Rabu, 24 Mei 2017

JINGGA DAN SENJA BAB 9.2



Jingga dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 9 (2)


 Pak Toyo, guru olahraga kelas X-3, karena satu keperluan. Berhalangan hadir selama kira-kira setengah jam. Namun beliau telah memerintahkan anak-anak didiknya untuk sudah berada di lapangan pada saat dia datang.
Itulah sebabnya anak-anak kelas X-3 sudah seluruhnya berada di lapangan meskipun tanpa gurur. Akibatnya ereka jadi nggak berdaya menolak paksaan temen-teman sekelas Ari untuk tanding futsal.
Sementara Pak Adang, guru olahraga kelas Tari, sedang ke ruang gurur mengambil buku absensinya yang tertinggal. Baru setelah beliau kembali dan menyaksikan situasi di lapangan jadi kacau gara-gara ulah Ari, akhirnya datang juga seorang penolong untuk Tari.
“ARI, LEPAS!!!” bentak Pak Adang dengan suara menggelegar.
Seperti biasa, Ari memberikan reaksi santai. “Ni cewek larinya lama, Pak. Makanya saya tarik!” serunya.
“KAMU...!” dengan geram Pak Adang menghampiri sambil menggulung buku absensinya, siap menjadikannya sebagai alat pukul.
Sambil tersenyum lebar Ari melepaskan kedua tangan Tari dari cekalannya. Cowok itu kemudian mundur menjauh, sambil terus menatap Tari yang berdiri membeku di tempat Ari meninggalkannya tadi. Wajahnya yang merah padam dan menahan kekesalan yang nyaris menjadi tangis membuat senyum Ari kembali mengembang.
“Pergi sana!” usir Pak Adang. Dipukulnya punggung Ari dengan gulungan buku absensinya.
Masih dengan sisa-sisa senyum, Ari balik badan. Kedua matanya langsung menyambar Gita. Cewek itu tersentak dan seketika memalingkan muka dengan gugup.
Pak Adang langsung mengumpulkan teman-teman sekelas Tari. Yang cowok di lapangan futsal, sementara yang cewek di lapangan basket. Setelah membentuk dua tim futsal dan dua tim basket, latihan langsung dimulai. Sisanya yang tidak tertampung duduk-duduk di tepi kedua lapangan itu, menunggu giliran.
Gangguan Ari tadi membuat kedua mata Tari dengan cemas mencari-cari. Tapi dilihatnya cowok itu sedang berada di lapangan futsal, bergabung dengan anak-anak kelas X-3. Ebrsama Ridho, Oji, dan dua teman sekelasnya yang lain, Ari memaksa para juniornya itu untuk tanding futsal.
Cowok itu telah melepaskan baju seragamnya. Kini hanya mengenakan kaus putih tanpa lengan. Keringat yang benar-benar kuyup membuat kaus itu melekat erat dan mencetak setiap lekuk otot tubuh di baliknya.
Setelah sebentar-sebentar melirik dan melihat Ari makin asyik dengan acara tanding futsal maksanya itu, kecemasan Tari semakin menyusut dan akhirnya hilang. Sepertinya situasinya mulai aman. Cewek itu mulai tenang dan mulai biasa berkonsentrasi pada permainan basket yang harus diikutinya.
Karena sejak SMP permainan basketnya terkenal parah, Tari mendengarkan instruksi Pak Adang dengan serius. Pak Adang terpaksa bolak-balik antara lapangan basket dan futsal untuk mengawasi para siswanya. Tak lama Tari sudah lupa dengan insiden tadi. Sampai tiba-tiba Fio muncul dengan langkah tergopoh dan raut muka tegang.
Karena Pak Adang kebetulan sedang berada di tengah lapangan futsal, mengawasi teman-teman cowok sekelas Tari berlatih, Fio langsung menerobos ke tengah lapangan basket, mengahmpiri Tari.
“Tar, baju lo diambil sama Kak Ari!” serunya tertahan.
Tari menoleh, mencari-cari Ari dan sontak ternganga. Baju seragamnya ada di tangan Ari!
Cewek itu mengenali kemeja putih seragmnya karena ada pin matahari yang baru dibelinya dua hari lalu yang disematkannya di atas saku.
“Kapan dia ngambilnya?” Tari menoleh dan menatap Fio.
“Kak Oji yang ngambil. Barusan. Makanya gue langsung ke sini. Ngasih tau elo.”
Fio menatap Tari dengan perasaan bersalah. Tadi dia sudah berusaha keras merebut kembali baju seragam itu. Karena hanya berdua, Oji dan dirinya, Fio nekat mengenyahkan fakta dirinya junior dan yang dihadapinya adalah senior tertinggi.
Sayangnya, meskipun sudah disingkirkannya perbedaan strata itu, Fio tetap tidak mungkin bisa menyingkirkan perbedaan gender di antara mereka. Dengan mudah Oji mematahkan setiap usaha Fio untuk merebut kembali baju seragam Tari. Sebelum pergi, sesaat cowok itu berhenti di ambang pintu untuk mengajukan tantangan.
“Gih sana, lo ngadu ke Tari kalo baju seragamnya gue ambil.” Oji menyeringai puas kemudian menghilang. Fio mengatupkan kedua gerahamnya dengan dongkol.
“Dasar cowok brengsek!” makinya, lalu bergegas keluar.
Fio ngak bego, dia tahu Oji sengaja memancingnya untuk mengatakan pada Tari. Supaya Tari otomatis bereaksi dan dengan demikian Ari jadi punya alasan untuk mengganggunya habis-habisan, seperti yang selama ini sering dia lakukan. Tapi Fio juga sadar, dirinya ngak mungkin cuma diam membiarkan. Biar gimana tu baju kan harus diambil lagi. Ngak mungkin Tari terus pakai kaus olahraga sampai nanti jam terakhir. Tapi hanya sampai disini bantuan yang bisa diberikan Fio. Berikutnya betul-betul cuma bisa ngasih doa aja. Tari dan Fio yang berdiri tegang ditengah-tengah lapangan menatap lurus dan cemas ke satu titik, otomatis menghentikan permainan. Semua teman mereka yang berada dalam satu lapangan, juga yang duduk-duduk ditepi lapangan menunggu giliran, bergegas menghampiri dan berdiri di kiri-kanan-belakang, membentuk kerumunan sambil ribut bertanya. “Ada apa sih? Ada apa?” Tanya itu tak terjawab. dan emang ngak perlu juga. Pin matahari yang tersemat diatas saku kemeja seragam Tari, yang saat ini berada ditangan Ari, sudah cukup membuat semuanya segera mengerti apa yang terjadi. Sementara itu Ari berbuat seolah-olah dirinya dan Tari tidak sedang berada dalam satu frame yang sama. Teman-teman Ari jelas mengimbangi permainan pemimpin mereka. Tidak satu pun dari cowok-cowok itu menoleh kearah Tari, apalagi Ari. Seolah-olah mereka sedang mementaskan sebuah drama pendek. dan tema ceritanya adalah: Ari memaksakan baju seragam Tari untuk muat dibadannya.
"Sebentar, Bos. Sebentar," Oji menghentikan gerakan Ari yang baru saja akan memasukkan tangan kanannya ke lengan baju. "Kayaknya nggak muat deh, Bos, kalo nggak dilepas dulu kausnya."

"Oh iya. Betu lo." Ari mengangguk-angguk, dengan gaya seolah-olah dia baru menyadari hal itu. Diserahkannya baju seragam Tari ke Oji, kemudian segera dilepaskannya kasunya yang basah kuyup karena keringat itu. SEketika dada telanjangnya jadi konsumsi seluruh mata yang ada. Tapi Ari terlihat santai. Tak peduli.
Tanpa daya Tari menyaksikan baju seragmnya kembali ke tangan Ari, diserahkan Oji dengan sikap penuh khidmat, dengan uluran tangan kanan sementara tangan kirinya menerima kaus Ari yang basah kuyup.
Tanpa sadar, semuanya jadi menahan napas saat perlahan Ari mulai memsukkan tangan kanannya ke lengan baju. Dan lagi-lagi tanpa sadar, semuanya jadi menggigit bibir. Menatap dengan ngeri saat lengan berotot Ari stuck di pertengahan jalan. Cowok itu lalu memaksakan lengan baju seragam Tari yang - dengan menggunakan mata telanjang yang bahkan kena katarak parah - jelas-jelas nggak bakalan muat untuk meloloskan lengannya. Dibantu Oj dan di depan teman-temannya yang hanya menyaksikan sambil senyum-senyum, Ari menarik-narik lengan baju seragam Tari itu.
Tari nggak tahan lagi. Akhirnya cewek itu bergerak dari berdiri bekunya selama ini, dengan muka kaku dan sorot mata penuh amarah. "Dasar emang tu orang brengsek banget!" desisnya dengan gigi gemeretak.
"Tar! Tar! Jangan, Tar!"
Entah berapa tangan yang erfleks menahan langkah Tari.
"Jangan bego deh, Tar. Percuma lo ke sana. Yang ada bkan cuma baju seragam lo yang abis, lo-nya juga bisa abis ntar," ucap Nyoman.
"Trus gue disuruh diem aja, gitu!?" Tari membentak Nyoman tanpa sadar.
"Terpaksa!" Nyoman memelototinya tajam-tajam. "Bisa apa lo? Nggak bakalan tu baju kerebut Yang ada juga pasti bakalan digodain, salah, maksud gue, dijahatin. Bisa-bisa sama Kak Ari ntar lo dibikin nagis. Nggak bakalan dia peduli, ini di tengah lapangan. Banyak orang."
Yang lain membenarkan. Mereka tarik Tari ke belakang. Kembali ke tempat tadi dia berdiri, dan tidak mereka lepaskan cekalan mereka di kedua tangan cewek itu. Akhirnya Tari hanya bisa pasrah.
Meskipun sepertinya terlihat tak acuh, Ari mengawasi setiap detail reaksi Tari. Tak ada yang bisa luput dari mata tajamnya. Dan tak perlu meletakkan objek di fokus tatapan, karena dia punya banyak mata.
Cowok itu menahan senyum saat mendapati Tari berada dalam cekalan teman-temannya. Tapi dalam hati Ari agak menyayangkan. Kalau Tari dilepaskan, situasinya pasti lebih menantang. Karena cewek itu adalah lawan yang manis dan menyenangkan.
Setelah melakukan banyak usaha pemaksaan, akhirnya Ari berhasil membuat baju seragam Tari melekat di tubuhnya. Ketidakcocokan ukuran yang njomplang membuat setiap serat kain dan benang jahit menapai tingkat elastisitas paling maksimal. Satu titik menjelang robek.

Dengan ngeri Tari menyaksikan baju seragmnya yang sudah disetrika mamnya sampai benar-benar licin dan rapi, yang kemudian dengan hati-hati dia semprotkan parfum kebanggaan, kini membungkus erat tubuh Ari yang basah karena keringat.
"Hiiiyyy!" teman-teman Tari bergidik. Semua kepala yang ada ternyata terasuk oleh satu pikiran yang sama.
Selama ini Tari bangga banget dengan parfumnya, karena asli dari Italia. Oleh-oleh dari tantenya waktu sang tante bertugas selama satu bulan di negara cantik dan kaya dengan bangunan bersejarah itu. Makanya Tari juga nyemprotnya superhemat. Yang namanya parfum orisinal, harganya pasti muahal kalau sudah masuk Indonesia. Meskipun Tari nyemprotnya cuma dikiiiiiiiit, tetep semerbaknya kemana-mana. Semua temannya mengakui, bau parfumnya enak banget. Soft. Elegan.
Sekarang yang jadi pertanyaan, harapan tepatnya, sanggup nggak parfum yang dibeli di salah satu kota pusat mode dunia itu mengalahkan bau keringat? Karena cowok biar gantengnya kayak apa juga, tetep aja keringetnya bau sapi!
Sementara itu di kejauhan...
"Gimana?" Ari bertolak pinggang. Pura-pura meminta pendapat teman-temannya tentang baju seragam Tari yang sekarang melekat teramat erat di tubuhnya, yang semua kancingnya jelas tidak mungkin bisa terkait.
Semua temannya lalu mengamati dengan tampang serius. Ada yang sambil menyipitkan mata. Ada yang keningnya sampai berkerut-kerut. Ada yang memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan.
Tari menggeleng-gelngkan kepala tanpa sadar. Takjub. Kok ada ya, penyakit gila yang sampai massal begitu?
"Hmm, bentar... bentar," suara Ridho memecahkan hening keseriusan pura-pura itu. 'Kayaknya ada yang kurang. Apa ya?" tu cowok belagak mikir. "Oh, iya!" serunya kemudian sambil menjetikkan jari. "Kemaren-kemaren gue liat ada tonjolannya deh. kok sekarang nggak ada?"
Muka TAri langsung merah padam. Apalagi setelah beberapa pasang mata langsung menoleh dan menatapnya. Sebagian besar adalah anak-anak kelas X-3, yang kegiatan berolahraganya jadi on-off gara-gara melihat Tari dan teman-teman ceweknya berdiri bergerombol di tengah lapangan basket.
Oji, Ridho, dan teman-teman Ari yang lain lalu berlagak mencari-cari. Lagi-lagi dengan tingkat keseriusan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan keseriusan mereka saat belajar di kelas. Tak lama Eki menegakkan tubuh, setelah beberapa saat menyibaki rumput yang tumbuh di tepi lapangan futsal. Seolah-olah yang dimaksud Ridho dengan kalimatnya tadi adalah sejenis jangkrik atau belalang.
"Tu tojolan yang kayak apa sih?" tanya Eki, berlagak blo'on. "Bingung juga gue nyarinya kalo nggak tau bendanya."
"Terangin, Ji!" perintah Ari pada Oji dengan nada berwibawa, memicu tawa-tawa geli dan suit-suitan.
"Ck, tolol lo emang. Makanya pacaran." Oji menatap Eki, berlagak prihatin.
"Udah, cepet jelasin!" sentak Ari.
"Eh, iya, Bos. Bentar." Oji merinigs sambil garuk-garuk kepala. Kemudian dia berpikir keras. Tak lama dia berseru keras sambil menjentikkan jari.
"Lo tau gedung DPR/MPR, nggak?" ditatapnya Eki dengan kedua mata membulat lebar. Keliatan jelas Oji girang banget karena berhasil menemukan padanan objek. Sementara Ari mengulum senyum melihat antek-anteknya itu sukses berkelit.
"He-eh?" Eki mengangguk, tapi dengan tampang dibikin seolah-olah dia nggak paham.
"Tau kan bentuk atapnya kayak gimana?"
"Iya tau." Eki mengangguk algi. Tapi masih belagak nggak mudeng.
"Nah, kayak gitu benda yang kita cari."
"Ooh, kayak kutang gitu ya?"
"IYAAAAAA, DISEBUTIN!!!" Oji berteriak. "Gue udah capek-capek pake metafora. Dasar gobloooook! Kampungan! Udik! Katro! Hare gene, masih pake sebutan zaman feodal. Buka tesaurus dwoooong. Cari sinonimnya. Bikin malu kelas kita aja. Pindah ke kelas laen aja lo, Ki!"
Oji berlagak histeris abis. Memicu tawa-tawa terbahak meledak tak terkendali. Ari sendiri sampai membungkukkan tubuh. Satu tangannya memegangi perut, sementara tangan yang lainnya berpegangan pada salah satu tiang gawang. Kedua bahunya berguncang-guncang karena tawa.
Joke itu emang bikin Ari dan semua temannya jadi terpingkal-pingkal. Sementara para junior mereka, termasuk teman-teman cowok sekelas Tari, jadi tersenyum lebar. Sebagian besar tidak bisa menahan mata mereka dan hinggap di objek tertawaan. Tapi untuk Tari, pasti juga untuk semua cewek yang ada diposisinya-dengan catatan tu cewek waras, ngak kecentilan-asli, itu pelecehan berat!!! Diapit Fio dan Nyoman dikiri-kanan, yang jadi merangkulnya tanpa sadar, Tari berdiri diam. Diam yg menekan gelegak kemarahan. Enggan banget dihampirinya Ari lalu ditonjoknya bertubi-tubi. Tapi cewek itu juga sadar, nekat menghampiri Ari hanya akan membuat dirinya semakin jadi bulan-bulanan. Sementara Pak Adang, yang selama 15 menit terakhir perhatiannya tercurah penuh pada Renata dan sembilan anak lain yang berada dilapangan futsal, seketika mengerutkan kening saat melihat aktivitas dilapangan basket berhenti total. 10 siswi yang tadi ditinggalkannya dengan setumpuk instruksi kini berdiri bergerombol. Menatap serius ke satu titik dan sama sekali tidak melakukan satu pun instruksi yang dia berikan. Sementara sisanya yang tadi duduk-duduk ditepi lapangan menunggu giliran, bergabung bersama kesepuluh teman mereka. Juga serius menatap ke fokus yang sama. Bukan hanya mereka. Kegiatan dilapangan voli dan lapangan futsal yang lain, tempat rekan sejawatnya menitipkan padanya pengawasan terhadap anak-anak didiknya, aktivitas olahraga juga tidak berjalan lancar. Beberapa orang yang jadi ikut-ikutan menatap ke titik yang sama dengan Tari dan teman-temannya, jelas jadi menghambat permainan.
Dengan kesal Pak Adang menghampiri para siswi yang berdiri bergerombol itu.
“Ada apa?” tanyanya tajam.
“Bapak cuma bisa mengajar satu jam. Jadi jangan dibuang-buang waktunya.” Tari langsung menarik napas lega. Berharap Pak Adang akan menolongnya lagi.
“Baju seragam saya diambil sama kak Ari, Pak.” Ditunjuknya Ari dikejauhan. Pak Adang menoleh kearah yang ditunjuk Tari lalu menghela napas. Diluar harapan Tari, kali ini Pak Adang tidak melakukan apapun untuk menolongnya. Beliau malah memerintahkan para siswi itu kembali ke posisi masing-masing dan melanjutkan permainan. “Baju seragam saya Paaaaak!” Kembali Tari menunjuk Ari lurus-lurus. Kali ini hampir menangis. “Nanti Bapak ambil,” Pak Adang menenangkan. Ditepuknya satu bahu Tari. “Sekarang lanjutkan dulu basketnya.” Terpaksa Tari mematuhi perintah itu, tapi jelas konsentrasinya ngak bisa total. Jangankan total, 50% juga ngak ada. Hampir semua konsentrasi cewek itu nyangkut di Ari. Meskipun hanya satu orang yang kacau, itu jelas akan mengacaukan semua orang yang ada dilapangan. Pak Adang berdecak. Beliau segera melangkah kelapangan futsal. Setelah meninggalkan sederet instruksi untuk kesepuluh siswa yang berada dilapangan tersebut, guru olahraga itu kembali kelapangan basket. Untuk memaksa Tari berkonsentrasi penuh pada permainan, sekaligus untuk menyelamatkan jam mengajarnya dari gangguan Ari, Pak Adang ikut bergabung bersama anak-anak didiknya itu. Sebentar-sebentar beliau mengeluarkan perintah dengan seruan keras. Usahanya tak sia-sia. Meskipun tidak mencapai 100%, Ari dan eman-temannya kini tidak lagi menjadi pusat perhatian yang mengacaukan keempat lapangan olahraga. Ditepi lapangan futsal, Ari yang telah kehilangan panggung kehormatannya menatap kelapangan basket dengan geram. “Tu guru ganggu kesenengan gue aja!”
“Udah cukuplah man...” Ridho menepuk-nepuk satu bahunya. “Kasian tu cewek kalo lo godain lagi. Tadi aja udah dua kali hampir nangis. Ditengah lapangan nih. Banyak banget orang.” Oji berjalan menghampiri. “Bajunya lepas deh, Bos. Bentar lagi kayaknya bakalan robek tuh. Soalnya udah pada ketarik.” Dibantu Oji, Ari melepaskan baju seragam Tari yang dipakainya dengan paksa. Harus ekstra hati-hati karena baju itu melekat teramat erat ditubuhnya, nyaris seperti kulit kedua. Cowok itu kemudian melangkah menuju pos sekuriti dan menyandarkan punggung telanjangnya ditembok belakang bangunan mungil itu, mengawasi lapangan basket. Meskipun sudah berusaha keras berkonsentrasi penuh, gangguan-gangguan Ari itu membuat kemampuan bermain basket Tari yang sudah parah jadi semakin parah lagi. Ari ketawa pelan saat untuk kesekian kali dilihatnya lemparan Tari meleset. Yang terakhir ini, sumpah, parah banget. Bukan cuma ngak masuk keranjang. Melenceng hampir 2 meter! Pak Adang, yang berdiri ditepi lapangan futsal tempat teman-teman cowok sekelas Tari bermain, mengawasi 2 lapangan sekaligus, juga ikut kesal. Dia perintahkan Maya yang sedang mengejar bola basket yang berlari keluar lapangan karena lemparan meleset Tari-untuk meleparnya kembali ke Tari. “Coba sekali lagi!” seru guru olahraga itu. Tiba-tiba Ari melesat meninggalkan tempatnya. Di detik Tari tengah mengambil ancang-ancang untuk melemarkan bola ditangannya, di saat kedua matanya tertuju lurus pada lingkaran besi tak jauh diatas kepalanya, dari arah depan Ari menyambar pinggangnya dengan kedua tangan lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Tari menjerit kaget. Seketika bola terlepas dari tangannya. Menggelinding menjauh. Cewek itu terpaksa berpegangan pada kedua bahu Ari karena tidak ada lagi tempat bagi kedua tangannya menemukan pegangan selain dikedua bahu telanjang cowok itu. Tari sempat bergidik, karena kulit bersentuhan dengan kulit. Ari menikmati keterkejutan yang lalu memberi rona merah padam pada wajah yang menunduk tepat diatasnya itu. “Bilang dong kalo ngak bisa main basket. Gue ajarin,” ucapnya lembut. Tari sempat tertegun. Tatapan kedua mata hitam itu hangat. Meskipun samar, sorot lembutnya bisa tertangkap. “Kak Ari, turunin,” pintanya. Suaranya terdengar lemah saking tidak percayanya Ari akan melakukan tindakan ini. Ari tersenyum lebar. Tidak dengan kedua bibirnya, tapi dengan kedua matanya. Pijar hangat dikedua mata hitam itu kini menyala. “Kok bego sih? Hmm? Gue angkat supaya lo bisa masukin bola keranjang. Malah dilepas lagi bolanya.” Tari mengeluh lirih. Sesaat kepalanya semakin menunduk lagi. Kemudian dia ulangi permintaannya, kali ini hampir menangis. “Tolong turunin dong, kak.” Ari mengabaikan permintaan itu. Seolah ingin Tari benar-benar mencamkan dirinya adalah penguasa disini. Cowok itu terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya, karena kali ini Tari benar-benar tidak mampu melawannya. Dalam rengkuhan sinar matahari, dalam sedetik momen yang melenyapkan seluruh latar, sungguh-sungguh keduanya adalah keindahan. Sampai kemudian pukulan tangan Pak Adang yang lumayan keras dipunggung telanjang Ari mengoyak lukisan indah itu dan melemparkan kembali realitas ke tengah-tengah semuanya. Beku yang memeluk seluruh tubuh yang sejak tadi menjadi saksi tak ayal tercairkan. Dan seketika menghadirkan sorak, suitan, serta tepuk tangan yg seakan mampu meruntuhkan langit. Di sisa-sisa tatapan hangat Ari yang masih bisa dirasakan Tari, sesaat dilambungkannya cewek itu lebih tinggi lagi. Seolah akan dipersembahkannya Tari pada kemegahan sang matahari tunggal yang sesungguhnya. Refleks, Tari meraih dan memeluk leher Ari karena semakin menjauhnya bumi. Adegan itu menaikkan oktaf gemuruh sorak riuh para saksi mata ke level histeria. Kemudian Ari menurunkan Tari. Mengembalikan cewek itu, juga dirinya sendiri, pada realitas. Seketika tatap hangat dan lembut tadi menghilang, berubah jadi ilusi sesaat. Setelah sempat membeku dalam ketidakpercayaan akan apa yang beruntun dilakukan Ari terhadap dirinya, Tari berlari ke kelas dengan muka merah padam dan bibir tergigit. Fio bergegas menyusul. Pak Adang terpaksa membiarkan. Guru itu balik badan, sudah siap akan memarahi Ari habis-habisan, karena ini kali kesekian siswa itu mengganggu jam pelajarannya, dan hari ini adalah yang paling kelewatan. 3x Ari membuat ulah dalam waktu hanya 1 jam. Sayangnya, Ari sudah melangkah menjauhi lapangan, sambil mengenakan baju seragamnya yang sesaat tadi dilemparkan Oji. Akhirnya Pak Adang cuma bisa geleng-gelang kepala. Gita menyaksikan peristiwa itu sambil menggigit bibir. Tak bisa dicegah, pikirannya melayang pada Angga. Kalau saja sepupunya itu menyaksikan adegan didepannya ini, bisa dipastikan akan terjadi perkelahian sengit. Begitu sampai kelas, Tari langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Dicarinya nama Ata didaftar kontak lalu ditekannya tombol bergambar garis hijau. Tidak diangkat. Dicobanya lagi. Tetap tidak diangkat. Dicobanya sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi. Tetap tidak diangkat. “Pasti dia lagi belajar juga deh Tar,” ucap Fio hati-hati. Tari menghentikan usahanya. Cewek itu kemudian menelungkupkan kepala diatas meja dan terisak. Fio hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Tak lama ponsel Tari bergetar. Seketika cewek itu menegakkan tubuh dan menyambar ponselnya. Dari ekspresi mukanya, Fio langsung tahu Ata-lah yg menelepon. “Halo?...lg belajar ya?...sori banget gue jadi ganggu elo...iya, tadi dilapangan dia gangguin gue...Aduh, pokonya nyebelin banget tau ngak! Tu orang apa sih maunya! Dikira ngak malu-maluin apa, ditonton orang ditengah-tengah lapangan gitu! Pasti deh ntar jam istirahat, satu sekolah udah pada tau ceritanya. Trus kemanapun gue pergi, diliatin kayak gue udah kena flu babi!” Tari langsung mengadukan perbuatan Ari pada Ata, dengan intonasi seperti muntahan peluru senapan mesin. Ditambah iringan banjir bah isak tangis dan air mata. Ketika percakapan telepon yag nyaris hanya searah itu akhirnya berakhir, Tari terlihat lebih tenang. “Lo cuci muka gih. Mumpung anak-anak belum pada datang.” saran Fio dengan suara pelan. “Nih gue beliin air es dikantin. Kompres tu mata biar ngak bengkak-bengkak amat.” Tari mengangguk. Keduanya berdiri lalu berjalan menuju toilet. Ketika kemudian teman-teman sekelas muncul, 20 menit sebelum jam olahraga selesai, kondisi Tari sudah agak membaik. Ternyata teman-teman sekelasnya cukup bijak untuk tidak bertanya apa-apa. Beberapa dari mereka bahkan bersikap seolah-olah peristiwa tadi tidak pernah terjadi.

bersambung ke bab 9.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar