Jingga
dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 9 (2)karya : Esti Kinasih
Pak Toyo, guru olahraga kelas X-3, karena satu keperluan. Berhalangan hadir selama kira-kira setengah jam. Namun beliau telah memerintahkan anak-anak didiknya untuk sudah berada di lapangan pada saat dia datang.
Itulah sebabnya anak-anak kelas X-3 sudah seluruhnya berada di lapangan meskipun tanpa gurur. Akibatnya ereka jadi nggak berdaya menolak paksaan temen-teman sekelas Ari untuk tanding futsal.
Sementara Pak Adang, guru olahraga kelas Tari, sedang ke ruang gurur mengambil buku absensinya yang tertinggal. Baru setelah beliau kembali dan menyaksikan situasi di lapangan jadi kacau gara-gara ulah Ari, akhirnya datang juga seorang penolong untuk Tari.
“ARI, LEPAS!!!” bentak Pak Adang dengan suara menggelegar.
Seperti biasa, Ari memberikan reaksi santai. “Ni cewek larinya lama, Pak. Makanya saya tarik!” serunya.
“KAMU...!” dengan geram Pak Adang menghampiri sambil menggulung buku absensinya, siap menjadikannya sebagai alat pukul.
Sambil tersenyum lebar Ari melepaskan kedua tangan Tari dari cekalannya. Cowok itu kemudian mundur menjauh, sambil terus menatap Tari yang berdiri membeku di tempat Ari meninggalkannya
“Pergi sana!” usir Pak Adang. Dipukulnya punggung Ari dengan gulungan buku absensinya.
Masih dengan sisa-sisa senyum, Ari balik badan. Kedua matanya langsung menyambar Gita. Cewek itu tersentak dan seketika memalingkan muka dengan gugup.
Pak Adang langsung mengumpulkan teman-teman sekelas Tari. Yang cowok di lapangan futsal, sementara yang cewek di lapangan basket. Setelah membentuk dua tim futsal dan dua tim basket, latihan langsung dimulai. Sisanya yang tidak tertampung duduk-duduk di tepi kedua lapangan itu, menunggu giliran.
Gangguan Ari tadi membuat kedua mata Tari dengan cemas mencari-cari. Tapi dilihatnya cowok itu sedang berada di lapangan futsal, bergabung dengan anak-anak kelas X-3. Ebrsama Ridho, Oji, dan dua teman sekelasnya yang lain, Ari memaksa para juniornya itu untuk tanding futsal.
Cowok itu telah melepaskan baju seragamnya. Kini hanya mengenakan kaus putih tanpa lengan. Keringat yang benar-benar kuyup membuat kaus itu melekat erat dan mencetak setiap lekuk otot tubuh di baliknya.
Setelah sebentar-sebent
Karena sejak SMP permainan basketnya terkenal parah, Tari mendengarkan instruksi Pak Adang dengan serius. Pak Adang terpaksa bolak-balik antara lapangan basket dan futsal untuk mengawasi para siswanya. Tak lama Tari sudah lupa dengan insiden tadi. Sampai tiba-tiba Fio muncul dengan langkah tergopoh dan raut muka tegang.
Karena Pak Adang kebetulan sedang berada di tengah lapangan futsal, mengawasi teman-teman cowok sekelas Tari berlatih, Fio langsung menerobos ke tengah lapangan basket, mengahmpiri Tari.
“Tar, baju lo diambil sama Kak Ari!” serunya tertahan.
Tari menoleh, mencari-cari Ari dan sontak ternganga. Baju seragamnya ada di tangan Ari!
Cewek itu mengenali kemeja putih seragmnya karena ada pin matahari yang baru dibelinya dua hari lalu yang disematkannya di atas saku.
“Kapan dia ngambilnya?” Tari menoleh dan menatap Fio.
“Kak Oji yang ngambil. Barusan. Makanya gue langsung ke sini. Ngasih tau elo.”
Fio menatap Tari dengan perasaan bersalah. Tadi dia sudah berusaha keras merebut kembali baju seragam itu. Karena hanya berdua, Oji dan dirinya, Fio nekat mengenyahkan fakta dirinya junior dan yang dihadapinya adalah senior tertinggi.
Sayangnya, meskipun sudah disingkirkannya
“Gih sana, lo ngadu ke Tari kalo baju seragamnya gue ambil.” Oji menyeringai puas kemudian menghilang. Fio mengatupkan kedua gerahamnya dengan dongkol.
“Dasar cowok brengsek!” makinya, lalu bergegas keluar.
Fio ngak bego, dia tahu Oji sengaja memancingnya untuk mengatakan pada Tari. Supaya Tari otomatis bereaksi dan dengan demikian Ari jadi punya alasan untuk mengganggunya habis-habisan, seperti yang selama ini sering dia lakukan. Tapi Fio juga sadar, dirinya ngak mungkin cuma diam membiarkan. Biar gimana tu baju kan harus diambil lagi. Ngak mungkin Tari terus pakai kaus olahraga sampai nanti jam terakhir. Tapi hanya sampai disini bantuan yang bisa diberikan Fio. Berikutnya betul-betul cuma bisa ngasih doa aja. Tari dan Fio yang berdiri tegang ditengah-tengah
"Sebentar, Bos. Sebentar," Oji menghentikan gerakan Ari yang baru saja akan memasukkan tangan kanannya ke lengan baju. "Kayaknya nggak muat deh, Bos, kalo nggak dilepas dulu kausnya."
"Oh iya. Betu lo." Ari mengangguk-angg
Tanpa daya Tari menyaksikan baju seragmnya kembali ke tangan Ari, diserahkan Oji dengan sikap penuh khidmat, dengan uluran tangan kanan sementara tangan kirinya menerima kaus Ari yang basah kuyup.
Tanpa sadar, semuanya jadi menahan napas saat perlahan Ari mulai memsukkan tangan kanannya ke lengan baju. Dan lagi-lagi tanpa sadar, semuanya jadi menggigit bibir. Menatap dengan ngeri saat lengan berotot Ari stuck di pertengahan jalan. Cowok itu lalu memaksakan lengan baju seragam Tari yang - dengan menggunakan mata telanjang yang bahkan kena katarak parah - jelas-jelas nggak bakalan muat untuk meloloskan lengannya. Dibantu Oj dan di depan teman-temannya yang hanya menyaksikan sambil senyum-senyum, Ari menarik-narik lengan baju seragam Tari itu.
Tari nggak tahan lagi. Akhirnya cewek itu bergerak dari berdiri bekunya selama ini, dengan muka kaku dan sorot mata penuh amarah. "Dasar emang tu orang brengsek banget!" desisnya dengan gigi gemeretak.
"Tar! Tar! Jangan, Tar!"
Entah berapa tangan yang erfleks menahan langkah Tari.
"Jangan bego deh, Tar. Percuma lo ke sana. Yang ada bkan cuma baju seragam lo yang abis, lo-nya juga bisa abis ntar," ucap Nyoman.
"Trus gue disuruh diem aja, gitu!?" Tari membentak Nyoman tanpa sadar.
"Terpaksa!" Nyoman memelototinya tajam-tajam. "Bisa apa lo? Nggak bakalan tu baju kerebut Yang ada juga pasti bakalan digodain, salah, maksud gue, dijahatin. Bisa-bisa sama Kak Ari ntar lo dibikin nagis. Nggak bakalan dia peduli, ini di tengah lapangan. Banyak orang."
Yang lain membenarkan. Mereka tarik Tari ke belakang. Kembali ke tempat tadi dia berdiri, dan tidak mereka lepaskan cekalan mereka di kedua tangan cewek itu. Akhirnya Tari hanya bisa pasrah.
Meskipun sepertinya terlihat tak acuh, Ari mengawasi setiap detail reaksi Tari. Tak ada yang bisa luput dari mata tajamnya. Dan tak perlu meletakkan objek di fokus tatapan, karena dia punya banyak mata.
Cowok itu menahan senyum saat mendapati Tari berada dalam cekalan teman-temannya.
Setelah melakukan banyak usaha pemaksaan, akhirnya Ari berhasil membuat baju seragam Tari melekat di tubuhnya. Ketidakcocokan ukuran yang njomplang membuat setiap serat kain dan benang jahit menapai tingkat elastisitas paling maksimal. Satu titik menjelang robek.
Dengan ngeri Tari menyaksikan baju seragmnya yang sudah disetrika mamnya sampai benar-benar licin dan rapi, yang kemudian dengan hati-hati dia semprotkan parfum kebanggaan, kini membungkus erat tubuh Ari yang basah karena keringat.
"Hiiiyyy!" teman-teman Tari bergidik. Semua kepala yang ada ternyata terasuk oleh satu pikiran yang sama.
Selama ini Tari bangga banget dengan parfumnya, karena asli dari Italia. Oleh-oleh dari tantenya waktu sang tante bertugas selama satu bulan di negara cantik dan kaya dengan bangunan bersejarah itu. Makanya Tari juga nyemprotnya superhemat. Yang namanya parfum orisinal, harganya pasti muahal kalau sudah masuk Indonesia. Meskipun Tari nyemprotnya cuma dikiiiiiiiit, tetep semerbaknya kemana-mana. Semua temannya mengakui, bau parfumnya enak banget. Soft. Elegan.
Sekarang yang jadi pertanyaan, harapan tepatnya, sanggup nggak parfum yang dibeli di salah satu kota pusat mode dunia itu mengalahkan bau keringat? Karena cowok biar gantengnya kayak apa juga, tetep aja keringetnya bau sapi!
Sementara itu di kejauhan...
"Gimana?" Ari bertolak pinggang. Pura-pura meminta pendapat teman-temannya tentang baju seragam Tari yang sekarang melekat teramat erat di tubuhnya, yang semua kancingnya jelas tidak mungkin bisa terkait.
Semua temannya lalu mengamati dengan tampang serius. Ada yang sambil menyipitkan mata. Ada yang keningnya sampai berkerut-kerut.
Tari menggeleng-geln
"Hmm, bentar... bentar," suara Ridho memecahkan hening keseriusan pura-pura itu. 'Kayaknya ada yang kurang. Apa ya?" tu cowok belagak mikir. "Oh, iya!" serunya kemudian sambil menjetikkan jari. "Kemaren-kemare
Muka TAri langsung merah padam. Apalagi setelah beberapa pasang mata langsung menoleh dan menatapnya. Sebagian besar adalah anak-anak kelas X-3, yang kegiatan berolahraganya jadi on-off gara-gara melihat Tari dan teman-teman ceweknya berdiri bergerombol di tengah lapangan basket.
Oji, Ridho, dan teman-teman Ari yang lain lalu berlagak mencari-cari. Lagi-lagi dengan tingkat keseriusan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan keseriusan mereka saat belajar di kelas. Tak lama Eki menegakkan tubuh, setelah beberapa saat menyibaki rumput yang tumbuh di tepi lapangan futsal. Seolah-olah yang dimaksud Ridho dengan kalimatnya tadi adalah sejenis jangkrik atau belalang.
"Tu tojolan yang kayak apa sih?" tanya Eki, berlagak blo'on. "Bingung juga gue nyarinya kalo nggak tau bendanya."
"Terangin, Ji!" perintah Ari pada Oji dengan nada berwibawa, memicu tawa-tawa geli dan suit-suitan.
"Ck, tolol lo emang. Makanya pacaran." Oji menatap Eki, berlagak prihatin.
"Udah, cepet jelasin!" sentak Ari.
"Eh, iya, Bos. Bentar." Oji merinigs sambil garuk-garuk kepala. Kemudian dia berpikir keras. Tak lama dia berseru keras sambil menjentikkan jari.
"Lo tau gedung DPR/MPR, nggak?" ditatapnya Eki dengan kedua mata membulat lebar. Keliatan jelas Oji girang banget karena berhasil menemukan padanan objek. Sementara Ari mengulum senyum melihat antek-anteknya itu sukses berkelit.
"He-eh?" Eki mengangguk, tapi dengan tampang dibikin seolah-olah dia nggak paham.
"Tau kan bentuk atapnya kayak gimana?"
"Iya tau." Eki mengangguk algi. Tapi masih belagak nggak mudeng.
"Nah, kayak gitu benda yang kita cari."
"Ooh, kayak kutang gitu ya?"
"IYAAAAAA, DISEBUTIN!!!" Oji berteriak. "Gue udah capek-capek pake metafora. Dasar gobloooook! Kampungan! Udik! Katro! Hare gene, masih pake sebutan zaman feodal. Buka tesaurus dwoooong. Cari sinonimnya. Bikin malu kelas kita aja. Pindah ke kelas laen aja lo, Ki!"
Oji berlagak histeris abis. Memicu tawa-tawa terbahak meledak tak terkendali. Ari sendiri sampai membungkukkan tubuh. Satu tangannya memegangi perut, sementara tangan yang lainnya berpegangan pada salah satu tiang gawang. Kedua bahunya berguncang-gunc
Joke itu emang bikin Ari dan semua temannya jadi terpingkal-ping
Dengan kesal Pak Adang menghampiri para siswi yang berdiri bergerombol itu.
“Ada apa?” tanyanya tajam.
“Bapak cuma bisa mengajar satu jam. Jadi jangan dibuang-buang waktunya.” Tari langsung menarik napas lega. Berharap Pak Adang akan menolongnya lagi.
“Baju seragam saya diambil sama kak Ari, Pak.” Ditunjuknya Ari dikejauhan. Pak Adang menoleh kearah yang ditunjuk Tari lalu menghela napas. Diluar harapan Tari, kali ini Pak Adang tidak melakukan apapun untuk menolongnya. Beliau malah memerintahkan para siswi itu kembali ke posisi masing-masing dan melanjutkan permainan. “Baju seragam saya Paaaaak!” Kembali Tari menunjuk Ari lurus-lurus. Kali ini hampir menangis. “Nanti Bapak ambil,” Pak Adang menenangkan. Ditepuknya satu bahu Tari. “Sekarang lanjutkan dulu basketnya.” Terpaksa Tari mematuhi perintah itu, tapi jelas konsentrasinya ngak bisa total. Jangankan total, 50% juga ngak ada. Hampir semua konsentrasi cewek itu nyangkut di Ari. Meskipun hanya satu orang yang kacau, itu jelas akan mengacaukan semua orang yang ada dilapangan. Pak Adang berdecak. Beliau segera melangkah kelapangan futsal. Setelah meninggalkan sederet instruksi untuk kesepuluh siswa yang berada dilapangan tersebut, guru olahraga itu kembali kelapangan basket. Untuk memaksa Tari berkonsentrasi penuh pada permainan, sekaligus untuk menyelamatkan jam mengajarnya dari gangguan Ari, Pak Adang ikut bergabung bersama anak-anak didiknya itu. Sebentar-sebent
“Udah cukuplah man...” Ridho menepuk-nepuk satu bahunya. “Kasian tu cewek kalo lo godain lagi. Tadi aja udah dua kali hampir nangis. Ditengah lapangan nih. Banyak banget orang.” Oji berjalan menghampiri. “Bajunya lepas deh, Bos. Bentar lagi kayaknya bakalan robek tuh. Soalnya udah pada ketarik.” Dibantu Oji, Ari melepaskan baju seragam Tari yang dipakainya dengan paksa. Harus ekstra hati-hati karena baju itu melekat teramat erat ditubuhnya, nyaris seperti kulit kedua. Cowok itu kemudian melangkah menuju pos sekuriti dan menyandarkan punggung telanjangnya ditembok belakang bangunan mungil itu, mengawasi lapangan basket. Meskipun sudah berusaha keras berkonsentrasi penuh, gangguan-ganggu
bersambung ke bab 9.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar