengah sadar. Kepalanya penuh dengan kata-kata cowok yang berjalan di sebelahnya itu. Bahwa mereka berdua adalah bayangan untuk satu sama lain! Dan karenanya dia harus menolak cowok mana pun yang mau pedekate.
Itu tadi nembak atau apa sih?
Sialnya, begitu sampai kelas, lagi-lagi Bu Pur yang sedang mengajar. Begitu Ari pergi, tentu saja setelah cowok itu sesaat menggoda sang guru, langsung Tari mendapatkan teguran keras. Kalau sebelumnya Bu Pur memanggilnya ke ruang guru agar pembicaraan itu hanya jadi rahasia mereka, kali ini Bu Pur melakukannya terang-terangan di depan kelas.
Dengan kepala agak tertunduk dan muka merah padam menahan malu, Tari mendengarkan rentetan kalimat keras Bu Pur yang juga bisa didengar seluruh isi kelas itu. Itulah kejadian yang menjadi awal timbulnya rasa tidak suka Tari terhadap Ari.
Begitu bel istirahat kedua berbunyi, kejadian yang sama persis seperti waktu istirahat pertama terulang. Tari dikerubungi seisi kelas dan langsung dibombardir pertanyaan. Tapi kali ini ia tahu, Ari nggak mungkin nongol lagi. Jadi ia nggak bisa mengelak dan terpaksa menceritakan sebagian isi pembicaraannya dengan cowok itu.
Saat dikatakannya bahwa nama lengkap Ari adalah Matahari Senja, semuanya kontan berseru kaget. Dan semuanya kompak, sependapat, bahwa Tari dan Ari jangan-jangan jodoh. Soulmate.
Soalnya punya nama yang sama. Apalagi kalau ingat mereka pernah dua kali dipertemukan oleh ketidaksengajaan.
Pendapat teman-temannya itu seperti bentuk lain dari apa yang dikatakan Ari tapi tidak diceritakan Tari pada mereka. Benda dan bayangan.
Di luar dugaan Tari, teman-teman sekelasnya menyambut berita itu dengan girang. Nggak cewek nggak cowok, karena itu berarti mereka bisa minta perlindungan Ari –lewat Tari tentunya– kalau nanti mereka kena gencet anak kelas sebelas apalagi kelas dua belas. Begitu ceritanya selesai, Tari langsung mendapatkan ucapan selamat.
“Orang dia cuma ngasih tau kalo nama kami tuh sama kok,” ucap Tari dengan nada lelah campur kesal, karena azas manfaat yang diperlihatkan terang-terangan itu.
“Itu namanya pedekate, Oneng!” kata Christian. “Udah, terima aja. Soalnya kalo nggak, sekelas bisa bonyok nih.”
“Iya ya? Bener juga. Iya, Tar. Terima aja.” Nyoman mengangguk-angguk, baru menyadari kebenaran kalimat Christian itu. Yang lain juga setuju.
“Jadi, daripada yang bonyok satu kelas, mending gue sendiri aja yang jadi korban, gitu ya?” Tari memandang teman-teman sekelasnya dengan dongkol.
“Ya iyalaah!” mereka menjawab kompak, kemudian ketawa geli.
“Masa pacaran bisa bikin lo bonyok sih? Kecuali kalo lo selingkuh,” kata Maya.
“Udah, Tar. Terima aja. Demi keamanan dan keselamatan kelas kita,” putus Renanta, sang ketua kelas. Mendengar itu, Tari jadi makin sebel sama Ari.

***
Sampai malam, Tari masih kacau. PR dan tuags yang bejibun jadi terbengkalai, bahkan bisa dibilangterlupakan. Lewat telepon akhirnya dia ceritakan semuanya kepada Fio. Teman semejanya itu kontan kaget.
“Dia nembak elo, Tar. Udah nggak salah lagi.”
“Trus, gue mesti gimana dong?” tanya Tari cemas.
“Yah… kalo gitu ceritanya sih, ya udah. Apa boleh buat?”
“Yaaah,” Tari langsung lemas. “Elo kok ngomongnya sama kayak temen-temen sekelas gitu sih?”
“Abis kalo storinya udah gitu, kayaknya emang nggak ada jalan lain, Tar.”
“Tapi gue nggak mau pacaran sama dia. Serem, tau.”
“Tapi dulu kan lo suka sama dia? Sempet suka, maksud gue.”
“Dulu pas upacara itu? Waktu itu kan gue belom tau kalo dia itu yang namanya Ari. Malah kita semua belum tau.”
“Tapi waktu lo diselametin Ari pas kejebak tawuran itu, yang lo dianterin sampe kelas, lo bilang lo ngeras dia itu sebenarnya baik. Inget, nggak? Berarti kan sebenernya lo suka sama dia?”
“Itu gue ngomong dengan kapasitas orang yang kayaknya nggak mungkin bisa pacaran sama dia. Ngerti kan lo? Sama kayak elo gitu deh, Fi. Lo naksir Thomas, ketua OSIS. Tapi lo ngerasa kayaknya nggak mungkin bisa jadian sama dia. Jangankan jadian, bisa deket aja kayaknya nggak mungkin. Iya, kan? Gue masih inget kok lo pernah ngomong gitu.”
“Hehehehe, iya sih,” di seberang, Fio ketawa malu.
“Lagian sekarang gue jadi sebel sama dia, gara-gara ngeliat dia godain Bu Pur. Bener-bener tu orang, nggak tau sopan santunnya parah banget.”
“Iya emang,” fio setuju. “Jadi rencana lo gimana?”
“Belom tau. Bingung…” Tari menghela napas. “Yang jelas, nggak mau deh pacaran sama dia. Nggak banget!”
Tiba-tiba terdengar nada sela.
“Bentar, Fi. Ada telepon masuk.” Tari menjauhkan ponselnya dari telinga. Nama Angga muncul di layar. Dia dekatkan lagi ponselnya ke telinga. “Dari Angga. Udah dulu ya, Fi.”
“He-eh. Kalo ada apa-apa, cerita ya.”
“Iya. Daah!” diputuskannya hubungan telepon dengan Fio dan langsung diangkatnya panggilan Angga. “Ya, halo?”
“Sibuk banget kayaknya ya? Lagi online sama siapa? Pasti cowok.” Kalimat yang sebenarnya bermaksud menyelidik itu diungkapkan Angga dengan nada menggoda yang manis. Yang memang sengaja dia gunakan untuk menyamarkan.
“Nggak. Sama Fio.”
“Oh, kirain sama cowok. Syukur deh. Gue nggak jadi patah hati.”
“Ha?”
“Udah makan?”
“Nggak, tadi itu maksudnya apa sih?” tanya Tari. Keningnya sudah mengerut rapat.
“Kalimta tadi? Ya begitu,” ucap Angga. Suaranya mendadak melembut. “Udah makan belom?”
“Ng… udah belom ya? Udah deh kayaknya.”
“Kok kayaknya?” di seberang Angga mengerutkan kedua alisnya.
Dan kekacauan Tari yang tadi sudah langsung bisa dirasakan Angga lewat suara kini bisa ditangkapnya dengan jelas lewat kata-kata.
“Elo kenapa, Tar? Kok kayaknya kacau banget?”
“Nggak. Nggak pa-pa.”
Meskipun tak ada pengakuan yang keluar, Angga sudah bisa menduga Ari-lah pangkal penyebabnya. Tapi Angga tidak bertanya apa-apa. Seperti Ari sama sekali tidak menyinggung nama Angga, Angga juga melakukan hal yang sama. Cowok itu tidak menyinggung nama Ari sama sekali. Namun keduanya tahu dengan paati, siapa lawan masing-masing.
“Minum teh manis anget gih. Biar tenang,” saran Angga. Suara lembutnya begitu sarat perhatian.
“Iya, ntar. Ada apa lo telepon?”
“Nggak ada apa-apa. Emangnya harus ada apa-apa dulu ya, baru boleh telepon?”
Tari tertawa pelan, jadi merasa nggak enak. “Ya nggak juga sih. Tapi nggak mungkin nggak ada maksud deh.”
Ganti Angga tertawa pelan. “Lo itu ternyata cerdas ya?”
“Itu mah cewek bego juga tau, lagi.”
Kali ini tawa pelan Angga berkembang menjadi tawa geli.
“Besok pagi lo gue jemput ya, Tar.” Gue anter sampe sekolah.”
Tari tercengang. “Lo gila ya? Lo bisa bonyok, tau!”
“Nggak sampe depan sekolah. Gue juga tau itu sama aja nganter nyawa. Sampe halte aja. Oke? Besok lo gue jemput jam enam kurang. Sampe ketemu besok ya? Bye.”
Dan telepon langsung ditutup. Angga sengaja tidak member Tari kesempatan untuk menolak ajakannya. Tari ternganga, masih dengan ponsel menempel di satu telinganya.
Tari langsung teringat percakapan awalnya dengan Angga tadi. Cowok itu bilang nggak jadi patah hati karena ternyata Tari lagi online sama Fio dan bukannya sama cowok.
Itu tadi nembak atau apa sih? Tari mengetuk-ngetukkan ponselnya ke kepala. Bingung, sekaligus cemas.
“Telepon Fio deh,” desahnya dan buru-buru dikontaknya teman semejanya itu.
“Iya. Itu dia nembaaaaak!” Fio langsung memekik begitu tari menceritakan. “Wah, ini gawat, Tar!”
“Iya, gue tau. Jadi gimana dong?” pertanyaan Tari itu tidak terjawab. Fio juga bingung.
“Ya udah. Liat gimana perkembangannya aja nanti.” Akhirnya cuma itu yang bisa diusulkan Fio. Keduanya kemudian mengakhiri pembicaraan.
“Hari ini kok kacau banget sih?” desis Tari, sambil mati-matian berusaha berkonsentrasi mengerjakan PR. Akhirnya cewek itu jatuh tertidur. Dengan kepala menelungkup di atas meja dan PR yang tidak selesai.

***
Angga datang jam enam kurang sepuluh. Tari yang mengetahui kedatangan cowok itu lewat panggilan mamanya segera membenahi buku-bukunya. Gara-gara semalam ketiduran, PR-nya jadi nggak selesai. Terpaksa dia bangun sebelum subuh.
“Itu cowok yang waktu itu sore-sore nganterin kamu?” Mama langsung menyambut dengan pertanyaan begitu Tari keluar kamar. Ada tatapan ingin tahu di kedua mata Mama.
“Iya. Dia mau nganter Tari sampe sekolah.” Tari mengangguk. “Tari berangkat ya, Ma,” pamitnya sambil berjalan menuju pintu depan.
“Ati-ati di jalan, bilang sama cowok itu.”
“Iya.”
Begitu Tari muncul di pintu, Angga yang duduk di atas jok motornya yang diparkir di luar pagar langsung menyambutnya dengan senyum.
“Udah baikan?” tanyanya begitu Tari sudah berada di depannya.
Tari mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Semalem lo kacau banget.”
“Ooh…” Tari tersenyum. “Udah.”
“Udah sarapan?”
“Udah.”
“Tidurnya semalem cukup?”
“Apaan sih lo? Norak, tau.” Tari jadi jengah dengan rentetan pertanyaan Angga yang sarat perhatian itu. Cewek itu tidak mampu mencegah rona merah menjalari kedua pipinya. Angga menatap rona merah itu. Dia kedipkan satu matanya.
“Yuk.” Angga mengulurkan helm dan jaket pada Tari, lalu menstater motornya. Saat itulah Tari menyadari Angga tidak mengenakan seragam. Cowok itu memakai celana jins biru, dan dari risleting jaketnya yang terbuka di bagian atasnya Tari bisa melihat T-shirt putih di baliknya.
“Lo nggak pake seragam?” tanyanya heran.
“Gampang. Tinggal ganti di toilet sekolah,” Angga menjawab ringan. “Yuk. Udah jam enam lewat nih.”
Tari buru-buru mengenakan jaket dan helm yang diulurkan Angga.
“Duduknya jangan nyamping ya, Non.”
‘Udah tau. Biar lo nggak kayak lagi boncengin emak lo, kan?”
Angga menyeringai. “Bukan. Biar gue nggak dikira tukang ojek.”
Tari tergelak. Disingsingkannya rok panjangnya, kemudian duduk di belakang Angga.
“Udah?” Angga menatapnya lewat spion.
“Yap!”
“Oke. Pegangan ya.”
Keduanya membelah lalu lintas pagi Jakarta yang mulai padat. Sepanjang jalan Angga sengaja mengajak Tari ngobrol, membuat Tari merasa nyaman hingga tidak menyadari Angga tidak menepati janjinya yang katanya hanya mengantar sampai di halte.
Pengamatan yang selalu dilakukan sebelum melakukan penyerangan membuat Angga tahu kebiasaan Ari. Cowok itu sering menuggu bel masuk dengan duduk-duduk di tepi lapangan futsal yang dinaungi pohon, di area depan sekolahnya.
Tari terpengarah ketika Angga menghentikan motornya tepat di depan sekolah, kira-kira lima belas meter dari pintu gerbang.
“Gila lo, di depan sekolah!” bisiknya tegang.
“Makanya gue nggak bisa lama-lama.” Angga mengangkat kaca helmnya, balas berbisik tapi dengan nada santai.
Tari buru-buru turun. Cepat-cepat ia melepaskan helm dan jaket Angga yang dipakainya, lalu mengembalikannya kepada sang pemilik.
‘Thanks ya,” ujarnya.
“Oke. Cepet masuk sana!”
“Elo yang cepet pergi sana!”
Angga ketawa geli. “Oke deh. Sampe ketemu ya.” Cowok itu menurunkan kembali kaca helmnya lalu langsung tancap gas.
Emang nggak perlu lama-lama. Seperti dugaan Angga, Ari sedang duduk di tepi lapangan futsal bersama teman-temannya. Dan keberadaan Angga tepat di depan sekolah, meskipun cuma tiga puluh detik, jelas tertangkap kedua matanya.
Tanpa seragam dan dengan kepala terbugkus helm membuat tak seorang pun siswa SMA Airlangga menyadari kehadiran pentolan SMA musuh bebuyutan sekolah mereka itu.
Hanya Ari. Pertama karena Tari, kedua karena kedua mata Angga terarah tepat padanya. Ari sangat hafal bentuk kedua mata itu dan sorot khasnya. Dan tindakan Angga itu membuat Ari tecengang. Benar-benar di luar dugaannya cowok itu berani mengantar Tari sampai di depan sekolah.
Dengan geram Ari bangkit berdiri. Dengan langkah-langkah cepat dia berjalan ke arah pintu gerbang lalu berdiri dengan punggung bersandar di dinding pos sekuriti. Sementara itu sesaat setelah Ari meninggalkan teman-temannya, Tari berjalan kea rah pintu gerbang dengan langkah-langkah cepat. Lewat sela-sela jeruji pagar, diawasinya tepi lapangan futsal tempat Ari biasa duduk. Ketika dilihatnya cowok itu, Tari menarik napas panjang-panjang.
“Fiuuuuh, aman! Aman…!” desahnya lega. Seketika langkah-langkahnya jadi melambat.
“Dianter siapa tadi?”
Tari nyaris saja melompat. Kaget karena tiba-tiba saja Ari sudah ada di depannya, sesaat begitu dilewatinya ambang gerbang sekolah. Sontak cewek itu memucat. Bukan saja karena kaget, tapi juga karena orang yang paling ingin dihindarinya ternyata malah muncul tepat di depan mata.
“Angga?” Ari menjawab sendiri pertanyaannya.
“Emmm, iya,” Tari menjawab dengan suara pelan. Kedua matanya yang sempat menatap Ari buru-buru dia alohkan ke tempat lain. Ngeri melihat tatapan tajam Ari yang terarah lurus-lurus padanya.
“Lupa yang gue bilang di kantin, kemaren?”
“Dia yang jemput ke rumah kok.”
“Bisa lo tolak, kan?”
“Nggak ada alasannya.”
“Kan gue udah bilang di kantin kemaren. Lupa?” Ari mengulang kalimatnya. Sekarang sambil dia tundukkan kepalanya rendah-rendah. Tari serentak mundur. Mukanya bersemu merah.
“Maksudnya, nggak ada alasan yang pas buat nolak dia. Gitu lho,” kilah Tari, lalu buru-buru kabur.
Ari menatap Tari yang berjalan menjauh dengan langkah-langkah cepat. Dia sudah tahu , pasti Angga yang mengambil inisiatif. Tapi keduanya terlihat akrab. Untuk peretmuan yang baru terjadi dua kali, dengan setting yang juga jauh dari manis apalagi romantic, kemajuan yang dicapai Angga cukup mengejutkan. Sekali lagi cowok itu mendahului langkahnya!
Tubuh Ari menegang. Mendadak saja dia dicekam ketakutan. Seketika dikejarnya Tari. Tari kaget saat tiba-tiba satu tangannya ditarik dari belakang.
“Sekarang gue kasih lo alasan yang pas!” Ari langsung menyambutnya dengan satu kalimat tandas.
“Eh!? Eh!? Kakak apa-apaan sih!?” Tari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ari. Tapi itu justru membuat Ari mengetatkan cekalan kelima jarinya di pergelangan tangan Tari. Tari memucat ketika tahu ke mana Ari tengah menyeretnya. Area kelas dua belas!
“Kak Ari, lepas!”
Sekuat tenaga Tari menarik tangannya yang berada dalam genggaman Ari, sementara kelima kuku dari tangannya yang bebas dia tancapkan dalam-dalam ke dalam lengan Ari. Tapi itu justru membuat Ari jadi semakin marah. Ditariknya Tari dengan sentakan keras. Sampai tubuh cewek itu membentur tubuhnya.
“Brenti berontak, kalo lo nggak mau gue jadi kasar!” desisnya. Tari langsung kooperatif. Bukan saja karena sepasang mata nyalang Ari membuat nyalinya ciut, juga karena mereka sudah menaiki tangga menuju lantai dua gedung selatan, tempat kelas-kelas dua belas berada.
Kalau sebelumnya kegemparan itu terjadi di area kelas sepuluh, merembet ke area kelas sebelas dalam bentuk berita dan laporan heboh beberapa saksi mata, kemudian sampai di area kelas dua belas dalam bentuk laporan tanpa saksi mata, kini kegemparan itu terjadi langsung di area kelas dua belas.
Dan kegemparan yang terjadi di area angkatan dengan hierarki tertinggi itu jelas lebih hebat daripada yang terjadi di area kelas sepuluh. Karena kelas dua belas adalah angkatan yang paling mengenal Ari.
Mereka tahu dengan pasti kosongnya “tempat” di sebelah Ari selama ini. Karena itu munculnya sang pentolan sekolah itu dengan seorang cewek yang digandengnya erat-erat jelas menimbulkan kegemparan lebih dari sekadar tatap-tatap terkesima dan mulut-mulut ternganga seperti yang terjadi di area kelas sepuluh.
Begitu memasuki kelas dua belas, sebagian dari tatap-tatap terkesima dan mulut-mulut ternganga kemudian mengekor di belakang keduanya. Tidak tidak diam di tempat seperti yang terjadi di area kelas sepuluh.
Lama-lama jumlah pengekor semakin banyak dan keduanya jadi terlihat seperti sepasang pengantin yang sedang diiringi sanak keluarga dan orang sekampung. Yang mengiringi bukan hanya dengan rasa ingin tahu, tapi juga berondongan pertanyaan dan komentar.
“Siapa, Ar? Siapa? Kenalin dong!” teriak satu suara.
“Cewek lo, Ar? Akhirnya! Gue kirain lo homo!” satu suara lain melengking keras.
“Anak sekolah kita juga?” satu suara lain menyeruak dari dengungan.
“Ya iyalah. Liat badgenya dong. Goblok banget lo nanyanya,” lontaran pertanyaan itu langsung mendapatkan jawaban.
Sementara itu, di sebelah Ari, Tari melangkah seperti dalam mimpi. Riuhnya suasana yang mengelilingi mereka membuatnya tak lagi mampu mencerna apa yang tengah terjadi. Di samping itu, di antara tatap-tatap ingin tahu yang tidak bersuara, dia menemuka sorot iri, benci, bahkan kemarahan. Satu hal yang bisa dia sadari, mulai saat ini hari-harinya ke depan bisa dipastikan bakalan runyam dan banyak masalah.
Rombongan pengiring it uterus mengikuti Ari menggandeng Tari masuk ke kelasnya. Dibawanya cewek itu ke bangku Oji, yang hari ini nggak masuk. Setelah itu ditariknya bangkunya sendiri, rapat di sebelah bangku Oji yang kini diduduki Tari. Kemudian Ari duduk dan merentangkan kedua tangannya. Satu dai letakkan di puncak sandaran kursi yang diduduki Tari, satu di meja depan cewek itu. Dia sangat menyadari takut yang dirasakan Tari. Karena begitu memasuki area kelas dua belas, cewek itu berhenti berontak dan tidak lagi mengeluarkan suara.
Ari sengaja bersikap ambigu. Proteksi sekaligus unjuk kekuasaan. Lo aman di sebelah gue, karena gue berkuasa!
Pak Yusuf, guru Bahasa Indonesia yang mengajar di jam pertama, memasuki kelas dengan kening berkerut karena ruangan itu sudah seperti tempat penampungan yang memuat terlalu banyak pengungsi.
“Ada apa ini!?” serunya sambil mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol keras-keras. Seisi ruangan menoleh kaget. “Cepat ke kelas masing-masing. Sudah bel!”
Para pengiring Ari dan Tari kontan bubar. Begitu yang tersisa tinggal penghuni asli kelas XII IPA 3, Pak Yusuf langsung menyadari adanya pendatang baru. Bukan karena dia hafal isi kelas itu, tapi karena Tari telihat takut dan canggung berada di antara orang-orang yang tidak dikenalnya.
“Kamu bukan siswa kelas ini, kan?” tanyanya.
“Bukan, Pak,” jawab Tari pelan disertai gelengan kepala. Gelengan kepala itulah yang membuat Pak Yusuf tahu, karena suara Tari sama sekali tidak terdengar olehnya.
“Kamu kelas berapa?”
Duh! Tari mengeluh dalam hati. Kenapa pake nanya gue kelas berapa sih? Suruh aja gue pergi dari sini! Jeritnya dalam hati. Meskipun sejak tadi dirinya sudah jadi pusat perhatian, hadirnya Pak Yusuf dan mata seisi kelas yang terarah padanya membuat Tari merasa kehadiran guru itu sama sekali tidak berguna.
“Bapak nanya saya aja. Saya tau kok dia kelas berapa,” Ari menawarkan diri. Pak Yusuf tidak mengacuhkan. Kedua matanya tetap tertuju pada Tari.
“Kelas berapa kamu?” ulangnya.
“Sepuluh sembilan, Pak,” jawab Tari setelah menghela napas diam-diam.
“Berapa?” Pak Yusuf menyipitkan kedua matanya. Tidak bisa mendengar suara Tari saking lirhnya.
“Sepuluh sembilan!” Ari yang menjawab, dengan suara lantang dan sambil melirik cewek di sebelahnya itu. “Udah saya bilangin, Bapak nanya sama saya aja. Ni cewek suaranya allus banget, Pak. Saya aja yang di sebelahnya nggak denger.”
“OOOH, KELAS SEPULUH SEMBILAAAAN!!!” seisi kelas membeo dalam bentuk koor yang kompak dan nyaring.
“Nama kamu?” tanya Pak Yusuf lagi.
“Jingga Matahari, Pak!” lagi-lagi Ari yang menjawab. Begitu Ari menyebutkan nama lengkap Tari, kontan ruangan kelas jadi sunyi senyap. Tapi hanya sesaat. Kemudian suasana berubah riuh. Semua membicarakan persamaan nama dua orang yang duduk bersebelahan itu. Heran. Takjub.
Pak Yusuf mengetuk-ngetuk meja dengan penghapus whiteboard keras-keras. Memerintahkan kelas agar tenang. Tapi belum sempat beliau bicara, Eki sudah menyerukan usulan agar hari ini mereka bebas, nggak belajar.
“Pak, hari ini nggak usah belajar deh. Kita merayakan bertemunya dua Matahari ini.”
“SETUJU! SETUJUUU!!!” seisi kelas langsung menyambut dengan gegap-gempita.
“Terus kenapa kalau mereka punya nama yang sama?” tanya Pak Yusuf dengan nada dingin.
“Ya kan orang yang namanya Matahari itu jarang banget, Pak. Seumur hidup malah baru ini saya punya temen namanya Matahari. Kalo nama Bapak, Yusuf, buanyak buanget, Pak. Coba deh Bapak pergi ke pasar, terus teriak manggil nama sendiri. Ada kali lima puluh orang ikutan nengok juga, Pak.”
Ucapan Eki membuat seisi kelas ketawa geli.
“Kurang ajar lo sama orang tua, Ki. Dosa, tau!” kata Ical.
Eki buru-buru berkilah. “Bukan begitu, Pak,” katanya sambil tersenyum sumir. “Maksud saya, nama ‘Matahari’ itu superlangka. Jadi bertemunya dua ‘Matahari’ jelas peristiwa yang juga sangat langka. Berarti ini suratan takdir. Kehendak dari Sang Maha Pemberi Hidup yang bertakhta di keabadian untuk mempertemukan kedua insan ini, Pak. Makanya perlu dirayakan.” Eki menoleh ke Ical lalu meringis. “Keren banget kan kata-kata gue?”
“Iya. Gila, lo Gibran banget, man. Nggak nyangka.” Ical geleng-geleng kepala sambil mendecakkan lidah dan mengacungkan kedua ibu jarinya.
Kembali kelasriuh dipenuhi tawa-tawa geli. Pak Yufuf menatap Eki dan Ical dengan pandangan dingin, lalu perhatiannya kembali ke Tari.
“Kenapa kau ada disini?”
“Saya yang bawa dia kesini, Pak,” ucap Ari dengan gaya khasnya apabila sedang melakukan penentangan. Tenang, lugas, tandas.
Pak Yusuf jadi semakin kesal. Kemungkinan besar dia akan semakin banyak kehilangan waktu mengajarnya, karena lagi-lagi Ari membuat ulah.
“Kembali ke kelas kamu. Cepat!” perintahnya. Dengan lega Tari berdiri. Akhirnya dirinya bebas juga. Tapi Ari langsung mencekal pergelangan tangan Tari dan menariknya sampai cewek itu jatuh terduduk di sebelahnya lagi.
“Oji nggak masuk, Pak. Makanya dia saya ajak ke sini. Semuanya pada punya pasangan, masa saya sendirian? Kan nggak adil. Lagipula, hari ini mnedung. Kayaknya bakalan hujan deras.
Sendirian, pas dingin-dingin, terus di tengah pasangan-pasangan. Sumpah, itu rasanya merana banget, Pak.”
“Ya udah. Gue duduk sama elo deh,” Ridho menawarkan diri.
Ari menoleh lalu menatapnya sambil menggelengkan kepala. “Poligami, oke. Tapi kalo homo-homoan, mending gue sama satu orang aja deh. Cukup si Oji aja, man. Too much love will kill you,” ucap Ari kalem. Seisi kelas kontan tertawa riuh.
Di saat Pak Yusuf berpikir keras bagaimana caranya menyelesaikan masalah di depannya, karena Ari sudah terkenal semakin dikerasii akan semakin frontal, tiba-tiba Bu Sam muncul di pintu kelas. Rupanya Fio sempat melihat saat Tari dibawa Ari dengan paksa. Dan ketika teman semejanya itu tidak muncul-muncul juga, Fio langsung melapor pada wali kelas mereka, Bu Pur. Bu Pur otomatis melaporkan peristiwa itu pada wali kelas Ari, Bu Sam.
Bu Sam, yang selalu meras telah terkena kutukan setiap kali teringat dirinya menjadi wali kelas Ari, langsung berjalan menuju kelas XII IPA 3 dengan langkah lebar dan roman muka kesal. Setelah mengangguk ke arah rekan sejawatnya, Pak Yusuf, Bu Sam langsung melayangkan pandangannya pada Tari.
“Kamu Tari?”
“Iya Bu.” Tari mengangguk, kembali terlihat lega.
“Kembali ke kelas kamu. Sekarang!”
Tari langsung berdiri dan bergegas keluar. Tak lama kemudian suara langkah-langkah kebebasannya di sepanjang koridor menghilang. Di luar dugaan semua orang, Ari membiarkan. Dia cuma tersenyum tipis kemudian berdecak sambil menggelengkan kepala.
“Ibu tuh kayaknya nggak bisa banget kalo ngeliat saya seneng dikit aja ya?”
Bu Sam tidak mengacuhkan ucapan Ari itu. Dia mengangguk ke arah Pak Yusuf sambil mengucapkan terima kasih, kemudian pergi. Pak Yusuf segera memrintahkan seisi kelas agar membuka buku cetak masing-masing. Kemudian beliau berdiri di depan whiteboard dan mulai menuliskan poin-poin penting untuk dicatat. Begitu membalikkan badan, guru bahasa Indonesia itu kaget karena Ari sudah menghilang dari bangkunya.
“Ke mana dia?” tanyanya tajam.
“Nggak tau Paaak!” seisi kelas menjawab kompak.
Di kelas X-9, Bu Pur baru saja menyuruh Tari duudk di bangkunya, tanpa bertanya apa-apa karena dilihatnya muka cewek itu pucat dan terlihat jelas sedang berusaha keras menahan tangis.
Beliau kemudian meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda, memindahkan isi buku catatannya ke whiteboard agar disalin para muridnya.
Tapi ketika beberapa saat kemudian dia membalikkan badan, ibu guru muda itu terkejut. Karena Ari sudah berada di dalam kelasnya. Duduk manis di sebelah Tari. Sementara Fio, sang pemilik bangku yang terusir, berdiri bingung di lorong antarbaris.
Bu Pur berdecak pelan, kesal saat masalah yang terjadi di kelas XII IPA 3 berpindah ke kelasnya. Untungnya tak lama kemudian Bu Sam muncul, dan tidak sendiri. Pak Rahardi, sang kepsek, menyusul di belakangnya.
“Maaf mengganggu sebentar, Bu Pur.” Pak Rahardi mengangguk ke arah Bu Pur, kemudian melangkah masuk dan berhenti di depan kelas. Sementara Bu Sam tetap berdiri di luar kelas, dengan muka yang sangat jelas terlihat sedang menahan marah. Pak Rahardi langsung melayangkan pandangannya pada Ari.
“Ari, kamu ikut Bapak!”
Ari menahan napas kemudian berdecak kesal. Sambil bangkit berdiri, cowok itu memukul meja di depannya.
“Beraninya pada keroyokan!” ucapnya.
Tari dan seluruh teman sekelasnya menatap ternganga. Walaupun telah berulang kali menyaksikan sikap Aro yang suka seenaknya, mereka tak menyangka itu juga berlaku di depan Pak Rahardi. Kepsek! Orang yang dianggap paling berpenagruh dan paling dihormati di sekolah.
“Ntar siang lo gue nater pulang.” Ari menepuk lengan Tari, bicara tanpa menoleh, kemudian melangkah keluar.
“Terimakasih Bu Pur, silahkan diteruskan.” Pak Rahardi menganggukkan kepala diikuti Bu Sam, kemudian pergi.
Melihat seisi kelas masih ternganga-nganga, menatap ke arah pintu tempat Ari menghilang bersama Pak Rahardi dan Bu Sam, Bu Pur mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol.
“Ayo, kita lanjutkan!”
Tari menatap Fio dengan raut putus asa.
“Ntar kita omongin pas istirahat,” Fio menenangkan sebisanya.

Bersambung ke bab5(2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar