Senin, 08 Mei 2017

JINGGA DAN SENJA BAB3(2)



Jingga dan Senja
karya : Esti Kinasih
Bab 3 (2)

 Ketika Ari sampai di depan SMA Brawijaya, suasana terlihat sepi. Hanya beberapa anak yang masih tersisa. Dan mereka bukan dari jenis yang doyan tawuran. Tapi di pintu gerbang, beberapa teman Angga yang sudah dikenalnya terlihat berjaga-jaga. Begtu melihat kemunculan Ari, mereka langsung bersikap siaga.
Ari menepikan motornya lalu melangkah menghampiri mereka. Dua orang segera menyambutnya dengan tatapan yang benar-benar terfokus padanya, sementara sisanya menatap ke are sekitar dengan kewaspadaan yang sama tingginya.
“Gue dateng sendiri!” tegas Ari, menatap cowok di depannya yang kayaknya orang kepercayaan Angga, tepat di manik mata.
“Bersikap kayak tamu dong. Mana sopan santun lo?” cowok itu membalas tatapan Ari sama tajamnya.
“Apa?!”
“Jangan angkat dagu lo tinggi-tinggi gitu. Lo bikin gue marah, tau? Tundukin kepala lo!”
Dengan kedua rahang terkatup erat, Ari menuruti perintah itu.
“Buka jaket lo. Kan gue udah bilang tadi, kalo bertamu yang sopan!” bentak cowok Brawijaya itu. Sekali lagi sambil merapatkan kedua rahangnya, Ari menuruti perintah itu. Dia lepaskan jaket hitamnya. Sepasang mata cowok di depannya langsung bergerak ke sisi kanannya. Dia mendesis tajam.
“Ini lepas!” tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kanannya. Dan dengan sekali entakan, badge nama sekolah yang terjahit di lengan kanan baju Ari terlepas. Cowok itu kemudian maju selangkah dan mengacungkan badge itu tepat di depan muka Ari.
“Lo nantang?” tanyanya. Kedua matanya menusuk tajam. Ari membalas tatapan itu tapi pilih tidak menjawab. Cowok itu kemudian membanting badge di tangannya ke tanah. Mati-matian Ari menahan gelegak kemarahannya saat bedge itu kemudian diinjak kuat-kuat.
Cowok Brawijaya itu kemudian mundur selangkah menjauhi Ari. Utnuk pertama kalinya dia mengalihkan tatapanntya ke tempat lain.
“Lo tau, gue paling seneng nonton film yang setting-nya zaman kerajaan. Tau adegan favorit gue?” cowok itu menoleh dan menatap Ari dengan kedu alis terangkat. “Adegan berlutut!”
Penghinaan kali ini benar-benar sudah menyentuh harga diri Ari. Tapi dengan adanya dua orang sandera di tangan mereka, Ari tahu tidak ada jalan lain baginya selain bersikap kooperatif. Di samping itu, saat ini dia berada di kandang lawan, sendirian pula. Jadi lebih baik sadar diri dan menghentikan niat untuk berlagak ala superhero. Karena selain akan berakhir konyol, itu sia-sia pula. Melihat keterdiaman Ari, cowok Brawijaya itu mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
“Lo perlu info soal dua cewek itu, kan?”
“Gimana mereka?” tanya Ari dengan desisan dan gigi-gigi terkatup.
“Eeem…” cowok itu berlagak berpikir. Kemudian dia geleng kepala. “Nggak tau. Waktu mereka dibawa ke dalem, gue nggak ikut. Soalnya gue kebagian jadi satpam sih, jadi kudu satndby di gerbang.”
Dia menerangkan seolah-olah itu percakapan biasa. Dan dinikmatinya raut muka cemas yang muncul di muka Ari, terang-terangan.
“Cepet bayar harganya supaya bisa cepet gue cari informasinya.”
Penghinaan itu sudah tidak bisa lagi dihindari. Dengan mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat, dengan mengepalkan kesepuluh jarinya erat-erat, Ari berusaha menahan agar katup kemarahannya tidak sampai terbuka.
Dengan sepasang mata terarah lurus-lurus pada cowok di depannya, perlahan Ari menekuk lutut kirinya. Dan seiring dengan itu, tubuhnya merendah. Dan sempurnalah kerendahan cowok itu saat kemudian Ari menekuk lutut kanannya.
Cowok Brawijaya itu menatap teman-temannya lalu bersiul keras. Seketika sorak kemenangan bercampur tawa cemooh untuk Ari berkumandang di gerbang SMA Brawijaya.
Fakta bahwa Ari berlutut bukan di depan Angga, tapi di depan salah satua anak buahnya, adalah kekalahan yang benar-benar telak. Karena berlututnya Ari adalah juga berlututnya SMA Airlangga!
Berdiri di depan jendela di salah satu ruang kelas, Angga menyaksikan peristiwa itu dengan senyum puas yang tersungging lebar-lebar. Dia memang sudah meminta teman-temannya untuk jangan menghajar Ari, karena penghinaan lebih tepat… dan lebih menyenangkan untuk dilakukan!
Senyum Angga mengembang semakin lebar. Berarti dia harus mendapatkan kehormatan yang lebih besar daripada apa yang didapatkan anak buahnya. Cowok itu lalu mengeluarka ponselnya dan mengetik satu SMS singkat.
 

 Diabadikan dong. Kejadian langka tuh!
Cowok Brawijaya yang sedang menghadapi Ari kembali bersiul keras saat membaca SMS itu. Kemudian dia memanggil salah satu temannya sengan jentika jari dan menyerahkan ponsel itu padanya.
“Rekam!”
Dan terabadikanlah kekalahan itu!!!
“Terima kasih banyak untuk kerandahan hati lo.” Cowok itu menyeringai, lalu balik badan dan berjalan ke arah deretan ruang-ruang kelas.
Ari menatap kepergian cowok Brawijaya itu sambil bangkit berdiri. Dan terciptalah satu dendam baru. Angga dan cowok itu kan jadi target utamanya. Tak lama cowok itu kembali.
“Ikut gue,” katanya sambil menggerakkan dagu. Ari berjalan mengikutinya menuju deretan ruang kelas dan berhenti di luar salah satunya.
Apa yang dilihatnya membuat Ari diam-diam menarik napas lega. Tari dan temannya itu baik-baik saja. Malah lebih dari baik-baik saja. Keduanya sepertinya lupa bahwa ini markas besar musuh bebuyutan sekolah mereka. Mereka lupa bahwa ada begitu banyak orang yang mengkhawatirkan kondisi mereka saat ini. Dirinya bahkan telah berlutut demi terjaminnya keselamatan mereka.
 

Tapi Ari tidak menyesal telah melakukan itu, karena dia tidak tahu perlakuan apa yang akan diterima kedua cewek itu seandainya perintah itu tidak dia patuhi. Dan dia tidak mau gambling untuk sesuatu yang sangat serius seperti kehormatan, karena dia tidak mau menanggung rasa bersalah seumur hidup.
Setelah kecemasannya akan keselamatan kedua cewek itu mereda, baru Ari menyadari ada sepasang mata yang lekat mengawasinya sejak dia muncul di depan jendela. Mata milik Angga.
Menembus bening kaca jendela, kedua bola mata hitam itu menusuk tepat di kedua matanya. Sarat dengan kebencian yang bagi Ari selalu jadi tanda tanya.
Kedua cowok itu saling tatap. Tepat di manik mata lawan masing-masing. Ari yakin Angga tahu perlakuan apa yang telah dia terima di gerbang sekolah tadi, bahkan bisa jadi semua itu atas perintahnya. Dan sebagai ganti, Ari minta kepastian atas keselamatan kedua sandera.
Sementara itu empat orang di dekat Angga tetap asyik dengan obrolan seru mereka. Tari dan Fio memang tidak menyadari posisi duduk mereka membuat kedatangan Ari tidak mereka ketahui.
Sementara kedua teman Angga jelas menyadari kehadiran sosok menjulang yang berdiri di luar ruangan itu. Tapi sesuai perintah Angga, keduanya tidak mengacuhkan sama sekali. Kemudian Angga menggerakkan dagunya, memerintahkan temannya untuk membawa Ari pergi.
“Time is up!” kata cowok yang berdiri di sebelah Ari.
Ari bergeming. Sekali lagi lewat sorot mata yang menembus bening kaca jendela, Ari meminta kepastian pada Angga atas keselamatan Tari dan Fio. Namun cowok di sebelahnya memetahkan pandangan Ari dengan berdiri tepat di depan jendela. Tatapan mata yang tadi ditujukan Ari untuk Angga otomatis kini jadi tertuju pada cowok di depannya. Terhalang punggung temannya, Angga menahan senyum kemenangan agar tidak tercetak di bibir, karena diapastikan itu akan berkembang jadi tawa.
“Kalo lo mau tu cewek-cewek tetep cuma diajak ngobrol doang, lo pergi sekarang!” cowok yang berdiri di depan Ari memberi perintah dengan nada tegas.
“Lo bisa kasih jaminan?” ada nada ancaman dalam suara Ari.
“Cewek yang namanya Tari, nanti Angga yang nganter pulang.”
“Satunya?”
“Gue yang nganter.”
“Bisa ngasih jaminan tu cewek dua selamet sampe rumah masing-masing?”
“Atas nama Angga… iya!” cowok itu menjawab, lagi-lagi dengan nada tegas.
Atas nama Angga. Satu kalimat pendek itu akhirnya meyakinkan Ari, ini memang urusan pribadi antara dirinya dan cowok itu. Sayangnya, dia tidak tahu akar permasalahannya.
Akhirnya tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ari selain sepenuhnya bergantung pada janji itu. Dia mengangguk meskipun kecemasan masih menggantung di dada dan kepalanya. Cowok di depannya menggerakkan dagu ke arah gerbang, kemudian berjalan pergi. Ari kembali bisa melihat ke dalam ruangan.
 

 Angga masih duduk bersila di atas meja yang sama. Kali ini dengan sebatang rokok terselip di bibir. Amat sangat sadar dengan kemenangannya. Lagi-lagi Ari hanya mampu menatapnya dengan menekan seluruh kemarahannya kuat-kuat. Ari kemudian mengarahkan pandangannya pada Tari dan Fio, yang masih belum juga menyadari kehadiran pentolan sekolah mereka.
Dengan perasaan berat Ari terpaksa memalingkan muka dan menyusul cowok tadi, berjalan ke arah pintu gerbang SMA Brawijaya. Ditinggalkannya sekolah itu dengan perasaan yang semakin berat lagi, karena sepenuhnya dia hanya bisa menggantungkan pada janji lawan.
Ari tidak tahu pasti apa motivasi Angga terhadap Tari. Mungkin soal hati. Kalu dilihat dari kenekatannya mendatangi sekolahnya seorang diri, bahkan sampai benar-benar sampai ke depan sekolah. Hanya untuk mengembalikan kamus milik Tari.
Kalau memang ini murni soal hati, dirinya tidak pernah peduli. Tapi belum tentu teman-temannya. Kalau mereka menganggap Tari pengkhianat karena pacaran dengan cowok dari sekolah yang jadi musuh bebuyutan, kemungkinan tu cewek bisa dipermak. Bukan oleh teman-temannya yang cowok, tapi yang cewek-cewek. Dan perseteruan sesama cewek sama sadisnya dengan perseteruan sesama cowok. Apalagi kalau senioritas ikut bicara. Sebab dan alasan tidak lagi penting. Kalau sudah begitu, dirinya tidak bisa menolong.
Di balik helmnya, Ari menarik napas panjang dan mengembuskannya melalui mulut dengan keras. Untuk sementara yang harus dia lakukan pertama kali adalah memastikan keselamatan Tari. Selanjutnya, kalau ini ternyata memang cuma soal hati, dia akan menyarankan pada cewek itu untuk menjaganya agar jangan sampai tercium di sekolah. Itu saja. Masalah selesai.
Setibanya Ari di sekolah suasana sudah sepi. Pintu gerbang juga sudah dibuka kembali. Diparkirnya motornya di tempat biasa. Tiba-tiba Oji muncul dari balik salah satu mobil yang terparkir dan menghampiri Ari dengan langkah cepat.
“Gimana tu cewek dua?” tanya Oji langsung.
“Ngapain lo ngumpet di situ?” Ari bertanya balik setelah melepas helmnya. Oji meringis.
“Males gue di sana. Bu Sam ngomelnya pake kalimat yang itu-itu melulu. Nggak inovatif tu guru.”
Ari tertawa mendengus mendengar kalimat itu. “Berapa orang yang keciduk?” tanyanya.
“Lumayan, man. Tapi yang berhasil kabur lebih banyak lagi.”
“Bagus deh. Jadi Bu Sam nge-print SP-nya nggak perlu banyak-banyak.”
“Gue belom dapet info tu cewek-cewek kelas berapa,” Oji melaporkan dengan perasaan sedikit bersalah.
“Gue udah tau,” jawab Ari pendek. Yang sangat dia perlukan adalah info tentang alamat rumah Tari berikut nomor teleponnya. Sayangnya memang tidak mungkin mendapatkan kedua info itu saat ini. Karena itu dia bisa memaklumi kegagalan Oji.
Ruang sekretariat tepat bersebelahan dengan ruang guru, bahkan ada pintu penghubung di antara kedua ruangan itu. Dan saat ini kedua ruangan itu pasti sedang digunakan untuk mengumpulkan siswa-siswa yang terlibat tawuran tadi. Siswa kelas dua belas di ruang guru, sedangkan siswa kelas sebelas di ruang sekretariat. Menanyakan alamat Tari hanya akan menimbulkan kecurigaan. Ari tidak ingin pihak sekolah mengetahui bahwa ada dua siswi yang disandera. Dan dia masih berharap Angga menepati janjinya.
“Jadi tu cewek dua nasibnya gimana?” Oji mengulang pertanyaannya.
“Sampe tadi gue tinggal sih masih baik-baik aja.”
“Lo dapet jaminan pasti, kalo tu cewek-cewek nggak bakal diapa-apain?”
Pertanyaan Oji itu membuat kedua rahang Ari mengeras.
“Kalo tu cewek diapa-apain, gue kejar si Angga biar sampe ke mana juga!”
Kening Oji berkerut. Tu cewek? Berarti singular, bukan plural. Jangan-jangan…
“Jadi gimana?” tanya Oji kemudian, setelah sejenak mengingat-ingat, sepertinya Ari memang sedikit peduli pada cewek bernuansa oranye itu.
“Sekarang nggak bisa apa-apa. Terpaksa tunggu besok. Lagi pada dikumpulin, kan?”
“Iya.”
“Lo udah kasih tau semuanyauntuk sementara jangan ngomong kalo ada cewek uang disandera?”
“Udah.” Oji mengangguk, lagi-lagi jadi heran karena Ari cuma menyebut “cewek” dan bukan “dua cewek” atau “cewek-cewek”?
“Tapi bener nggak apa-apa tuh?”
“Mudah-mudahan nggak. Yang diincer Angga tuh gue. Tu cewek cuma pion.”
Tuh, kan? Tu cewek lagi? Oji langsung membatin karena lagi-lagi mendengar kata yang merujuk pada jumlah tunggal. Sementara itu Ari nggak yakin dengan alasan yang dia ucapkan, tapi untuk saat ini lebih baik itu saja yang diketahui Oji. Dia enggan menceritakan yang sebenarnya. Bahwa kedua cewek itu lebih dari sekedar nggak apa-apa. Juga peristiwa dia berlutut demi meminta kepastian atas keselamatan keduanya. Soalnya, kedua hal itu dipastikan akan membuat permusuhan sekolah merek jadi makin meruncing. Kecuali kalau ini bukan soal hati seperti dugaan sementaranya.
“Yuk!” Ari mengajak Oji ke ruang guru. Keduanya meninggalkan area parkir menuju koridor utama sekolah.
Begitu berbelok ke koridor, mereka langsung melihat Bu Sam dan Bu Ida. Bu Sam berdiri di depan sekretariat. Kedua pintu ruangan itu tertutup. Senyum Ari mengembang, tapi kedua guru itu membalasnya dengan tatapan galak.
“Dari mana kamu?!” tanya Bu Sam begitu Ari sampai di depannya.
“Dari membela nama baik dan kehormatan sekolah, Bu,” jawab Ari dengan tenang. Di sebelahnya Oji berdiri dengan kepala sedikit tertunduk. Bu Sam tidak berkata apa-apa lagi. Pandangannya beralih ke Oji.
“Masuk kamu, Ji!” perintahnya sambil menggerakkan dagu.
“Iya, Buuu,” Oji mengangguk patuh. Dia berjalan ke pintu ruang guru, membukanya, lalu masuk. Ari mengikuti dengan senyum geli. Oji itu paling jago bersikap patuh, manis, dan penurut di depan paar guru. Sementara kalau sedang di arena tawuran, sikapnya akan berubah seratus delapan puluh derajat. Makanya para guru sering berpendapat, Oji itu sebenarnya anak yang baik, tapi sudah kena pengaruh dari teman-temannya yang nggak baik terutama, tentu saja, Ari.
“Kamu ditunggu Pak Rahardi,” ucap Bu Sam, lalu menyusul Oji ke ruang guru. Begitu Bu Sam masuk ruangan, Bu Ida masuk ke ruang sekretarian di depannya, setelah sebelumnya melancarkan pandangan sebal pada Ari.
Seperti biasa, Ari membalas pandangan itu dengan senyum, kemudian berjalan ke ruangan Pak Rahardi, sang kepsek. Ketiak melewati deretan jendela ruang guru, kemudian ruang sekretariat, cowok itu menyeringai ke arah wajah-wajah yang menatapnya dari dalam kedua ruangan itu. Teman-temannya kontan membalas dengan seringai juga.
Setiap kali terjadi tawuran, khusus untuk Ari memang selalu diisolasi ke ruang kepsek. Terpisah dari teman-temannya. Sama sekali bukan untuk kepentingan cowok itu, tapi lebih demi kepentingan siswa-siswa yang lain.
Pihak sekolah memang sudah menyerah terhadap siswa yang satu itu. Menghubungi pihak orang tua –dalam hal ini adalah ayah Ari, karena Ari hanya hidup berdua dengan sang Ayah- juga tidak banyak membantu.
Semua guru sudah tahu jurang yang terentang antara Ari dan ayahnya. Teramat dalam dan nyaris menjadikan mereka seperti dua orang yang tidak saling kenal. Para guru juga telah mengetahui penyebab terbentuknya jurang itu, karena ayah Ari telah menceritakannya. Meskipun singkat dan hanya garis besar, mereka akhirnya bisa memahami kenapa Ari bisa menjadi seperti sekarang ini.
Yang jadi masalah, ketenangan Ari dan ketidakpeduliannya terhadap hukuman apa pun yang kemudian dijatuhkan, menular. Ketenangan sang biang onar itu jelas membuat teman-temannya ikut tenang juga. Para siswa yang kerap telibat tawuran rata-rata memang siswa-siswa yang bermasalah di rumah. Namun, para guru berharap mereka masih bisa diselamatkan.
 

 Sementara seluruh siswa yang terlibat tawuran diceramahi panjang-lebar selama hampir satu jam, Ari duduk santai di tuang kepsek. Baca koran. Pak Rahardi yang mondar-mandir di antara ruangannya dan ruang guru cuma bisa geleng-geleng kepala melihat itu.
Setelah ceramah selesai, hukuman pun dijatuhkan. Beberapa anak hanya mendapatkan peringatan lisan, beberapa yang lain mendapatkan peringatan tertulis yang dimasukkan dalam amplop tersegel dan harus diserahkan kepada orangtua masing-masing.
Sedangkan hukuman terberat yaitu skorsing, diberikan kepada siswa yang dianggap sebagai penghasut dan penggerak masa. Lima orang terkena hukuman ini, masing-masing selama dua hari. Termasuk Oji. Harapan para guru selain menimbulkan efek jera, juga supaya Oji tidak terlalu akrab lagi dengan Ari.
Para guru itu tidak tahu fakta yang sebenarnya. Oji itu bukan hanya sekedar akrab dengan Ari. Cowok itu sudah sampai pada taraf memuja Ari! Di mata Oji, Ari tuh keren banget. Nggak takut apa pun. Untuk katagori biang kerok sekolah dan langganan dipanggil ke ruang guru, prestasi akademiknya termasuk lumayan. Jarang keluar dari lima besar kelas. Ari punya banyak banget teman, doyan bercanda dan sangat aktif, tapi tetap misterius, karena tidak satu pun yang tahu di mana dia tinggal. Yang pasti, tu cowok tajir, karena selalu punya banyak duit.
Namun, seakrab apa pun hubungan Oji dengan Ari, cowok itu tidak pernah berhasil menembus sisi pribadi Ari. Privasi Ari terkunci sangat rapt. Ada sisi macan tidur dalam diri Ari yang bisa dirasakan oleh semua orang yang mengenalnya. Memaksa menembus area pribadinya sepertinya akan membangunkan sang macan tidur tersebut.
Hal lain yang juga misterius, Ari sering dikelilingi cewek dengan berbagai tipe, tapi tidak satu pun yang berhasil menembus pertahanannya. Di balik senyum dan tawanya, cowok itu gunung es yang kokoh.
 

 Ada satu hal lagi yang membuat semua temannya juga bertanya-tanya. Bisa dibilang, Ari nyaris tidak pernah mendapatkan hukuman. Apa pun tindak kenakalan dan tindak pelanggaran yang dia lakukan, cowok itu selalu lolos. Paling-paling cuma mendapatkan omelan yang disambung dengan ceramah dan nasihat panjang-lebar, yang sering kali sia-sia.
Kenyataan itu memang tidak bisa dibantah. Tapi alasan utama pihak sekolah tidak pernah memberikan hukuman seperti Surat Peringatan adalah, karena hubungan Ari dan ayahnya tidak harmonis, jadi SP tersebut tidak akan membawa perubahan apa pun. Sementara hukuman skorsing hanya akan membuat cowok itu berkeliaran di luar tanpa terpantau.

   
bersambung ke bab4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar